3/5
Asia
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
religious
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bid'ah Cinta
Jika tema cinta beda agama masih menjadi isu
sensitif kendati sudah sering diangkat (dengan ending serta konklusi yang masih
lebih sering ‘main aman’), bagaiman dengan cinta sesame agama tapi beda aliran?
Dilema, bahkan konflik yang tak kalah pelik itulah yang coba dihadirkan oleh
Nurman Hakim (3 Doa 3 Cinta, Khalifah, dan The Window) lewat Bid’ah
Cinta (BC) yang diproduksi di bawah bendera Kaninga Pictures. Dengan naskah
yang disusunnya sendiri bersama Zaim Rofiqi dan Ben Sohib, BC menghadirkan
Ayushita, Dimas Anggara, dan Ibnu Jamil, dengan dukungan dari Dewi Irawan, Alex
Abbad, Ronny P. Tjandra, Fuad Idris, Ade Firman Hakim, Jajang C. Noer, Tanta
Ginting ,Khiva Iskak, dan mantan bintang cilik yang melanjutkan kerjasama
dengan Nurman setelah The Window, Yoga
Pratama.
Kamal dan Khalida menjalin hubungan asmara
yang serius di tengah perseteruan keluarga mereka yang punya perbedaan aliran
meski sama-sama beragama Islam. Keluarga Khalida menganut Islam tradisional
dimana masih mempertahankan adat-adat kebudayaan setempat seperti acara
Mauludan, sementara keluarga Kamal menganut aliran puritan yang menganggap
adat-adat ala Islam tradisional sebagai bid’ah (sesat). Sementara itu di
kampung mereka kedatangan sepupu Kamal yang dianggap terpandang karena belajar
agama di Arab, Ustadz Jaiz, yang makin lama punya pengikut semakin banyak dan
mulai mengatur-atur kegiatan di masjid kampung mereka. Salah satunya menolak
Sandra, seorang waria yang biasa sholat di kelompok wanita. Di tengah konflik
yang kian meruncing, hubungan antara Kamal dan Khalida pun terpengaruh.
Pilihannya antara perbedaan mereka akan turut mengkandaskan hubungan mereka
atau justru mempersatukan kedua kubu.
Kisah cinta di tengah-tengah latar konflik
perbedaan sebenarnya menjadi template yang paling umum diambil, apapun dasar
konfliknya. Wajar, karena kasih sayang lah sebenarnya kunci solusi dari
perselisihan dan kebencian. Dengan menggunakan agama yang sama, hanya beda
aliran, BC sebenarnya bisa lebih ‘aman’ dalam menyampaikan esensi-esensinya.
Kendati tetap saja ada potensi ‘ribut’ mengingat di kehidupan nyata perbedaan
aliran saja bisa memicu konflik fisik yang serius.
Nurman sebenarnya masih menggunakan treatment
pengembangan cerita yang tak banyak berbeda dari tema-tema kisah cinta di
tengah konflik perbedaan yang lain. Hanya saja ia memanfaatkan storytelling
style khas-nya yang cenderung santai (jika tak mau disebut lambat), sederhana,
dan mengingatkan kita akan drama-drama TVRI era 80-90’an. Tak ada yang salah
dengan style seperti ini, yang justru membuatnya unik karena tergolong langka
dewasa ini.
Namun BC tak pelak dari permasalahan dalam
menyampaikan cerita sederhanannya. Ada terlalu banyak sub-plot yang dibangun
sebagai latar konflik, seperti misalnya bagaimana Ustadz Jaiz mengembangkan
pengaruhnya ke umat-umat di kampung, atau karakter preman kampung, Faruk dan
Ketel, yang awalnya tampak seperti comedic characters untuk lebih mencairkan
suasana di balik tone utama yang serius, tapi ternyata diberi pengembangan
lebih. Menarik sebenarnya, tapi dengan porsi yang demikian justru mendistraksi
plot utama kisah cinta antara Kamal dan Khalida yang justru pengembangannya
terkesan asal ada titik-titik terpentingnya semata. Apalagi sub-plot cinta
segitiga yang melibatkan Hasan yang terkesan asal ada untuk ‘memperkeruh’
keadaan, sehingga membuat kehadiran Ibnu Jamil terasa agak mubazir.
