3.5/5
3D
Action
Adventure
Animation
Based on Book
Based on Comic Strip
Blockbuster
Comedy
Fairy Tale
Family
Fantasy
Franchise
Hollywood
Kid
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Smurfs: The Lost Village
Universe dan karakter-karakter selegendaris The Smurfs (judul aslinya Les Schtroumpfs) karya kartunis Peyo
yang sudah ada sejak tahun 1958 terlalu berharga untuk tidak terus dilestarikan
lintas generasi. Kendati versi hibrida antara live-action dan animasi yang
diproduksi Sony Pictures Animation tahun 2011 dan sekuelnya di tahun 2013
mendapatkan review beragam (cenderung negatif), hasil box office menunjukkan
betapa masih banyak penonton yang mendambakan atau ingin meneruskan warisan
Smurfs ke generasi selanjutnya. Bukan karena penurunan penghasilan box office The Smurfs 2, sejak sebelum installment
kedua dirilis pun sudah direncanakan bahwa installment ketiga akan berupa
fully-animated dan reboot dari dua installment sebelumnya. Ia pun mengembalikan
desain universe dan karakter-karakter seperti komik aslinya. Mungkin ada juga
pengaruh kesuksesan Peanuts Movie yang
mempertahankan gaya-gaya visual asli kendati berupa animasi 3D, baik secara
komersial maupun resepsi kritikus. Dari naskah yang disusun Pamela Ribon (Moana) dan Stacey Harman, penyutradaraan
Smurfs: The Lost Village (STLV)
dipercayakan kepada Kelly Asbury yang sudah berpengalaman menangani animasi Spirit: Stallion of the Cimarron, Shrek 2, dan Gnomeo & Juliet. Pemilihan voice cast-nya pun tak kalah
menarik. Mulai Demi Lovato, Joe Manganiello, Michelle Rodriguez, Meghan
Trainor, Jeff Dunham, hingga Julia Roberts, dan chef terkenal, Gordon Ramsey.
Desa Smurf hidup dalam damai dan kebahagiaan dengan tiap warga
yang punya bakat spesialisasi sendiri, mulai yang pandai seperti Brainy sampai
yang kekar seperti Hefty Smurf. Namun di tengah-tengah smurf yang punya bakat
spesifik, Smurfette yang merupakan ‘buatan’ dari penyihir jahat Gargamel,
merasa tidak punya bakat apa-apa. Apalagi ia adalah satu-satunya yang berjenis
kelamin perempuan di desa. Suatu hari ketika berjalan-jalan sendirian merenungi
diri sendiri, Smurfette, Clumsy, Brainy, dan Hefty melihat sosok yang mirip
para smurf lewat. Penasaran, ia mengikutinya sampai ke hutan terlarang. Malang,
mereka justru tertangkap Gargamel yang semakin serakah ketika melihat peta
petunjuk keberadaan sosok mirip smurf. Smurfette dan kawan-kawan berniat untuk
mencari tahu siapa sebenarnya sosok smurf misterius ini dan memperingatkannya
akan kedatangan Gargamel dengan rencana jahatnya untuk mengambil sari-sari
smurf agar menjadi penyihir terkuat di dunia.
Garis besar cerita tentang kejar-kejaran abadi para smurfs dan
Gargamel maupun esensi ‘sampingan’ tentang pencarian jati diri yang sudah
pernah diangkat installment-installment The
Smurfs sebelumnya masih menjadi fokus utama di STLV. Namun tanpa
keterlibatan karakter-karakter manusia, universe dan cerita STLV terasa lebih
terarah tanpa distraksi. Penuturan konflik Smurfette sebagai porsi utama pun
disusun ulang dengan konstruksi yang tertata baik, rapih, dan di beberapa momen
cukup menyentuh. Relasi antara Smurfette dan karakter-karakter smurf lainnya
juga turut menjadi lebih terasa ketimbang ketika ‘bercampur’ dengan live action
manusia. Imbasnya, karakter-karakter smurf yang jadi lebih noticeable juga
bertambah. Sisi emosional yang dibangun lewat karater Smurfette berhasil pula 'menyentuh' penonton pada moment-nya. Tak ketinggalan value ‘baru’ tentang mencoba hal-hal baru di luar
‘bakat’ kita yang diselipkan secara mulus ke dalam plot. Ini semua menjadikan
universe serta petualangan smurf menjadi lebih ber-‘fantasi’. Tak kalah seru,
kendati mungkin lebih bisa dinikmati oleh penonton anak-anak, let’s say di
bawah usia 12 tahun.
Ada beberapa kesempatan dimana directing Asbury masih terasa
punya awkward moment di tengah adegan-adegan yang tersaji dinamis. Untungnya
masih bisa ditolerir, tak sampai menciderai laju plot maupun mood film secara
keseluruhan. Kedinamisan adegan petualangan yang tersaji pun masih dalam kadar
nyaman untuk diikuti, tak se-chaotic Hotel
Transylvania, misalnya. Format 3D memberikan kekayaan visual lebih, terutama lewat depth-of-field dan beberapa trick-eye pop-out yang cukup memanjakan.
Voice talent populer yang digandeng pun sama sekali tak
mengecewakan. Mulai Demi Lovato yang begitu luwes membawakan karakter Smurfette
dengan karakteristik yang jelas, Jack McBrayer sebagai Clumsy, Danny Pudi
sebagai Brainy, Joe Manganiello sebagai Hefty, sampai Mandy Patinkin sebagai
Papa Smurf. Rainn Wilson pun memberikan spesifikasi karakter villain yang jelas
dan memorable ke dalam sosok Gargamel. Namun yang paling menarik perhatian
tentu saja Michelle Rodriguez sebagai Smurfstorm dan Julia Roberts sebagai
Smurfwillow.
STLV memang tak dibuat sebagai installment terpenting atau
teresensial dari franchise The Smurfs.
Ia sekedar mencoba menceritakan kembali konflik dasar dari franchise dengan
style yang lebih mirip komiknya, termasuk pemilhan aspect ratio yang 1.85:1
(menyerupai panel komik), bukan standard layar lebar 2.35:1. Tanpa ‘keterlibatan’
karakter manusia, konsep universe dan karakter-karakter-nya terasa lebih
terarah, lebih ‘fantasi’, petualangannya tetap seru dengan value-value yang
relevan sekaligus merasuk mulus lewat plot, kendati humor-humornya mungkin
lebih bisa membuat penonton cilik tertawa ketimbang penonton dewasa. A worthy
effort to pass on its legacy.
Lihat data film ini di IMDb.