Minari
[미나리]
Antara Obsesi
"Mimpi Amerika"
dan Tanggung Jawab
Keluarga
Tak hanya lewat K-pop dan K-drama, sinema Korea Selatan semakin mencapai puncaknya di mata dunia setelah Parasite (2019) menjadi primadona di berbagai ajang film bergengsi dunia, termasuk Cannes Film Festival, Golden Globes, dan tentu saja, Academy Awards (Oscar). Mungkin fakta ini yang membuat Brad Pitt lewat rumah produksinya, Plan B, memberikan lampu hijau untuk proyek yang diajukan Lee Isaac Chung, sutradara berdarah Korea Selatan yang lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat.
Chung sendiri mulai dikenal lewat debut film panjang-nya, Munyurangabo (2007) yang memenangkan Grand Prize Jury di AFI Fest dan menjadi nominee kategori Un Certain Regard serta Caméra d'Or di Cannes Film Festival. Minari bisa dianggap sebagai semi-autobiopik dari Chung, mengingat dirinya juga dibesarkan di lingkungan pertanian di Arkansas sebagaimana setting cerita. Dipadu dengan pengaruh novel My Antonia (1918) karya Willa Cather, Chung menyusun naskah Minari. Didukung performa dari aktor-aktor seperti Steven Yeun (serial Walking Dead, Okja, Burning), Han Ye-ri, Youn Yuh-jung (The Housemaid, Beasts Clawing at Straws), dan Will Patton (The Postman, Remember the Titans, Armageddon), siapa yang sangka Minari yang diproduksi dengan berbagai keterbatasan mampu menjadi salah satu film paling berprestasi di tahun 2020 yang sangat 'menantang' terutama gara-gara pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia? Puncaknya, tentu saja meraih enam nominasi Oscar, termasuk untuk Best Motion Picture of the Year, Best Director, dan Best Original Screenplay. Penonton Indonesia termasuk beruntung bisa menyaksikan Minari di layar lebar mulai 21 April 2021. Tentu kesempatan mengalami satu-satunya film nominee Film Terbaik Oscar 2021 yang bisa ditonton di layar lebar sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Bersetting tahun 1983, Jacob Yi (Steven Yuen) memutuskan mengajak keluarganya; sang istri, Monica (Han Ye-ri), putri sulungnya, Anne, dan putra bungsu, David, pindah dari California ke Arkansas demi memenuhi mimpinya untuk memiliki usaha pertanian produk-produk pangan khas Korea Selatan. Jacob melihat ini sebagai peluang besar mengingat selama ini produk-produk pangan khas Korea Selatan didatangkan dari California yang membutuhkan waktu pendistribusian yang lebih lama sehingga kualitasnya menurun saat sampai di tangan konsumen. Monica sebenarnya kurang suka dengan ide Jacob untuk membina keluarganya di atas rumah trailer yang jauh dari berbagai akses fasilitas umum. Namun demi mendukung cita-cita sang suami, ia akhirnya mencoba mengalah dan menjalaninya. Sambil membangun usahanya, Jacob dan Monica juga bekerja sebagai pemisah jenis kelamin anak ayam di sebuah pabrik peternakan lokal.
Keputusan mendatangkan ibu Monica, Soon-ja (Youn Yuh-jung) yang eksentrik untuk menjaga Anne dan David ketika keduanya bekerja di pabrik ternyata semakin membuat suasana keluarga menjadi semakin menantang. David yang dibesarkan sebagai 'anak Amerika' menganggap Sang Nenek 'bau Korea' dan tak seperti seorang nenek betulan pada umumnya. Satu per satu 'ujian' menantang ketahanan keluarga Yi dan di satu titik membuat Jacob harus memutuskan jalan tengah antara obsesi 'mimpi Amerika'-nya dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Dengan pendekatan 'slice of life', Chung berusaha memperkenalkan sekaligus memikat simpati penonton terhadap keluarga Yi. Di awal film mungkin penonton dibuat meraba-raba dan mempertanyakan esensi utama dari film menilik dari kejadian demi kejadian kecil yang (untungnya) kadang berhasil menggelitik, kadang juga membuat penonton tertegun oleh dramatisasi konflik yang dihadirkan. Ditambah dengan pilihan penutup yang tak serta-merta menjadi konklusi yang benar-benar jelas, butuh upaya lebih untuk menganalisis sekaligus merefleksikan benang merah dari kejadian demi kejadian yang dialami oleh keluarga Yi. Bagi beberapa penonton, Minari bisa jadi sekadar film 'slice of life' yang ringan dan menghibur, tapi bagi sebagian penonton lainnya bisa juga menjadi sajian yang lebih berkesan setelah melakukan refleksi yang lebih mendalam.
