3/5
Asia
Drama
Family
Gangster
Indonesia
Mafia
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Perfect Dream
Di antara kota-kota besar di Indonesia, orang Surabaya
termasuk punya karakteristik yang unik. Punya taste lifestyle yang tinggi tapi
tetap mempertahankan elemen-elemen kedaerahan yang khas, terutama aksen dan
bahasa Suroboyoan yang seperti perpaduan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa
dengan sedikit variasi. Uniknya lagi, orang Surabaya pada umumnya lebih
inferior ketimbang di daerah lain. Misalnya orang Surabaya akan mentertawai dan
menganggap kampungan dialog yang Suroboyoan banget, padahal kehidupan
sehari-hari sendirinya pun menggunakan bahasa dan aksen yang sama. Itu juga
mungkin yang menyebabkan Surabaya bukan pasar yang potensial untuk film
Indonesia. Coba tanya PH, produser, atau publisis film Indonesia manapun. Penonton
Surabaya termasuk yang terendah. Jika pasarnya saja lemah, bagaimana mungkin
bisa punya ‘industri’ sendiri? Alhasil hanya ada gerakan-gerakan indie yang
tergolong kecil jika dibandingkan di kota-kota besar lain.
Kendati demikian tetap saja ada upaya-upaya untuk ‘mencoba’
peruntungan di industri film Indonesia. Adalah Amelia Salim dan Uci Flowdea,
dua sosialita populer yang berinisiatif untuk memproduksi film berskala
nasional di bawah bendera Java East Production. Tak mau asal, mereka
menggandeng Hestu Saputra (Cinta tapi
Beda, Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar,
Air Mata Surga, dan Ayat-Ayat Adinda) bersama bendera EMPATSISI Films-nya dengan dukungan
aktor-aktris papan atas seperti Ferry Salim, Wulan Guritno, Baim Wong, Olga
Lydia, Hengky Solaiman, Yayu Unru, sampai aktor yang lebih kita kenal sebagai
pelawak, H. Qomar. Sementara naskahnya disusun oleh Syamsul Hadi (Pencarian Terakhir, HeartBreak.com, Rock N Love,
Dreams, dan Demi Cinta). Film bertajuk Perfect
Dream (PD) ini tentu saja mengambil setting Surabaya, lengkap dengan
berbagai atribut-atribut khasnya.
Dibyo adalah seorang pria yang punya ambisi dan jeli melihat
peluang yang bisa mewujudkan ambisi-ambisinya. Termasuk menikahi Lisa, putri
pengusaha besar bernama Marcel Himawan. Di tangannya, bisnis keluarga melewati
wilayah lawan bisnisnya, Hartono yang dikenal sebagai mafia kelas kakap.
Sementara itu pertemuannya dengan Rina, seorang fotografer muda, membuatnya
seolah menemukan kenyamanan yang selama ini ia cari-cari. Keutuhan keluarganya;
Lisa, putra sulungnya, Bagus, dan putri bungsu, Anna, pun terancam hingga
seteru antara Dibyo dan Hartono mencapai puncaknya.
Pada dasarnya, PD menyuguhkan life chronicle yang sedikit
banyak mengingatkan saya akan film-film Hollywood bertemakan mafia, seperti yang
terakhir, Live by Night. Tema dan
genre yang masih tergolong jarang terjamah di film Indonesia. Teknisnya pun
tergarap dengan sangat baik, mulai sinematografi Tommy Jepang yang efektif
dalam bercerita sekaligus camera work yang smooth dan cukup sinematis, editing
Sentot Sahid yang banyak memasukkan match-editing apik, score music elegan ala
film-film mafia klasik dari Krisna Purna, serta desain produksi Alfi Syahri dan
desain kostum Iwan Latif yang serba cantik nan elegan.
Sayangnya plot PD terasa begitu overstuffed oleh
kejadian-kejadian yang sejatinya jika dianalisis lagi punya hubungan
sebab-akibat yang cukup relevan, tapi di layar seperti sekedar pemaparan
kejadian-demi kejadian tanpa korelasi yang terasa padu. Misalnya saja masuknya
karakter Rina ke dalam kehidupan Dibyo tanpa proses pembangunan chemistry yang
cukup convincing sebagai upaya character investment. Hal yang serupa terjadi
pula pada karakter Bagus dengan Rachel maupun masuknya karakter Annisa yang
menurut saya tidak terlalu punya fungsi dalam plot. Konsep-konsep kecil yang
dimasukkan, misalnya konsep Peter Pan ke dalam karakter Dibyo, yang seharusnya
menarik menjadi terasa seperti ornamen semata tanpa pertalian yang lebih padu
terhadap karakter yang ada. Sudut pandang yang seharusnya didominasi oleh Dibyo harus terdistraksi pula ketika sudut pandang cerita berpindah ke Lisa. Pada akhirnya ketidak-fokusan ini berimbas pada ikatan emosi penonton terhadap karakter-karakternya, terutama Dibyo sebagai tokoh utama, yang gagal terjalin. Padahal untuk film berjenis life chronicle seperti ini, ikatan emosi antara karakter utama dengan penonton adalah kunci. Semua kejadian yang dipaparkan (harusnya) bermuara pada tujuan ini. In short, banyak sekali potensi tapi tak
terjemahkan secara maksimal ke dalam visualisasinya. Sayang sekali.
Saya tidak akan mempermasalahkan konsisten aksen dan pemilihan
kata bahasa Suroboyoan yang ada karena masih terlihat upaya untuk menjaganya.
Tak ada yang salah pula dengan performa-performa Ferry Salim, Wulan Guritno,
Olga Lydia, Baim Wong, Hengky Solaiman, Rara Nawangsih, Poppy Sovia, dan Tissa
Biani yang masih membawakan karakter tipikal masing-masing. H. Qomar memberikan
kejutan yang cukup mencuri perhatian. Dari image comedian yang kita kenal
selama ini menjadi karakter mafia yang murni bengis, tak sedikit pun menyisakan
aura kelucuan, dengan gesture khas bos-bos konglomerat Surabaya yang cukup
detail.
Hestu memang masih terasa terbata-bata dan kurang maksimal dalam
menyampaikan grand design-nya, tak terkecuali di klimaks dimana ia berusaha meng-interwave kesemua sub-plot-sub-plot-nya, tapi sebagai sebuah upaya menghidupkan perfilman
Surabaya, apa yang disuguhkan PD sebenarnya cukup layak. Apalagi dengan
dukungan teknis yang tergarap baik. Semoga saja Java East Production belum
kapok untuk terus memproduksi film layar lebar dengan basis Surabaya.
Perjalanan memang masih panjang. Begitu pula proses mengubah pola pikir ataupun
membaca selera pasar penonton Surabaya. Namun bukan berarti mustahil, bukan?
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.