Voyagers
Refleksi
Hakekat Non-Binari
Manusia
di Peradaban Baru


Kekhawatiran umat manusia akan keberlangsungan Planet Bumi sehingga memicu eksplorasi planet layak huni lainnya sebagai alternatif sudah sangat sering diangkat lewat film fiksi ilmiah, bahkan menjadi salah satu alasan utama ekspedisi ke luar angkasa. Mulai serial era '60-an (yang juga sempat diadaptasi ke layar lebar), Lost in SpaceRed Planet (2000), Wall-E (2008), James Cameron's Avatar (2009), Interstellar (2014), The Martian (2015), hingga Passengers (2016). Begitu pula gagasan tentang apa jadinya peradaban manusia dengan tatanan baru yang hanya memilih dari bibit unggulan saja dan dilakukan penyeragaman seperti yang pernah ditunjukkan Divergent dan The Giver (dua-duanya kebetulan dirilis tahun 2014). 

Penulis naskah/sutradara Neil Burger (The Illusionist, Limitless, Divergent, dan adaptasi Hollwood The Upside) mencoba mengawinkan dua tema yang cukup relevan sebagai bahan refleksi umat manusia yang kian mendambakan tatanan sosial yang baru beberapa dasawarsa terakhir. Dengan menyebut sebagai Lord of the Flies (novel karya William Golding terbitan 1954 tentang sekelompok remaja yang mencoba membangun pemerintahan sendiri di sebuah pulau tak berpenghuni) di luar angkasa, apa yang ditawarkan Burger sebenarnya tak sepenuhnya ide baru tapi tetap menarik untuk diangkat. Dengan menggandeng Colin Farrell dan sederatan bintang muda yang tengah bersinar seperti Tye Sheridan (Cyclops sejak X-Men: Apocalypse dan Ready Player One), Lily-Rose Depp (putri Johnny Depp dan Vanessa Paradis yang pernah kita lihat aktingnya di Planetarium dan Yoga Hosers), Fionn Whitehead (Black Mirror: Bandersnatch, Dunkirk), Viveik Kalra (Blinded by the Light), Archie Renaux (Shadow and Bones dan yang akan datang, Morbius), serta Wern Lee (Motherland: Fort Salem dan Superman and Lois). Awalnya film bertajuk Voyagers ini rencananya dirilis November 2020 tapi kemudian diundur hingga April 2021 karena pandemi COVID-19. Penonton Indonesia termasuk beruntung bisa menyaksikannya mulai 29 April 2021 di bioskop-bioskop Cinema 21 yang sudah kembali beroperasi.


Konon di tahun 2063 para ilmuwan telah menemukan sebuah planet yang bisa menjadi habitat baru umat manusia setelah bumi dianggap sudah tak lagi layak huni. Maka dipilihlah benih-benih unggulan dari umat manusia yang dibiakkan di luar rahim dan kemudian dilatih secara intensif dengan dijauhkan dari dunia luar agar tidak pernah merindukan Planet Bumi. Nantinya sekelompok anak ini menjadi Generasi Pertama yang diberangkatkan ke planet tujuan dengan harapan cucu-cucu mereka menjadi penghuni pertama planet tersebut mengingat perjalanan ke planet tujuan memakan waktu 86 tahun. 

Richard (Colin Farrell) yang selama ini melatih mereka memutuskan untuk ikut serta mendampingi anak-anak didiknya. Dari sekian banyak 'anak didik' Christopher (Tye Sheridan), Zac (Fionn Whitehead), dan Sela (Lily-Rose Depp) adalah beberapa yang paling menonjol. Christopher dan Zac tak sengaja menemukan fakta bahwa cairan biru yang selama ini wajib mereka minum tiap hari adalah zat rahasia untuk menekan mengontrol mereka semua. Jiwa pemberontak dan rasa penasaran untuk merasakan menjadi manusia yang alami membuat mereka berhenti mengonsumsi cairan biru. Alhasil perubahan mulai terjadi dalam diri mereka, tapi dengan arah yang berbeda.