Penyelesaian kesemua konflik pun di mata saya
terkesan terlalu menggampangkan. I mean, dengan karakteristik ayah Kamal yang
sejak awal dibuat teramat sangat keras dengan pendirian tapi tak terkesan punya
pengaruh kuat terhadap masyarakat di kampungnya (justru ayah Khalida yang
terlihat punya pengaruh), penyelesaian ala ‘love conquers all’ terasa agak out
of nowhere, tanpa proses maupun momen-momen transformasi yang cukup convincing.
Untungnya BC didukung aktor-aktris yang
tergolong merata tampil bagus. Dimas Anggara sebagai Kamal dan Ayushita sebagai
Khalida mampu menjadi perhatian utama penonton berkat kharisma akting
masing-masing yang dari peran ke peran terasa semakin kuat, pun juga chemistry
yang cukup convincing. Aktor-aktris di lini pendukung pun tak kalah menonjolnya
sesuai porsi masing-masing, seperti Fuad Idris sebagai Haji Rohili dan Ronny P.
Tjandra sebagai Haji Jamat yang sama-sama punya kharisma kuat sesuai peran masing-masing.
Penampilan Alex Abbad sebagai Ustadz Jaiz pun terasa di atas rata-rata
penampilan sebelumnya, kendati masih ada sedikit inkonsistensi ketika muncul
unsur-unsur komikal yang agak mendistraksi keseriusan karakternya.
Wawan Cenut sebagai Faruk dan Norman Akyuwen
sebagai Ketel yang awalnya terkesan hanya sekedar karakter-karakter komedik,
justru tampil menarik berkat penampilan saat turnover karakter menjadi lebih
serius yang patut diperhitungkan. Tanta Ginting, Khiva Iskak, dan Yoga Pratama
yang memang tak diberi perkembangan karakter lebih, sekedar noticeable lewat
penampilan yang hanya satu dimensi. Dewi Irawan dan Jajang C. Noer seperti
biasa tampil memikat kendati porsi perannya tak begitu banyak maupun berarti.
Terakhir, tak boleh dilupakan scene stealer terbesar dari Ade Firman Hakim yang
membawakan karakter waria, Sandra, dengan gesture yang natural tanpa terkesan
dibuat-buat.
Teknis BC tak ada yang istimewa, apalagi
konsepnya yang memang sederhana a la drama TVRI era 80-90’an. Seperti misalnya
sinematografi Billy Tristiandy yang menggunakan angle-angle serta shot-shot
standard, tanpa pergerakan kamera yang berarti, tapi tetap efektif dalam
menuturkan tiap detail adegan. Mungkin ketidak-seimbangan antar sub-plot yang
mendistraksi plot utama bukan sepenuhnya faktor editing Ahmad Mujibur Rahman.
Setidaknya editing masih mampu menggerakkan plot sesuai dengan konsep pace.
Hanya saja editing cut-to-cut dinamis untuk adegan-adegan dangdutan terasa
terlalu signifikan di tengah-tengah konsep editing keseluruhan yang mengalir
lembut. Adegan pembuka dan penutup pun sebenarnya terlalu panjang tanpa punya
tujuan penceritaan lebih. Musik dari Thoersi Argeswara cukup membangun nuansa
dramanya sesuai konsep dan porsi. Lagu tema dari Letto, Pelangi di Langit Senja dan Memulai
mengalun dengan tepat pada adegan-adegan, pun juga memorable untuk terus
diingat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Dalam menyampaikan misi mulianya untuk
mempertemukan dua aliran Islam yang berkonflik di tengah kondisi toleransi
antar umat agama di Indonesia yang sedang bergejolak, BC memang bisa dianggap
berhasil dengan tuturan yang halus, lembut, dan dengan hati yang cukup besar.
Hanya saja memang kemasannya bisa dibuat lebih nyaman bagi penonton umum,
terutama dalam hal pace dan penyederhanaan dengan meminimalisir sub-plot-sub-plot
yang mendistraksi. Turnover sampai penyelesaian konflik yang lebih convincing
juga bisa membuat BC jauh lebih solid lagi. Nevertheless, BC masih bisa saya
nikmati dan tentu saja esensi untuk saling menerima perbedaan sekaligus berjalan
beriiringan yang tetap terasa indah sebagai sebuah konklusi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.