The Jose Flash Review
Trinity, The Nekad Traveler


Traveling yang dulunya dianggap sebagai hobi eksklusif kian hari kian me-‘rakyat’, terutama setelah ada blog, low-cost carrier, dan social media. Salah satu ikon traveling asal Indonesia yang paling populer saat ini adalah Trinity, seorang traveling blogger yang sudah menelurkan delapan buku bertemakan traveling best seller, termasuk lima di antaranya seri The Naked Traveler. Buku-buku ini dianggap informatif, menghibur, sekaligus menginspirasi banyak orang untuk turut menjadi traveler, bukan sekedar wisatawan (perbedaan keduanya sudah sering dibahas di berbagai media bertemakan traveling). Tinggal menunggu waktu saja hingga ada PH yang tertarik mengangkatnya ke layar lebar. Adalah Tujuh Bintang Sinema yang pernah memproduksi Air Mata Surga tahun 2015 lalu yang berhasil mendapatkan hak adaptasi ke layar lebar dengan judul Trinity, The Nekad Traveler (TTNT) sebagai karya keduanya. Rahabi Mandra (Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar, Air Mata Surga, Hijab, 2014: Siapa di Atas Presiden, Senjakala di Manado, From London to Bali, dan upcoming, Night Bus) ditunjuk untuk mengadaptasi naskah, sementara Rizal Mantovani (Jelangkung, Kuntilanak Trilogy, Air Terjun Pengantin, 5 cm, Supernoba: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh) dipercaya untuk duduk di bangku penyutradaraan. Aktris muda yang pernah mempesona kita di Perahu Kertas, Maudy Ayunda, dipasang untuk memerankan sosok Trinity, didukung Hamish Daud Wyllie, Babe Cabiita, Rachel Amanda, Anggika Bolsterli, Ayu Dewi, Cut Mini, Farhan, dan cameo dari Tompi.

Sebagai seorang karyawati kantoran, Trinity harus pandai-pandai mengatur jadwal agar hobi traveling-nya tetap berjalan lancar, termasuk untuk menggenapi semua keinginan yang tercatat di daftar bucket list-nya. Ketika jatah cuti yang sudah habis, selalu ada ide untuk mengakalinya, termasuk mengakali supaya diutus untuk perjalanan dinas ke luar kota. Meski punya sahabat-sahabat yang juga hobi traveling, Yasmin dan Nina, Trinity kerap melakukan perjalanan sendiri karena jadwal yang lebih sering tak sejalan. Sementara kedua orangtuanya khawatir dengan hobi Trinity sehingga lupa untuk mencari jodoh. Seiring dengan perjalanan-perjalanan yang dilakukan, Trinity pun semakin bertumbuh dewasa dan bijak dalam menentukan pilihan.
Awalnya saya mengira TTNT tak berbeda jauh dari film bertemakan traveling lain yang hanya mengandalkan latar lokasi-lokasi pemandangan alam eksotis, sementara meletakkan kisah cinta yang tak terlalu relevan dengan topik traveling pada lini terdepan. Ternyata saya salah. Memang ia tak lantas menjadi sebuah dokumentasi perjalanan dari satu lokasi ke lokasi wisata lainnya ataupun biografi yang kelewat serius. Bagaimanapun ini bukan biopic sosok peristiwa bersejarah seperti B.J. Habibie atau Kartini. Dengan demikian treatment-nya bisa lebih santai, menghibur, dan sedikit memasukkan unsur fantasi. Ia meletakkan tema traveling sebagai fokus topik utamanya. Satu per satu ‘tips dan trik’ dasar yang wajib diketahui oleh siapapun yang mengaku traveler atau yang tertarik ingin menjadi traveler digeber lewat satu kesatuan plot yang terjalin cukup rapi. Misalnya soal mengakali jatah cuti untuk jadwal traveling, beda traveler dan turis, tips ketika tersesat, what to do ketika ketinggalan pesawat, hingga bertemu sosok misterius dan bagaimana menghadapinya dengan bijak dan dewasa. Bagi beberapa penonton mungkin menganggap kesemuanya bak sub-plot-sub-plot yang dipaksa masuk ke dalam satu rangkaian. Bagi saya tidak. TTNT mampu menjahitnya menjadi satu kesatuan yang cukup rapi, saling terkait, dan relevan. Unsur dikondisikan memang tak mungkin bisa dielakkan. Namun TTNT mampu menjadikannya masih acceptable.