Ketika ditengarai ada makhluk asing yang menyerang pesawat mereka, mereka semua harus memutuskan nasib mereka bersama tanpa campur tangan Richard. Persaingan dan pertentangan antara Christopher dan Zac kian meruncing, tak lagi sekadar soal memperebutkan hati Sela. Koloni pun terpecah di ruang terbatas dan mengancam keberhasilan program koloni umat manusia yang benar-benar baru di planet yang baru pula.


Di balik kisah rivalry antara Christopher dan Zac yang terkesan dangkal dan tanpa motivasi jelas, Burger sebenarnya ingin memaparkan tentang hakekat manusia secara alamiah meski sudah dipilih dari benih yang terunggul dan dengan kondisi nurtural yang setara. Kepribadian manusia bukan lah sebuah binari dimana suatu sebab akan menghasilkan akibat yang sama untuk semua individu. Reaksi manusia terhadap suatu aksi pun bisa beragam, begitu pula dengan motivasi dan sejauh mana tingkat toleransinya. Kebetulan sehari sebelum menonton Voyagers, saya baru saja menyelesaikan membaca Sapiens karya Yuval Noah Harari yang mencoba menganalisis dan menjelaskan sejarah umat manusia beserta dengan analisis evolusi di tiap tingkatan era. Maka apa yang coba dihadirkan Burger di Voyagers bisa begitu kuat saya rasakan dan punya relasi yang kuat dengan apa yang dipaparkan Harari di Sapiens.

Beberapa review negatif Voyagers menyebutkan tidak adanya pengembangan karakter dan titik balik karakter (character arc) maupun motivasi yang kuat dari karakter Zac. Bertentangan dengan rumus penceritaan konvensional tentang pengembangan karakter yang harus punya motivasi kuat untuk membentuk sebuah perubahan sifat (apalagi bagi yang begitu memuja paham, "orang jahat adalah orang baik yang tersakiti" yang sempat populer menjadi semacam 'pembelaan' banya orang berkat Joker), Burger menunjukkan bahwa meski berasal dari benih unggulan dan dididik setara, output-nya bisa saja beragam, tergantung ke arah mana pola pikir dan logika dari masing-masing individu. Ada yang sejak awal memang punya genetika alfa yang memang berbakat menjadi pemimpin bijak, tapi ada juga yang sifat dasarnya memang licik dan egois, tanpa perlu kejadian atau pengalaman tertentu yang menjadi motivasinya. Hal sama pula yang menjelaskan mengapa persepsi terhadap film ini bisa berbeda-beda. Selain perbedaan selera dan ekspektasi, ada pula perbedaan cara bernalar dalam menangkap apa yang ingin disampaikan oleh film.


Tidak tepat pula jika menyebutnya tidak ada perkembangan karakter. Plot dengan jelas menunjukkan bahwa Christopher dan Zac sama-sama menemukan fakta dari kebohongan (sebenarnya lebih tepat dianggap sebagai 'rahasia'). Namun keduanya menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap fakta tersebut. Christopher dengan genetika kebijaksanaan masih punya kontrol diri dan daya nalar yang jauh ke depan sementara Zac dengan genetika kelicikan, egois, dan serakah berubah menjadi sosok yang manipulatif, cenderung ke keji, dan berpandangan lebih sempit. Jika Anda mau memperhatikan sekitar Anda, sebenarnya tak ada motivasi khusus yang membuat dua individu berkembang menjadi sosok yang (dianggap) baik atau jahat. Ada individu yang memang melakukan kesalahan tapi kemudian menyadari dan punya keasadaran diri untuk berubah, tapi ada juga yang tak pernah merasa berbuat salah dengan terus-terusan mencari kambing hitam. Lantas kemudian apakah individu dengan genetik 'buruk' tidak bisa berubah? Tentu saja jawabannya adalah bisa. Bagaimana pun umat manusia juga makhluk yang dianugerahi kecerdasan lebih, punya kemampuan menganalisis, dan kehendak bebas (free will), apakah mau belajar dan berubah diri atau terus-terusan beradal dalam 'zona nyaman' dirinya sendiri.

