3D
4/5
Action
Adventure
Based on Book
Crime
Drama
Fantasy
Hollywood
Humanity
IMAX
Pop-Corn Movie
Psychological
Remake
SciFi
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Ghost in the Shell (2017)
Sudah bukan kasus yang baru lagi bahwa Hollywood sering
mencari inspirasi ide cerita film dari Asia, terutama manga dan/atau anime
Jepang yang memang salah satu paling kaya dan populer. Sayangnya karena saking
populernya yang kemudian membentuk fanbase yang besar dan kuat, seringkali
upaya remake Hollywood mendapatkan kritik tajam dari para fanatik, terutama
soal whitewash (mengganti karakter yang sejatinya beretnis Asia menjadi kulit
putih) dan pengubahan di banyak elemen yang sejatinya bertujuan agar bisa
dipahami dan dinikmati oleh range penonton yang lebih universal. Toh versi
remake Hollywood yang jelas punya pasar jauh lebih luas bisa menjadi sarana
promosi materi aslinya untuk dikenali lebih dalam.
Kendati demikian upaya Hollywood seolah tak pernah mengenal
kata putus asa. Upaya terbaru adalah remake versi live action dari manga Ghost in the Shell (GitS) karya Masamune
Shirow yang beredar pertama kali tahun 1989 dan sempat diangkat ke versi anime
pada tahun 1995. Setelah franchise-nya kemudian berkembang dalam format video
game dan serial TV, tahun 2008 DreamWorks selaku distributor Ghost in the Shell 2: Innocence di layar
lebar Amerika Serikat mendapatkan hak untuk me-remake. Naskahnya disusun oleh
tim yang terdiri dari Jamie Moss (Street
Kings), William Wheeler (The HOAX,
Queen of Katwe), dan Ehren Kruger
(franchise remake The Rings dan Transformers sejak Revenge of the Fallen), sementara posisi sutradara dipercayakan
kepada Rupert Sanders (Snow White and the
Huntsman). Pemilihan aktris Scarlett Johansson secara general mungkin
sangat catchy dan tepat mengingat ia sudah berkali-kali membuktikan diri tampil
memikat sebagai heroine, seperti di franchise The Avengers dan Lucy.
Namun tentu saja lagi-lagi isu whitewash mencuat ke permukaan. However, GitS versi
live-action Hollywood ini tetap punya daya tarik yang lebih dari cukup untuk
membuat penonton penasaran.
Di masa depan yang tak terlalu jauh, mayoritas manusia sudah
bersimbiosis dengan perangkat buatan untuk menggantikan atau memberikan
kemampuan yang lebih superior, misalnya penglihatan yang lebih tajam, kekuatan
yang luar biasa, dan kecerdasan. Sebagai perusahaan terdepan pencipta teknologi
augmentative, Hanka Robotics menjalankan proyek rahasia yang menggabungkan
cangkang (tubuh) mekanik dengan otak manusia. Adalah Mira Killian yang
merupakan korban selamat dari aksi teroris cyber yang terpilih untuk menjalani
uji coba karena kondisi tubuhnya yang hancur lebur. Setelah menjalani pelatihan
operasi anti teroris, Killian mencapai pangkat Major di tim bernama Section 9
bersama Batoua, Togusa, dan di bawah komando Chief Daisuke Aramaki.
Setelah berhasil menghancurkan robot geisha yang membunuh
seorang sandera, Killian mulai sering mengalami halusinasi. Menurut ‘mentor’
yang selama ini bertanggung jawab atas operasinya, Dr. Ouelet, halusinasi
tersebut hanya semacam glitch, sementara Killian percaya ini berkaitan dengan
masa lalunya sebelum menjalani operasi. Investigasi mencari pelaku terorisme
terus berlangsung yang membawanya ke sosok hacker bernama Kuze. Setelah
mengetahui lebih jauh tentang sosok Kuze, Killian semakin dibuat bingung akan
siapa pihak yang berniat jahat sebenarnya, Kuze atau CEO hanka Robotics,
Cutter.
Jika sempat menyaksikan versi anime-nya, maka dengan mudah
Anda akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan dengan versi live action
ini. Versi anime-nya lebih fokus pada investigasi dan penjabaran sisi-sisi
filosofi lewat bangunan universe serta konflik konspirasi-nya, maka GitS versi
live action ini terasa punya konsep yang lebih sederhana dan berfokus pada
karakter utama, Mira Killian atau yang biasa dipanggil Major saja.
Konsep filosofi universe yang digunakan sebagai latar cerita
hanya sejauh mayoritas manusia sudah menggantikan organ tubuhnya dengan robotik
yang meningkatkan kemampuan berlipat-lipat. Esensinya terletak pada seberapa
‘manusia’ kah manusia ketika sebagian besar dari dirinya sudah digantikan oleh
mesin. Dasar ini kemudian dikembangkan lewat karakter Mira dengan pertanyaan
mana yang lebih penting, masa lalu atau masa depan seseorang. Bahkan jawaban
dari pertanyaan ini menjadi konklusi.
