3.5/5
3D
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Fantasy
Franchise
Hollywood
IMAX
Magic
Oscar 2017
Pop-Corn Movie
Romance
Spin-off
The Jose Flash Review
Wizard
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Fantastic Beasts
and Where to Find Them
Siapapun harus mengakui bahwa Harry Potter merupakan salah satu fenomena pop-culture paling besar
sejak akhir 90-an sampai sekarang. Maka ketika novel terakhir selesai
difilmkan, sayang rasanya jika franchise sebesar itu harus berakhir pula.
Untungnya J.K. Rowling adalah penulis dengan visi yang luar biasa detail. Ini
merupakan bakat yang jarang ada dari seorang penulis. Dengan demikian ia sudah
bisa disejajarkan dengan J.R.R. Tolkien yang juga membuat universe Lord of the Rings dan begitu mendetail.
Seiring dengan buku-buku ‘pelengkap’ yang ia terbitkan untuk tujuan amal,
seperti Fantastic Beasts and Where to
Find Them (FBaWtFT) yang merupakan buku pelajaran bak ensiklopedia tentang
makhluk-makhluk magis, Quidditch Through
the Ages yang merupakan buku perjalanan sejarah olah raga Quidditch, dan The Tales of Beedle the Bard yang
merupakan buku kumpulan dongeng. Warner Bros. tertarik untuk mengangkat FBaWtFT
ke film layar lebar. J.K. Rowling sendiri yang memulai debut penulisan naskah,
dengan sutradara David Yates (Harry
Potter and the Order of Phoenix sampai The
Deathly Hallows Part 2) setelah Alfonso Cuarón menolak. Mengingat ini
adalah sebuah spin-off dengan setting jauh sebelum cerita orisinilnya, tentu
diperlukan konsep serta karakter-karakter baru. Eddie Redmayne didapuk
memerankan karakter sentral, Newt Scamander. Didukung Katherine Waterston, Dan
Fogler, Alison Sudol, Colin Farrell, Ezra Miller, Ron Perlman, dan Jon Voight.
Untuk pertama kalinya pula aktor-aktor asal Amerika Serikat masuk ke dalam universe
sihir ini mengingat setting-nya pun berpindah dari Inggris ke Amerika Serikat.
Tak tanggung-tanggung, Warner Bros. dan Rowling sudah mengumumkan akan ada lima
seri dari Fantastic Beasts.
Cerita dibuka dengan kedatangan seorang pemuda bernama Newt
Scamander ke daratan Amerika Serikat dengan membawa sebuah koper besar. Begitu
tiba ia langsung disambut oleh Mary Lou yang menyerukan gerakan anti penyihir.
Usut punya usut gerakan ini dipicu oleh serangkaian kejadian misterius yang
akibatnya cukup fatal terjadi akhir-akhir ini di New York. Ia menduga ini
merupakan aktivitas sihir. Di saat yang sama, seekor makhluk gaib bernama
Niffler kabur dari koper Scamander hingga menuntunnya masuk ke dalam bank dan
berakhir dengan tuduhan perampokan. Pertemuan tak mengenakkan dengan seorang
No-Maj (istilah Amerika Serikat untuk muggle, kaum manusia biasa) bernama Jacob
Kowalski, membuat Scamander mau tak mau mengajaknya ‘bertualang’. Aktivitas
mencurigakan keduanya diendus oleh Tina, seorang auror atau semacam ‘polisi’ penyihir.
Sayang Tina sendiri rupanya bermasalah sehingga aduannya atas pelanggaran
Scamander tak diindahkan. Maka Scamander berinisiatif untuk menyelesaikan
sendiri permasalahan yang disebabkan oleh dirinya. Siapa sangka mereka justru
terlibat dengan penyebab ancaman kekacauan-kekacauan misterius di New York
selama ini yang sebenarnya.
Meski masih satu universe, tapi FBaWtFT jelas punya konsep
yang jauh berbeda dari seri Harry Potter. Tak hanya masalah setting waktu yang
era 1920-an, tapi juga lokasi di Amerika Serikat dengan culture-culture yang
berbeda dari Inggris. Tentu butuh waktu lebih untuk memperkenalkan
istilah-istilah dan segala tatanannya yang baru. Jika mau dianalisis lebih
dalam, plot FBaWtFT sebenarnya masih kurang lebih pada template serupa dari seri
Harry Potter dengan modifikasi di sana-sini. Mulai sosok karakter sentral hingga pengungkapan villain
sebenarnya yang tentu mengingatkan kita akan revealing Harry Potter and the Sorcerer’s Stone. Kendati demikian,
pembangunan konsep segala sesuatunya yang diciptakan oleh Rowling harus diakui
luar biasa detail.