Elemen yang tak kalah pentingnya yang membuat saya cukup takjub dimasukkan ke dalam plot adalah perkembangan karakter utama, Trinity, seiring dengan perjalanan yang dilakukan, terutama soal esensi perjalanan antara kepuasan pribadi dan membagikannya dengan orang lain. Dengan dimasukkannya elemen ini, TTNT lantas menjadi sebuah film traveling yang lebih berbobot ketimbang sekedar memanjakan mata lewat latar pemandangan-pemandangan cantik. Dramatisasi yang diselipkan di sana-sini pun pada takaran yang pas, tak terlalu berlebihan, tapi cukup terasa thoughtful di tengah ‘bersenang-senang’.  Sayangnya ada satu elemen yang ‘nyelip’ secara out of nowhere di menjelang konklusi, yaitu tentang nasionalisme. I don’t know how. Mungkin titipan pesan di menit-menit terakhir yang membuatnya mustahil untuk dimasukkan lebih relevan ke dalam plot, sehingga tiba-tiba muncul di konklusi. Untung saja berbagai kelebihan-kelebihan yang berhasil disusun tak meruntuhkan image film secara keseluruhan di mata saya.
Secara fisik Maudy Ayunda memang jelas jauh berbeda dari sosok Trinity yang asli. Namun dilihat dari hasil akhir secara keseluruhan, Maudy mampu menangkap spirit traveling dan petualang yang sama dalam merepresentasikan sosok Trinity dengan tampilan yang lebih komersial. Kharisma-nya masih se-menyenangkan dulu ketika di Perahu Kertas, bahkan melebihi seiring dengan kedewasaannya. Ayu Dewi yang lagi-lagi kebagian peran komedik yang eksentrik menjadi pencuri perhatian terbesar sebagai Bu Bos. Gesture eksentrik khas yang mengundang tawa ditampilkan dengan maksimal di sini. Rachel Amanda, Anggika Bolsterli, dan Babe Cabiita tampil fairly seusai porsi masing-masing. Cut Mini dan Farhan pun masih noticeable meski porsinya bisa dibilang setara cameo. Terakhir, Hamish Daud Willie sebagai Paul terasa makin luwes dalam berakting dan menjalin chemistry yang cukup natural dengan Maudy.
Sebagai film traveling, sinematografi Yadi Sugandi menawarkan camera work yang sinematis dalam mengeksploitasi. Penonton bak diajak bersantai menikmati pemandangan-pemandangan yang tersaji. Sayang aerial shot-nya masih terlihat pecah-pecah. Editing Cesa David Luckmansyah menjaga keseimbangan ketika harus terkesan dinamis dan kapan membiarkan penonton bersantai menikmati visualnya, dengan transisi yang secara keseluruhan cukup mulus. Tata kostum dari Hagai Pakan dan Wandahara pun memberikan warna-warni yang cukup defining characters sekaligus senada dengan nuansa keseluruhan film. Scoring music dari Joseph S. Djafar memberikan rasa lebih di hampir tiap momen, baik dramatis, komedik, maupun eksotisme. Hanya sayangnya, ia lagi-lagi ‘mencomot’ dari berbagai scoring populer, mulai Hans Zimmer sampai Porcelain dari Moby yang begitu melekat dengan image film The Beach. Memang tak persis 100%, tapi identik lebih dari 80% menurut saya sudah tak bisa lagi digolongkan sebagai ‘terinspirasi’ atau ‘tereferensi’.
Melampaui ekspektasi-ekspektasi saya sebelum menonton, TTNT merangkai everything you need to know and want to see from a traveling movie menjadi satu kesatuan plot yang cukup rapi, dengan fokus tujuan utama yang terjaga, yakni perkembangan karakter Trinity. Menghibur sekaligus informatif, bahkan mungkin inspiratif bagi beberapa penonton yang belum begitu mengenal hobi traveling.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.