The Jose Flash Review
Bid'ah Cinta


Jika tema cinta beda agama masih menjadi isu sensitif kendati sudah sering diangkat (dengan ending serta konklusi yang masih lebih sering ‘main aman’), bagaiman dengan cinta sesame agama tapi beda aliran? Dilema, bahkan konflik yang tak kalah pelik itulah yang coba dihadirkan oleh Nurman Hakim (3 Doa 3 Cinta, Khalifah, dan The Window) lewat Bid’ah Cinta (BC) yang diproduksi di bawah bendera Kaninga Pictures. Dengan naskah yang disusunnya sendiri bersama Zaim Rofiqi dan Ben Sohib, BC menghadirkan Ayushita, Dimas Anggara, dan Ibnu Jamil, dengan dukungan dari Dewi Irawan, Alex Abbad, Ronny P. Tjandra, Fuad Idris, Ade Firman Hakim, Jajang C. Noer, Tanta Ginting ,Khiva Iskak, dan mantan bintang cilik yang melanjutkan kerjasama dengan Nurman setelah The Window, Yoga Pratama.

Kamal dan Khalida menjalin hubungan asmara yang serius di tengah perseteruan keluarga mereka yang punya perbedaan aliran meski sama-sama beragama Islam. Keluarga Khalida menganut Islam tradisional dimana masih mempertahankan adat-adat kebudayaan setempat seperti acara Mauludan, sementara keluarga Kamal menganut aliran puritan yang menganggap adat-adat ala Islam tradisional sebagai bid’ah (sesat). Sementara itu di kampung mereka kedatangan sepupu Kamal yang dianggap terpandang karena belajar agama di Arab, Ustadz Jaiz, yang makin lama punya pengikut semakin banyak dan mulai mengatur-atur kegiatan di masjid kampung mereka. Salah satunya menolak Sandra, seorang waria yang biasa sholat di kelompok wanita. Di tengah konflik yang kian meruncing, hubungan antara Kamal dan Khalida pun terpengaruh. Pilihannya antara perbedaan mereka akan turut mengkandaskan hubungan mereka atau justru mempersatukan kedua kubu.
Kisah cinta di tengah-tengah latar konflik perbedaan sebenarnya menjadi template yang paling umum diambil, apapun dasar konfliknya. Wajar, karena kasih sayang lah sebenarnya kunci solusi dari perselisihan dan kebencian. Dengan menggunakan agama yang sama, hanya beda aliran, BC sebenarnya bisa lebih ‘aman’ dalam menyampaikan esensi-esensinya. Kendati tetap saja ada potensi ‘ribut’ mengingat di kehidupan nyata perbedaan aliran saja bisa memicu konflik fisik yang serius.
Nurman sebenarnya masih menggunakan treatment pengembangan cerita yang tak banyak berbeda dari tema-tema kisah cinta di tengah konflik perbedaan yang lain. Hanya saja ia memanfaatkan storytelling style khas-nya yang cenderung santai (jika tak mau disebut lambat), sederhana, dan mengingatkan kita akan drama-drama TVRI era 80-90’an. Tak ada yang salah dengan style seperti ini, yang justru membuatnya unik karena tergolong langka dewasa ini.
Namun BC tak pelak dari permasalahan dalam menyampaikan cerita sederhanannya. Ada terlalu banyak sub-plot yang dibangun sebagai latar konflik, seperti misalnya bagaimana Ustadz Jaiz mengembangkan pengaruhnya ke umat-umat di kampung, atau karakter preman kampung, Faruk dan Ketel, yang awalnya tampak seperti comedic characters untuk lebih mencairkan suasana di balik tone utama yang serius, tapi ternyata diberi pengembangan lebih. Menarik sebenarnya, tapi dengan porsi yang demikian justru mendistraksi plot utama kisah cinta antara Kamal dan Khalida yang justru pengembangannya terkesan asal ada titik-titik terpentingnya semata. Apalagi sub-plot cinta segitiga yang melibatkan Hasan yang terkesan asal ada untuk ‘memperkeruh’ keadaan, sehingga membuat kehadiran Ibnu Jamil terasa agak mubazir.
