3.5/5
Based on Book
Drama
Family
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Dear Nathan
Mimpi untuk menjadi penulis (khususnya novel)
sebenarnya semakin mudah diwujudkan akhir-akhir ini, apalagi dengan platform
bernama Wattpad. Banyak sekali karya tulis yang telah berhasil membuktikan
dibaca oleh jutaan pengguna (meski sebenarnya merupakan hasil akumulasi dari
tiap kali dibuka ketika ada update cerita) dan membuat penerbit tertarik untuk
membukukannya. Salah satu yang paling sukses adalah Dear Nathan (DN), karya Erisca Febriani. Tak hanya diterbitkan
dalam bentuk buku, Rapi Films pun tertarik untuk mengadaptasinya ke layar
lebar. Apalagi mengingat pangsa pasar remaja yang memang paling mendominasi
penonton bioskop tanah air. Bagus Bramanti (Mencari
Hilal, Love and Faith, Talak 3, dan upcoming, Kartini) ditunjuk untuk mengadaptasi
naskahnya bersama Gea Rexy, sedangkan bangku penyutradaraan dipercayakan kepada
Indra Gunawan (Hijrah Cinta). Selain
materi cerita yang sudah punya fanbase sendiri, daya tarik yang tak kalah
besarnya adalah dipasangkannya bintang muda yang masih tergolong pendatang baru, Jefri Nichol (baru saja kita lihat debutnya
di Pertaruhan) dan Amanda Rawles
(baru saja di Promise). Meski punya
kans yang besar untuk sukses secara komersial, DN masih punya beban ekspektasi
yang cukup besar dari penonton yang menantikan film drama percintaan remaja
yang digarap baik di generasi sekarang, setelah Ada Cinta di SMA dan Galih
dan Ratna yang telah menetapkan standard cukup tinggi di genrenya.
Di hari pertama masuk, Salma yang baru pindah
sekolah datang terlambat. Untung ada Nathan, siswa yang dikenal badung ini
menunjukkan jalan rahasia untuk masuk ke dalam sekolah. Salma tertarik dengan
Nathan yang menyimpan sisi misterius meski beberapa teman cewek
memperingatkannya bahwa Nathan bukan cowok baik-baik. Nathan sendiri
terus-terusan melakukan pendekatan yang cukup frontal. Perlahan Salma dan
Nathan semakin dekat dan saling mengenal kehidupan pribadi masing-masing. Salma
yang awalnya tak memahami kepribadian Nathan menemukan rahasia keluarga yang
membentuk sosok Nathan seperti saat ini.
Sama seperti kebanyakan drama roman remaja,
DN sebenarnya dibuka dengan setup yang sangat formulaic. Pun juga dengan proses
perkembangan hubungan antara Nathan dan Salma. Namun setidaknya kesemua perkembangan
disusun dengan mulus (termasuk untuk turnover moment), pace yang serba pas
(menyenangkan, manis, dan tetap punya momen-momen dramatis yang pas). Tak hanya
roman, plot DN pun punya pondasi yang cukup konsisten dan solid soal latar
belakang keluarga Nathan, yang punya pertalian kuat terhadap plot utama, dan
menjadi bagian dari konklusi yang relevan sekaligus solid; menyandingkan
hubungan antara Nathan dan ayahnya dengan Nathan dan Salma. Ada nilai tentang
memahami dan (atau) menyayangi orang
lain (dalam konteks ini, pasangan), yang artinya DN menyuguhkan roman yang
lebih dewasa, bukan sekedar bumbu-bumbu gombal pickup lines yang dilontarkan
oleh Nathan di paruh awal film. Tak ketinggalan pula bagaimana plot membuat
penonton penasaran (bahkan mungkin sempat sampai dibuat bingung) dengan
‘rahasia’ dan mengungkapnya secara dramatis tapi tetap terasa mulus, tidak
terasa terlalu mengada-ada.
Satu kekurangan minor dari DN adalah
konsistensi pengucapan nama Daniel, bahkan oleh satu karakter yang sama. Ada
kalanya dipanggil Daniel, tapi di lain kesempatan diucapkan sebagai Danil.
Sangat minor sekali, nyaris tanpa punya pengaruh terhadap keseluruhan film,
tapi cukup mengusik benak saya.
Meski tergolong pendatang baru dan memikul
beban peran paling berat, Jefri Nichol dan Amanda Rawles telah berhasil
membuktikan diri punya what it takes to be the lead characters. Tak hanya
tampil luwes dan membawakan peran masing-masing dengan detail karakteristik
yang jelas, keduanya juga punya kharisma yang sangat kuat untuk melekat pada
ingatan penonton. Di lini pemeran pendukung, Surya Saputra sebagai ayah Nathan
jelas terasa paling menonjol. Selain porsi peran yang cukup besar terhadap
keseluruhan plot, chemistry love-hate antara father-son yang dibangunnya
bersama Jefri terjalin kuat dan punya momen-momen yang memorable. Karina Suwandi
dan Ayu Dyah Pasha tampil cukup noticeable. Sementara di lini bintang-bintang
muda, ada Rayn Wijaya, Diandra Agatha, dan Beby Tsabina yang juga cukup menarik
perhatian.
Teknis DN tergolong sangat sederhana tapi
serba terasa lebih dari cukup dalam menjalankan fungsinya. Mulai sinematografi
Ivan Anwal Pane yang bercerita dengan jelas dan camera work yang efektif dalam
menyampaikan detail-detail adegan. Editing Ryan Purwoko menjaga pace-nya flow
dengan baik, both in fun and dramatic moment, sekaligus menjaga penyusunan plot
dengan pengungkapan ‘rahasia’ dengan timing tepat dan terjahit mulus. Musik
dari Andhika Triyadi lagi-lagi berhasil menjadikan momen-momen terpenting DN
terasa lebih bernyawa dan berwarna. Tak ketinggalan soundtrack dari HiVi,
terutama Dari Mata ke Hati dan Pelangi yang membuat tone manis dan
menyenangkan dari DN semakin terasa.
Beyond my expectation, DN tak hanya menjadi
just another teenage romance yang manis dan menghibur. Ia punya setup serius
yang relevan dengan plot utamanya dan disusun dengan cukup solid. Konklusinya
pun terasa dewasa tanpa meninggalkan kesederhanaan romansa remaja. Bagi
penonton remaja, ia menjadi sajian manis sekaligus ‘bernutrisi’ lebih.
Sementara bagi penonton dewasa, ia menjadi nostalgia manisnya percintaan saat remaja
sekaligus bahan refleksi atau pengingat yang bisa saja masih relevan di usia
dewasa.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.