3/5
Asia
Comedy
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
sequel
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
London Love Story 2
Ekspansi Screenplay dari FTV ke layar lebar
sejak 2015 lalu patut mendapatkan apresiasi dan layak dianalisis. Bagaimana
tidak, kesemua film yang mereka produksi selalu sukses mengundang di atas
500.000 penonton berbondong-bondong. Satu, aktor-aktris andalan mereka terbukti
punya fanbase yang kuat dan besar di seluruh penjuru Indonesia. Dua, mereka
tahu betul bagaimana selera pasarnya dan bagaimana menjual tepat pada
sasarannya. Persetan dengan apa pendapat kritik dan kalangan yang memang bukan
target audience, dari produksi ke produksi berikutnya terbukti mengalami
perkembangan dan peningkatan di banyak aspek, terutama teknis yang makin
sinematis. Produktivitas mereka yang tahun 2016 lalu saja mampu memproduksi
tiga judul film (dan kesemuanya sukses secara box office sekaligus berhasil
menciptakan istilah-istilah gaul menjadi viral) juga patut diacungi jempol. Tak
heran jika di tahun 2017 ini mereka semakin gencar memproduksi film. Baru
Januari lalu menelurkan Promise yang
sampai saat ini sudah mencatat angka 655.805 penonton, di awal Maret ini mereka
sudah meluncurkan sekuel dari salah satu film box office mereka tahun lalu, London Love Story (LLS – mencatat angka
1.124.876 penonton). Bertajuk London Love
Story 2 (LLS2), winning team masih tetap dipertahankan; sutradara Asep
Kusdinar, penulis naskah Tisa TS, serta primadona mereka; Michelle Ziudith,
Dimas Anggara, dan kini diramaikan pula oleh primadona mereka lainnya, Rizky
Nazar.
Hubungan antara Dave dan Caramel berjalan
semakin serius. Dave memutuskan untuk mengajak Caramel liburan ke Swiss sebagai
hadiah ulang tahun. Kebetulan Sam, sahabat Dave yang seorang DJ terkenal sedang
tinggal di Swiss dan bersedia untuk mengurus segala kebutuhan selama liburan,
termasuk mengajak mereka dinner di restoran terbaik di Zurich. Siapa sangka
ternyata pendiri restoran tersebut adalah Gilang, orang Indonesia dan punya
masa lalu bersama Caramel. Dave mencoba untuk tak menghiraukan fakta ini,
sementara Caramel terus menghindari Gilang yang seolah tak henti-henti
memberikan sinyal yang berlebihan dan mencolok kepadanya. Hingga Caramel dan Gilang
memutuskan untuk menyelesaikan semua urusan yang pernah ada di antara mereka
berdua.
Meneruskan apa yang sudah dibangun dari LLS,
kisah asmara Dave dan Caramel tampaknya dikembangkan ke arah yang lebih dewasa
meski masih tak beranjak dari dialog-dialog cheesy yang menjadi ciri khasnya.
Bagi saya, ini sama sekali tak menjadi masalah yang berarti, apalagi
menganggapnya sebagai sajian untuk remaja yang memang cocok untuk pangsa
pasarnya. Dibandingkan installment pertama, LLS2 terasa sudah banyak mengurangi
line-line yang terlampau lebay, manja, menggelikan, dan ‘menggemaskan’. Pilihan
dan perilaku karakter-karakternya pun mengalami pendewasaan serta
less-menyebalkan. Paruh pertama film menjadi sangat menghibur terutama berkat
penampilan comedic-character dari Sam yang kembali diperankan oleh Ramzi.
Ekspresi wajah, gesture, pilihan sikap, sampai celetukan-celetukannya menjadi
pencuri perhatian utama yang mewarnai LLS2 menjadi ceria dan sangat menghibur.
Kemudian ketika memasuki paruh kedua dimana
things got more serious, LLS2 sedikit mengalami turnover menjadi melankoli.
Untungnya naskah Tisa dan pengarahan Asep membuatnya tak sampai tenggelam dalam
suasana melankoli yang kelewat mendayu-dayu ataupun depresif. Tak pula
menggelikan atau ‘menggemaskan’ seperti momen-momen serupa di installment
pertama. Memang tak sampai jadi drama serius, tapi setidaknya penonton dewasa
yang menganggap film-film Screenplay Films konyol dan bodoh pun akan dibuat
terdiam untuk sekedar bersimpati pada suasana hati karakter, khususnya Caramel.