Penyelesaian kesemua konflik pun di mata saya terkesan terlalu menggampangkan. I mean, dengan karakteristik ayah Kamal yang sejak awal dibuat teramat sangat keras dengan pendirian tapi tak terkesan punya pengaruh kuat terhadap masyarakat di kampungnya (justru ayah Khalida yang terlihat punya pengaruh), penyelesaian ala ‘love conquers all’ terasa agak out of nowhere, tanpa proses maupun momen-momen transformasi yang cukup convincing.
Untungnya BC didukung aktor-aktris yang tergolong merata tampil bagus. Dimas Anggara sebagai Kamal dan Ayushita sebagai Khalida mampu menjadi perhatian utama penonton berkat kharisma akting masing-masing yang dari peran ke peran terasa semakin kuat, pun juga chemistry yang cukup convincing. Aktor-aktris di lini pendukung pun tak kalah menonjolnya sesuai porsi masing-masing, seperti Fuad Idris sebagai Haji Rohili dan Ronny P. Tjandra sebagai Haji Jamat yang sama-sama punya kharisma kuat sesuai peran masing-masing. Penampilan Alex Abbad sebagai Ustadz Jaiz pun terasa di atas rata-rata penampilan sebelumnya, kendati masih ada sedikit inkonsistensi ketika muncul unsur-unsur komikal yang agak mendistraksi keseriusan karakternya.
Wawan Cenut sebagai Faruk dan Norman Akyuwen sebagai Ketel yang awalnya terkesan hanya sekedar karakter-karakter komedik, justru tampil menarik berkat penampilan saat turnover karakter menjadi lebih serius yang patut diperhitungkan. Tanta Ginting, Khiva Iskak, dan Yoga Pratama yang memang tak diberi perkembangan karakter lebih, sekedar noticeable lewat penampilan yang hanya satu dimensi. Dewi Irawan dan Jajang C. Noer seperti biasa tampil memikat kendati porsi perannya tak begitu banyak maupun berarti. Terakhir, tak boleh dilupakan scene stealer terbesar dari Ade Firman Hakim yang membawakan karakter waria, Sandra, dengan gesture yang natural tanpa terkesan dibuat-buat.
Teknis BC tak ada yang istimewa, apalagi konsepnya yang memang sederhana a la drama TVRI era 80-90’an. Seperti misalnya sinematografi Billy Tristiandy yang menggunakan angle-angle serta shot-shot standard, tanpa pergerakan kamera yang berarti, tapi tetap efektif dalam menuturkan tiap detail adegan. Mungkin ketidak-seimbangan antar sub-plot yang mendistraksi plot utama bukan sepenuhnya faktor editing Ahmad Mujibur Rahman. Setidaknya editing masih mampu menggerakkan plot sesuai dengan konsep pace. Hanya saja editing cut-to-cut dinamis untuk adegan-adegan dangdutan terasa terlalu signifikan di tengah-tengah konsep editing keseluruhan yang mengalir lembut. Adegan pembuka dan penutup pun sebenarnya terlalu panjang tanpa punya tujuan penceritaan lebih. Musik dari Thoersi Argeswara cukup membangun nuansa dramanya sesuai konsep dan porsi. Lagu tema dari Letto, Pelangi di Langit Senja dan Memulai mengalun dengan tepat pada adegan-adegan, pun juga memorable untuk terus diingat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Dalam menyampaikan misi mulianya untuk mempertemukan dua aliran Islam yang berkonflik di tengah kondisi toleransi antar umat agama di Indonesia yang sedang bergejolak, BC memang bisa dianggap berhasil dengan tuturan yang halus, lembut, dan dengan hati yang cukup besar. Hanya saja memang kemasannya bisa dibuat lebih nyaman bagi penonton umum, terutama dalam hal pace dan penyederhanaan dengan meminimalisir sub-plot-sub-plot yang mendistraksi. Turnover sampai penyelesaian konflik yang lebih convincing juga bisa membuat BC jauh lebih solid lagi. Nevertheless, BC masih bisa saya nikmati dan tentu saja esensi untuk saling menerima perbedaan sekaligus berjalan beriiringan yang tetap terasa indah sebagai sebuah konklusi. 
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.