Hanya saja mungkin cara pemaparan Burger tentang jalan nurture yang dialami anak-anak didiknya hingga mulai menunjukkan perbedaan reaksi pola pikir di awal film terasa membosankan dan tidak penting bagi beberapa penonton yang belum bisa menangkap arah yang ingin dituju Burger. Apalagi bagi penonton yang mengharapkan tontonan aksi fiksi ilmiah young adult ringan yang sekadar menghibur. Namun begitu konflik antara kubu Christopher dan Zac makin meruncing dan berpotensi cukup brutal meski tak sampai menjadi eksploitatif on-screen, Burger masih menunjukkan kepiawaiannya dalam menyajikan adegan aksi dan thriller yang mendebarkan. 


Potensi lain yang mungkin dihindari oleh Burger adalah kecenderungan menjadi eksploitasi seksual mengingat dorongan seksual di usia anak-anak didik sebenarnya yang paling kuat dan mendasar, apalagi setelah selama ini 'ditekan' dengan sedimikian rupa. Dengan masih berusaha menjadikan Voyagers sebagai tontonan yang ramah untuk membidik pasar remaja (setidaknya dewasa muda), Burger memilih untuk melewatkan (menghindari) potensi tersebut. Jiak tidak, bukan tidak mungkin akan ada adegan orgy yang melibatkan para remaja dalam film. Tentu ini juga bukan jalan yang bijak terutama di kondisi masyarakat yang kian sensitif akhir-akhir ini. Meski pada akhirnya Lionsgate pun secara sadar tetap berusaha 'menjual' sisi sensual ini, terutama lewat poster yang diedarkan di Amerika Serikat. 

Mengisi peran-peran utama, baik Tye Sheridan, Fionn Whitehead, dan Lily-Rose Depp sama-sama memberikan performa yang baik dan pesona kharisma yang cukup kuat. Sementara Colin Farrell pun juga menunjukkan kharisma bijak yang meyakinkan sesuai dengan tingkat usia karakter (mengingat tipikal peran-peran yang dimainkan Farrell sebelumnya). 


Desain produksi futuristis dari Scott Chambliss cukup meyakinkan dengan budget yang tergolong rendah (sekitar USD 29 juta), termasuk pula desain kostum Bojana Nikitovic yang termasuk unik (kostum kedap udara astronot warna kuning!). Sinematografi Enrique Chediak dan editing Naomi Geraghty juga berhasil memberikan emotional impact, terutama di adegan-adegan aksi dan thriller meski mengakali beberapa detail off-screen demi mempertahankan rating PG-13. Terakhir, skor musik gubahan Trevor Gureckis turut mendukung atmosfer ketegangan beberapa adegan meski tak sampai ke tingkat signatural ataupun exceptional.

Pada akhirnya, Voyagers menjadi film dengan persepsi dan reaksi beragam dari para penontonnya. Namun bagi saya pribadi, ia sudah lebih dari cukup jelas memaparkan apa yang ingin disampaikan tentang hakekat manusia yang serba non-binari di peradaban yang benar-benar baru meski dengan bibit unggul dan nurtural yang sama. Tak ada teknologi yang bisa mengubah hakekat tersebut. Dampaknya, terserah masing-masing penonton pula, akan menjadikan Voyages refleksi tentang hakekat tersebut dan berupaya menjadi pribadi yang lebih baik lagi atau menganggapnya hanya sekadar hiburan tanpa tujuan jelas yang gagal.

Lihat data film ini di IMDb.

Diberdayakan oleh Blogger.