Bukan filosofi ataupun pertanyaan yang baru di film, apalagi
di ranah sci-fi yang sudah berulang kali mengusung tema serupa. Bisa jadi
faktor rentang waktu yang cukup lama, yang mana mungkin masih relevan di tahun
1995 ketika anime-nya rilis tapi isunya sudah tak semenarik dulu ketika
diangkat di tahun 2017. Nevertheless, naskah lebih dari cukup dalam mengangkat
isu-isu tersebut lewat jalinan plot yang juga cukup relevan.
Mungkin banyak kritik (dan juga beberapa penonton) yang
mempermasalahkan betapa ‘dingin’ dan ‘tanpa nyawa’-nya nuansa yang dibangun
sepanjang film. Well, in my opinion, demikianlah nuansa yang ingin disampaikan.
Misalnya karakter Major sendiri yang seperti terjebak di antara kaku-nya tubuh
mekanik dan menyisakan hanya sedikit kemanusiaan, yaitu otak. Which means sisi
kemanusiaan Major hanya terletak pada pola pikir dan nalar saja, tapi
output-nya yang melalui organ-organ robotik tetap saja serba ‘dingin’. Tak ada
yang salah dengan konsep demikian yang memang sangat relevan dengan bangunan
universe sekaligus karakteristik-nya. Ditambah lagi penjelasan yang sangat
logis atas tudingan whitewash sebagai bagian dari perkembangan plot.
Namun saya pun setuju bahwa perkembangan plot GitS memang
sangat formulaic dan minim potensi koneksi antar karakter yang semuanya tampak
sekedar secukupnya. Mungkin ia ingin menjaga fokus pada main dilemmatic dan
main goal-nya, serta menjaga kesederhanaan konsep agar dipahami oleh range
penonton yang jauh lebih luas ketimbang versi anime-nya yang melibatkan
konspirasi rumit dan terasa punya kontekstual khusus pada sosial budaya Jepang.
Namun apa yang di-sederhana-kan dan diminimalisir di versi
live action GitS terbayarkan lewat konsep universe yang begitu detail, punya
style artistik tersendiri yang remarkable, dan kesemuanya punya daya eyegasm
(juga eargasm) yang berlipat-lipat lewat format IMAX 3D. Tak hanya aspect ratio
1.85:1 yang membuatnya tampak full-frame di layar IMAX, tapi juga punya
efek-efek 3D yang meningkatkan experience GitS jauh lebih tinggi lagi. Baik
depth of field maupun pop-out gimmick, sama-sama memanjakan. Butir-butir
pecahan kaca, percikan air, bahkan ScarJo yang menjatuhkan tubuh terasa
benar-benar keluar dari layar. Sound mixing yang terdengar very detailed,
crisp, clear, deep bass, dan pembagian kanal surround yang powerful, menambah
poin experience GitS di teater IMAX 3D.
Tak perlu mempertanyakan kelayakan ScarJo dalam memerankan
sosok Major. Selain pesona fisik dan kharisma akting yang kuat, ia pun masih
mampu menunjukkan dilematis karakter-nya secara jelas meski dari ‘cangkang’-nya
terlihat dingin dan kaku. Pilou Asbæk sebagai Batou menjadi sidekick yang cukup
noticeable kendati sepak terjang dan porsi relasinya dengan Major terasa
kurang. Takeshi Kitano sebagai Aramaki dan Juliette Binoche sebagai Dr. Ouelet
justru menjadi pemeran pendukung yang memorable dan punya relasi yang lebih
terasa dengan Major. Michael Pitt sebagai Kuze tampak cukup badass sebagai
villain, pun juga cukup mengundang simpati penonton. Tak ketinggalan Peter
Ferdinando sebagai Cutter yang punya villainous charisma tak kalah kuatnya.
Kekuatan desain produksi Jan Roelfs tak lepas dari
sinematografi Jess Hall yang berhasil memanfaatkan kesemuanya menjadi eksplorasi
visual yang maksimal, termasuk slow-mo yang terkesan pas pada momennya. Editing
Billy Rich dan Neil Smith menjaga pace dan laju plot dengan cukup lancar dan
poin-poin perkembangan plot yang tertata jelas. Score music dari Lorne Balfe
dan Clint Mansell mengiringi universe serta adegan-adegan GitS dengan
ornamen-ornamen techno yang selaras (atau justru memberi warna lebih) dengan
energi filmnya, termasuk theme song asli Utai
IV: Reawakening yang digunakan sebagai penutup.
Sadar akan tema yang sudah terlalu sering diangkat (baca:
remake yang terlambat), GitS memang memilih untuk tidak terlalu trying too hard
untuk terasa cerdas, berat, dan filosofis sebagaimana versi anime-nya. Cukup
berfokus pada tema utama yang dijalankan ‘lurus’, GitS lebih mengedepankan experience
audio-visual yang luar biasa, apalagi jika dialami di teater IMAX 3D. For that
purpose, bagi saya GitS adalah salah satu cinematic experience terbaik yang
sangat sayang untuk dilewatkan. Tak perlu pula membanding-bandingkannya dengan
versi anime yang jelas-jelas dikembangkan dengan tujuan yang berbeda. Enjoy as
it is made as and expect to get wow-ed by its visual grandeur!
Lihat data film ini di IMDb.