Sayangnya, saya pribadi masih belum bisa merasakan ‘daya
magis’ yang (setidaknya) sama kuatnya dengan seri orisinilnya. Awalnya saya
sendiri susah menjelaskan faktor X apa yang membuatnya demikian. Apalagi
ternyata efek ‘magis’ yang dirasakan oleh tiap orang, baik yang penggemar
fanatik Harry Potter maupun muggle (baca: awam), berbeda-beda. Kemudian saya
mencoba untuk menganalisis lebih dalam penyebabnya. Saya menemukan adanya
storytelling Yates yang masih belum mampu memvisualkan visi Rowling sekuat seri
Harry Potter. Terutama di satu jam pertama ketika ia memperkenalkan
universe-nya dengan pace yang kurang nyaman untuk diikuti. Terlalu cepat (atau
terlalu banyak) untuk dicerna tapi terlalu lambat untuk dinikmati sebagai sajian
hiburan. Ya, konsep visualnya mayoritas menakjubkan, seperti desain makhluk
gaib dan berbagai efek-efek sihir yang menghibur. Namun tak jarang pula
visualisasinya tampak kacau di layar. Lihat saja serangan Obscurus yang membuat
adegan-adegan pertarungan dahsyat terlihat kurang jelas detailnya. Satu elemen
yang justru berhasil adalah romance antara karakter no-maj, Jacob Kowalski dan
Queenie Goldstein. Awalnya menjadi sub-plot sampingan, tapi di klimaks justru
menjadi momen manis yang paling memorable.
Eddie Redmayne mungkin masih butuh waktu lebih untuk membuat
karakter Newt Scamander terasa lebih menarik dan punya daya untuk menarik
simpati lebih besar. Hal yang sama yang pernah terjadi dengan karakter Harry
Potter dulu. Namun setidaknya Redmayne sudah cukup menorehkan kekhasan dalam
karakter Scamander, mulai ekspresi wajah, gesture, sampai attitude dan pola
pikir. Katherine Waterston sebagai Tina masih jauh dari menarik dan
mengesankan. Dan Fogler sebagai Kowalski yang sebenarnya secara fisik
mengingatkan saya akan karakter Uncle Vernon, tapi rupanya menjadi salah satu
karakter paling memorable dan loveable di sini. Chemistry manis yang berhasil
dibangunnya dengan Alison Sudol sebagai Queenie menjadi salah satu faktornya.
Sementara Sudol sendiri memang tampil lebih menarik dengan aura ‘menggoda’
daripada Waterston. Ezra Miller sebagai Credence cukup noticeable meski tidak
diberi detail karakter yang lebih. Begitu juga Collin Farrell sebagai Percival
Graves yang tidak diberi porsi lebih mendalam meski sebenarnya cukup penting.
Sisanya, Carmen Ejogo sebagai Presiden Seraphina Picquery, Samantha Morton
sebagai Mary Lou, Jon Voight sebagai Henry Shaw Senior, dan Josh Cowdery
sebagai Henry Shaw Junior tampil noticeable dengan porsi masing-masing. Serta
tak boleh dilupakan pula kejutan dari Johnny Depp yang sebenarnya mudah ditebak
jika Anda familiar dengan pola cerita universe Harry Potter.
Konsep baru maka kesempatan untuk memasukkan elemen-elemen
teknis baru ke dalamnya. Sinematografi Philippe Rousselot melanjutkan
konsistensi storytelling dari universe Harry Potter dengan angle-angle dan
pergerakan kamera yang terlihat fantastis di layar sebesar IMAX. Sayang
beberapa visualisasi adegan pertarungan dan penghancurannya masih tampak kacau
di layar hingga mengganggu detail pergerakan adegan. Editing Mark Day bukanlah
penyebab ketidak-stabilan pace FBaWtFT. Tampak sekali ia berupaya menjaga laju
pace sepanjang film tanpa melupakan ruang bagi penonton untuk merasakan
‘wow’-factor-nya. Desain produksi Stuart Craig, James Hambidge, beserta tim art
menyuguhkan sedikit warna baru tanpa menghilangkan warna-warna dari seri
orisinilnya sebagai benang merah. Khas New York dengan desain kostum dari
Colleen Atwood yang selalu cantik dan classy, serta elemen-elemen pendukung nuansa
jazzy. Scoring dari James Newton Howard juga menyuntikkan alunan baru yang
cukup hummable dengan masih menyisakan jejak scoring asli Harry Potter yang digubah oleh John Williams hingga Alexandre
Desplat.
Jika Anda termasuk penggemar atau sekedar mengikuti dan suka seri
Harry Potter, jelas FBaWtFT pantang
untuk dilewatkan. Toh sudah terbukti bahwa efeknya berbeda-beda terhadap tiap
penonton, baik dari kalangan fans maupun muggle. Siapa tahu Anda bisa merasakan
ke-‘magis’-an yang sama atau malah lebih dari seri Harry Potter orisinil. Saya pribadi tentu akan terus mengikuti
seri-seri selanjutnya yang sudah disiapkan, mengingat pengalaman dari seri Harry Potter dulu yang semakin lama
semakin menarik. Just for a suggestion, untuk mendapatkan pengalaman yang
maksimal tentu wajib menyaksikannya di layar IMAX 3D. Apalagi ia punya
efek-efek 3D yang cukup banyak dan bagus, baik dari segi ilusi depth of field
maupun gimmick frame-breaking sebagai pengganti gimmick pop-out.
Lihat data film ini di IMDb.The 89th Academy Awards Nominees for:
- Costume Design - Colleen Atwood
- Production Design - Stuart Craig (Production Design) and Anna Pinnock (Set Decoration)