Konklusinya mungkin terkesan terlalu mengambil jalan pintas, tapi lagi-lagi
alasan ‘selera target audience-nya’ menjadi pilihan yang tak boleh diabaikan
begitu saja. Setidaknya dengan pilihan konklusi demikian, every character wins,
termasuk penonton yang tentunya akan lebih berpihak pada apa yang telah
dibangun film selama ini, dan menjadikan sosok Gilang lebih positif di mata
penonton ketimbang sekedar apa yang ditampilkan di paruh pertamanya.
Sebagai primadona terdepan Screenplay,
Michelle Ziudith, Dimas Anggara, dan Rizky Nazar masih tampil konsisten seperti
image masing-masing selama ini di mata penggemarnya. They will still be lovable
characters by their fans. Ramzi pun mengisi peran Sam sesuai dengan
kesehariannya. Namun porsi lebih yang diberikan kepada karakternya kali ini
menjadi keputusan yang baik sehingga menjadikan LLS2 sajian yang menghibur.
Sementara Salshabilla Elovii yang ikut meramaikan sebagai Samira dan Mawar Eva
De Jongh sebagai Elena masih belum mampu benar-benar mencuri perhatian penonton
lewat performance-nya, selain tentu saja faktor porsi karakternya yang memang
sangat sedikit. Justru di porsi yang sama-sama tak terlalu banyak, penampilan
Ina Marika sebagai adik Caramel yang tuna wicara lebih mencuri perhatian saya.
LLS2 memang tak se-glamour dan se-eye candy Promise untuk urusan desain produksi dan
tata kostum. Namun ia masih didukung sinematografi Teuku Rama Khatulistiwa yang
sudah menjadi ‘langganan’ Screenplay Films sejak LLS pertama. Tetap maksimal
dan sinematis dalam merekam latar pegunungan es, interior-interior sempit,
dengan pergerakan kamera yang semakin mulus mengikuti feel dramatisnya. Editing
Wawan I Wibowo juga masih bekerja sebagaimana mestinya, cukup pas dalam timing
dan pembangunan nuansa. Musik Joseph S Djafar terdengar makin sinematis dengan
gelaran orkestra yang juga terasa lebih ‘blockbuster’. Pemilihan lagu Cinta dalam Hati dari Rossa mungkin terdengar biasa, dalam arti masih
sangat Rossa. Namun favorit saya justru Body
Speak yang mengiringi credit. Selain terdengar berbeda dari Rossa biasanya,
juga mengundang mood fun dan cool sebagai after taste.
Dari film ke film, terasa sekali peningkatan
berbagai aspek dari produksi Screenplay Films. Baik secara teknis maupun
content. Pada titik ini saya menjadi terpikir, mungkin saja produksi-produksi
layar lebar mereka selama ini merupakan bagian dari sebuah konsep besar dengan
tujuan menggiring penonton (target audience-nya) yang mungkin pada awalnya
punya kepribadian se-menjengkelkan karakter-karakter di film-film produksi
mereka sebelumnya untuk ikut berkembang secara pola pikir dan pilihan sikap.
Jika dugaan saya ini benar, maka respect saya kepada Screenplay Films semakin
besar. Mengabaikan pendapat kritikus dan penonton yang memang bukan dari target
audience-nya, mereka punya cara tersendiri untuk memanjakan target audience
sesungguhnya (in other hands, monetizing semaksimal mungkin selagi demand-nya tinggi) sekaligus secara perlahan
dan halus mendewasakan. Semoga saja dugaan ini benar, karena saya melihat
perkembangan yang selalu terjadi dari produksi ke produksi. Tak terkecuali di
LLS2 yang bagi saya merupakan produksi Screenplay Films paling menghibur dan
paling ‘tidak menjengkelkan’ so far, kendati yang paling eye-candy tetaplah Promise. So if you’re interested to
understand the progresses they’ve made, tak ada salahnya mencoba menyaksikan
LLS2. Toh setidaknya anggap saja sebagai hiburan ringan semata. Bagi yang
memang sudah menjadi fan film-film Screenplay Films sejak awal, tentu saja
haram untuk melewatkan. Oh yes, I’d recommend you to experience it on theatre
screen. Terutama sekali faktor musical scoring orkestra yang pastinya akan
terdengar lebih maksimal di layar bioskop. Jangan buru-buru keluar dari teater saat
credit jika penasaran teaser lanjutan kisah cinta Dave dan Caramel di tahun
2018 nanti.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.