Perpaduan antara sci-fi dan horror sudah sejak lama menjadi
pasangan yang pas untuk disandingkan. Sejauh ini sudah ada franchise Alien sebagai bukti keberhasilan
menghadirkan horror di ranah sci-fi. Bagi saya pribadi (dan saya yakin banyak
juga penonton lain), masih ada Event
Horizon (1997) yang punya daya cekam (juga traumatik) paling maksimal. Tak
lupa pula Species (1995) yang turut
menambahkan unsur erotisme di dalamnya. Di tengah trend cerebral sci-fi yang
lebih mengedepankana filosofi di balik perjalanan bernafas sci-fi akhir-akhir
ini, Life yang naskahnya ditulis oleh
Rhett Reese dan Paul Wernick (keduanya berada di balik naskah Zombieland, G.I. Joe: Retaliation, dan Deadpool),
serta digarap oleh sutradara asal Swedia, Daniel Espinosa (Safe House, Child 44)
menjadi satu sajian yang menarik. Apalagi dukungan nama-nama populer di lini
terdepan seperti Jake Gyllenhaal, Rebecca Ferguson, dan Ryan Reynolds, daya
tarik Life menjadi semakin bertambah.
Tim International Space Station yang terdiri dari enam
astronot; pertugas medis senior, Dr. David Jordan, petugas karantina, Dr.
Miranda North, insinyur sistem, Sho Murakami, pilot, Rory, ahli biologi, Hugh
Derry, dan komandan, Katerina Golovkina, dikirim ke Mars untuk mengambil sample
tanah dan diteliti tentang eksistensi kehidupan di planet tersebut. Setelah
mengekstrak sel tunggal dari sample, Hugh Derry, menemukan organisme yang
berkembang pesat menjadi organisme multi sel. Keadaan menjadi mencekam ketika
organisme yang diberi nama Calvin ini ternyata cekatan, punya daya tahan yang
luar biasa, serta mematikan. Satu per satu awak dihabisi sehingga membuat
mereka yang tersisa memutar otak untuk sekedar bertahan hidup di tengah-tengah
angkasa yang jauh dari bumi.
Secara garis besar, Life
memang tak menawarkan sesuatu yang baru. Malah bisa dibilang sangat
formulaic di genre sci-fi horror. Sesimpel ‘sekelompok astronot yang dikirim ke
planet asing untuk mengambil sample tanda kehidupan mengalami teror dari
organisme tak dikenal’. Filosofi yang diusung di balik plot (dan juga di balik
pemilihan judul Life) pun tak
muluk-muluk; dalam konteks bertahan hidup sebenarnya tak ada yang baik atau
jahat. Tentu penggunaan formula-formula dasar ini untuk menjangkau range
penonton seluas mungkin. Yang awam tentang aspek-aspek luar angkasa sekalipun.
Lantas dari premise dan formula yang ada, Life membangun pengembangan plotnya dengan rapi pula. Perhatikan
bagaimana ia tak terburu-buru memperkenalkan sekaligus membangun simpati
penonton terhadap karakter-karakter yang ada. Pola yang digunakan pada akhirnya
bisa dijadikan patokan ‘who will die next’ tapi keuntungannya character
investment-nya jadi terasa efektif dan merata untuk tiap karakter yang
jumlahnya memang tak banyak.
Pembangunan suasana yang mencekam pun berhasil dengan pace
step yang pas, terus meningkat, dan tata adegan yang efektif. Padahal sosok
monster atau alien sebenarnya jauh dari kesan seram. Hanya saja ‘sepak
terjang’-nya ketika menghabisi korban dan kecekatannya berhasil menjadi sumber
horror. Pilihan ending pun mempertahankan perasaan ‘tidak mengenakkan’ hingga
titik akhir. Bagi beberapa penonton endingnya terasa unfair, tapi jika
dipikir-pikir lagi, adalah pilihan ending terbaik. Selain guna menjaga perasaan
‘tidak mengenakkan’ pada penonton hingga terdiam untuk beberapa saat (bahkan
lagu Spirit in the Sky dari Norman
Greenbaum membuat gelaran credit title jadi super gloomy!), juga logis
sekaligus twist-wise.
Secara keseluruhan hanya ada enam aktor-aktris yang bermain
sepanjang durasi 104 menit. Ada cukup banyak waktu untuk memaksimalkan
performance dari keenamnya, apalagi dengan pengembangan plot yang memberi ruang
secara merata kepada keenamny untuk melakukan character investment. Untungnya
kesempatan besar ini cukup dimanfaatkan oleh keenam aktor-aktris utama.
Terutama sekali Jake Gylenhaal sebagai David Jordan, Olga Dihovichnaya sebagai
Ekaterina Golovkina, dan Rebecca Ferguson oleh Miranda North. Sementara
performa Ariyon Bakare sebagai Hugh Derry yang paling mengundang simpati
penonton. Hiroyuki Sanada sebagai Sho Murakami dan Ryan Reynolds sebagai Rory
Adams yang porsinya berada sedikit di bawah keempatnya pun masih mampu menarik
simpati penonton pada momen masing-masing.
Sinematografi Seamus McGarvey mungkin tak sampai
groundbreaking seperti Gravity, tapi
camera work-nya bekerja sangat efektif untuk membawa penonton ikut melayang-layang
di dalam pesawat ulang-alik sekaligus menghadirkan teror yang sangat efektif
dalam membuat penonton menjerit atau sekedar tergelak dari kursi. Editing Mary Jo
Markey dan Frances Parker punya andil besar terhadap kerapihan penyusunan plot
yang terjalin dengan pace dan timing yang serba tepat, terutama dalam menjaga
ketegangan. Score music dari Jon Ekstrand menjadi salah satu pendukung terkuat
dari suasana mencekam yang berhasil dibangun, apalagi didukung pula dengan
sound mixing yang mumpuni, termasuk dalam hal pembagian kanal surround yang
tepat guna.
Di ranah sci-fi horror, Life
mungkin memang tidak menawarkan plot, desain universe, ataupun filosofi yang
baru. Semuanya tergelar sebagaimana formula dasar dari genre tersebut. Namun
untuk urusan menawarkan daya cekam, ia termasuk sangat berhasil, apalagi jika
dialami di layar bioskop dengan tata suara yang mumpuni. Bagi penggemar horror,
terutama yang bersetting di luar angkasa, Life
pantang untuk dilewatkan. Siapa tahu rumor Life
sebagai prekuel dari Venom ada
benarnya di kemudian hari? Kalaupun tidak, ia masih berpotensi untuk
dikembangkan menjadi franchise baru.
Lihat data film ini di IMDb.