Bagi saya pribadi, Minari memberikan gambaran reflektif tentang obsesi pribadi ketika harus berbenturan dengan tanggung jawab sebagai bagian dari keluarga. Tiap pilihan punya konsekuensi sebab-akibat tersendiri yang harus dihadapi dan dijalani. Tak ada yang sepenuhnya benar, tak perlu juga selalu ada yang disalahkan. Terkadang hanya perlu dijalani dan percaya bahwa setiap kejadian selalu punya hikmah tersendiri yang tak terduga. Sebagaimana minari (selada air khas Korea Selatan) yang dalam film ditanam secara iseng-iseng tapi tanpa diduga-duga justru menjadi 'penyelamat' keluarga Yi. Mungkin itulah filosofi yang ingin disampaikan Chung lewat film hingga dijadikan judul.
Saya rasa bukan tanpa alasan pula dihadirkan sosok eksentrik Paul untuk merepresentasikan sisi 'asli Amerika' tapi menjunjung tinggi relijiusitas di tengah-tengah keluarga Yi yang notabene merepresentasikan sisi 'budaya Timur' yang kental dengan tradisi dan kepercayaan tapi berusaha menjadi bagian dari komunitas Barat yang lebih percaya terhadap hal-hal rasional ketimbang sekadar 'kepercayaan'. Ada sebuah 'keseimbangan' yang ingin disampaikan Chung di tengah benturan budaya Barat-Timur, antara rasional dan kepercayaan.
Untungnya Chung cukup membumi dalam menyampaikan gagasan-gagasan esensial-nya lewat film sehingga Minari masih bisa dinikmati sebagai drama 'slice of life' sehari-hari tentang keluarga yang mungkin saja dekat dengan penonton umum sekali pun, terutama lewat kejadian-kejadian menggelitik dan dramatis-nya. Tak sedikit pun terlihat upaya untuk terasa kelewat puitis atau bermain-main dengan semiotika yang rumit, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi semacam signature film-film (so-called) arthouse.
Performa akting yang serba natural dari para aktor mungkin sekilas membuat penampilan mereka tak istimewa, tapi di sisi lain justru menjadi kekuatan tersendiri. Tak hanya Steven Yeun, Han Ye-ri, dan Youn Yuh-jung yang dengan mudah terasa paling menonjol sepanjang film, bahkan penampilan natural dari aktor cilik, Alan Kim sebagai David, dan Noel Kate Cho sebagai Anne juga patut mendapatkan pengakuan lebih. Tak mudah bagi anak-anak seumuran mereka mampu tampil se-natural itu. Dibutuhkan bakat lebih yang dapat dengan mudah terlihat jelas pada keduanya. Tak heran jika karir keduanya akan semakin bersinar ketika menginjak dewasa kelak.
Sinematografi Lachlan Milne (Hunt for the Wilderpeople, Stranger Things) dan editing Harry Yoon (Detroit, Euphoria) mungkin tak menunjukkan sesuatu yang istimewa tapi jelas dilakukan dengan serba tepat sesuai kebutuhan dan pace penceritaan yang ingin dicapai. Mengalir perlahan tapi lancar, tak sedikit pun ada yang terasa kelewat lamban atau tersendat-sendat. Sementara skor musik dari Emile Mosseri mungkin tak terlalu banyak menghiasi film, tapi diletakkan pada momen-momen yang tepat, mampu menambah rasa lebih pada adegan, sekaligus cukup memorable untuk menjadi salah satu identitas terkuat dari film.
Meski bergenre drama, tapi Minari berhasil semakin meyakinkan saya bahwa pengalaman sinematik di layar bioskop tetap tak akan pernah tergantikan oleh platform digital rumahan. Terbukti adegan-adegan yang ditampilkan Minari terasa lebih impactful dan membuat pemahaman saya terhadap film menjadi lebih jelas serta kuat ketika mengalaminya di layar lebar. Coba saja bandingkan sendiri!
Lihat data film ini di IMDb.