The Jose Flash Review
Hidden Figures


Oscar 2016 yang dicap ‘OscarSoWhite’ membuat studio-studio Hollywood berlomba-lomba mengangkat tema anti-racism, khususnya terhadap kaum kulit hitam, dengan harapan dilirik Oscar 2017 yang seolah disengaja mengusung tema diversity. Selain Moonlight yang dengan masif dipromosikan oleh distributornya di berbagai ajang penghargaan bergengsi internasional, sebenarnya masih ada Hidden Figures (HF) yang mengangkat kisah nyata tiga wanita kulit hitam pertama yang punya andil besar di tahun-tahun awal NASA. Diadaptasi dari novel biografi berjudul sama yang disusun oleh Margot Lee Shetterly, naskahnya disusun oleh Allison Schroeder dan Theodore Melfi yang juga merangkap bangku sutradara. Keduanya tergolong ‘baru’ di layar lebar (mainstream). Melfi sendiri baru dikenal lewat Winding Roads (1999) dan St. Vincent (2014). Namun kualitas mereka tak boleh diremehkan. Terbukti dari nominasi Oscar untuk naskah adaptasi yang mereka susun bersama. Ditambah jajaran aktor-aktris yang menarik, mulai Taraji P. Henson, Octavia Spencer, Janelle Monáe, Kevin Costner, Kirsten Dunst, hingga Mahershala Ali yang tahun ini benar-benar angkat nama berkat Moonlight.
Tahun 1961, tiga wanita berkulit hitam; Katherine Goble, seorang ahli matematika, Mary Jackson, seorang insinyur, dan Dorothy Vaughan, seorang supervisor tim, bekerja di divisi West Area Computers Langley Research Center, Hampton, Virginia. Meski punya bakat yang luar biasa, ketiganya mendapatkan hambatan untuk berkembang karena faktor tradisi yang telah berlaku selama bertahun-tahun. Kesempatan muncul ketika NASA kelabakan setelah Rusia sukses meluncurkan satelit pertamanya ke luar angkasa. Katherine akhirnya mendapatkan rekomendasi dari supervisor, Vivian Mitchell, untuk bergabung dengan Space Task Group yang dipimpin Al Harrison. Meski mendapatkan peran kerja yang lebih banyak, perlakuan terhadapnya masih diskriminatif hingga menghambat kinerjanya. Sampai Harrison turun tangan sendiri untuk mendobrak diskriminasi yang selama ini berlaku di NASA. Begitu juga Mary dan Dorothy yang melakukan perjuangan serupa di divisi masing-masing.
HF sebenarnya menggunakan treatment dan formula yang sangat basic dalam menyampaikan kisahnya. Malahan sedikit banyak mengingatkan saya akan cara bertutur The Help (2011) yang kebetulan mengusung tema sejenis. Namun justru treatment seperti inilah yang membuat kisah beserta esensi-esensinya tersampaikan dengan begitu lembut sekaligus powerful. Ditambah performa yang luar biasa dari trio Terenji P. Henson (Katherine), Octavia Spencer (Dorothy), dan Janelle Monáe (Mary), menjadikan HF bertutur dengan begitu elegan. Tema anti-racism pun begitu pekat tapi berkelas, ditunjukkan lewat sebuah aksi perjuangan nyata, bukan tuntutan-tuntutan bawel penuh amarah seperti yang dilakukan oleh (so-called) ‘pejuang-pejuang’ masa kini (yeah, I’m talking about Moonlight as well!). Meski melibatkan tema matematika, fisika, dan algoritma komputer, HF tak mau membuat penonton (awam) bingugn ataupun pusing. Ketiganya ditampilkan dengan porsi secukupnya sebagai penunjang latar, sementara fokus utamanya tetap pada perjuangan universal yang inspiratif. Bahkan ia punya beberapa adegan memorable yang begitu powerful sebagai representasi esensi-esensinya.
Selain ketiga aktris pengisi peran utama yang memberikan performa terbaik lewat pesona masing-masing, para pengisi lini pendukung pun tampil mengesankan sesuai porsi. Mulai Kevin Costner sebagai Al Harrison, Kirsten Dunst sebagai Vivian Mitchell, sampai Mahershala Ali sebagai Kolonel Jim Jackson yang menurut saya lebih mengesankan kendati porsinya masih lebih kecil ketimbang perannya sebagai Juan di Moonlight yang memberikannya Oscar untuk kategori Best Performance by an Actor in a Supporting Role.
Tak ada yang benar-benar istimewa dari teknis HF, tapi kesemuanya tertata efektif sesuai porsi dan kebutuhan. Mulai sinematografi Mandy Walker, editing Peter Teschner, desain produksi Wynn Thomas, desain kostum Renee Ehrlich Kalfus, hingga musik hasil kolaborasi unik Benjamin Wallfisch, Pharrell Williams, dan Hans Zimmer yang menghasilkan racikan representasi era, dramatisasi, serta nuansa ‘uplifting’ secara tepat guna.
Agak membuat saya mengernyitkan dahi sebenarnya, mengapa Paramount selaku studio sekaligus distributor tak begitu lantang mengkampanyekan HF di berbagai ajang penghargaan internasional bergengsi, terutama Academy Awards. Dengan berbagai kekuatan yang dimiliki, HF menjadi salah satu film paling berpengaruh sepanjang masa di temanya. Mungkin treatment storytelling-nya tergolong biasa, tapi terbukti sangat efektif menyampaikan isu anti-racism (bahkan juga women-empowerment) dengan begitu powerful namun lembut dan elegan. Ia membuktikan bahwa perjuangan lewat aksi nyata jauh lebih impactful dalam mengubah sesuatu ketimbang lewat protes keras dengan amarah yang dewasa ini menjadi cara penyampaian kritik paling mendominasi, apalagi dengan bantuan media sosial. For that purpose, HF was truly inspiring, elegantly.
Lihat data film ini di IMDb.

The 89th Academy Awards Nominees for:

  • Best Motion Picture of the Year
  • Best Performance by an Actress in a Supporting Role – Octavia Spencer
  • Best Adapted Screenplay – Allison Schroeder & Theodore Melfi

Diberdayakan oleh Blogger.