The Jose Flash Review
Mooncake Story


Sejatinya siapa saja bisa punya cerita yang menginspirasi sekitarnya, apalagi pengusaha sukses yang akhir-akhir ini menjadi salah satu trend untuk membagikan kisahnya ke dalam sebuah film biopic. Setelah Karmaka Suryaudaya, pendiri Bank NISP lewat film Love and Faith, kini giliran pendiri Mayapada Group, Dato’ Sri Tahir. Tak harus melulu berupa life chronicle berisi jatuh-bangun sebelum meraih sukses, tapi bisa juga sepenggal kisah kecil yang tak kalah penting dan berartinya. Lewat Tahir Foundation dan menggandeng Multivision Plus dalam memproduksi, sutradara yang namanya sudah dikenal di kancah internasional, Garin Nugroho, dipercaya untuk menyutradarai sekaligus menuliskan naskahnya. Pasangan Morgan Oey dan Bunga Citra Lestari yang sempat sukses lewat Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea, kembali dipasangkan, didukung pendatang baru Melati Zein, Dominique Diyose, Deddy Sutomo, Jaja Miharja, dan Richard Oh. Bertajuk Mooncake Story (MS), sejatinya dirilis bertepatan dengan momennya, tapi dimundurkan hingga resmi tayang 23 Maret 2017.

David, seorang pengusaha muda sukses bertemu dengan seorang wanita bernama Asih, dan putranya, Bimo, saat membutuhkan jasa joki 3 in 1. David lantas mencari Asih sampai ke perkampungan dan tertarik dengan kehidupan Asih sebagai seorang janda yang gigih menghidupi sang putra dan seorang adik perempuan yang masih kuliah, Sekar dengan multi-profesi. Ia pun jadi teringat dengan mendiang sang ibu yang punya kegigihan kurang lebih sama. Kedekatan David dengan Asih membuat keluarganya khawatir. Apalagi setelah David memberikan resep beserta cetakan kue bulan milik mendiang sang ibu kepada Asih untuk dikembangkan menjadi usaha tetap. Tanpa ada yang tahu bahwa David sendiri sebenarnya sedang berjuang menghadapi Alzheimer yang mulai mengganggu kehidupannya sehari-hari.
Memilih salah satu episode kisah kecil dari pengalaman hidup sebenarnya pilihan yang menarik, apalagi dengan simbol kuliner ‘kue bulan’ yang punya potensi menarik divisualisasikan, pun juga filosofis. Dengan keterlibatan Garin Nugroho, MS bisa jadi karya yang sederhana, solid, sekaligus menghibur. Plot utama tentang pertemuan David-Asih yang kemudian berkembang menjadi inspirasi untuk membantu meningkatkan taraf hidup sesama memang dengan jelas ditampilkan. Pun juga value utama bahwa tak ada satupun manusia yang tak punya arti. Sayangnya plot ini ternyata tidak hadir sendirian. Garin menghadirkan cukup banyak sub-plot yang tak hanya menghabiskan durasi tapi juga mendistraksi fokus plot utama. Let’s say kisah tentang Sekar dan seorang pria yang berprofesi sebagai badut bernama Jaka, konflik antara Bimo dengan ibunya sekaligus kerinduannya terhadap mendiang sang ayah, Sekar dengan mafia human-trafikking, Sekar dengan Asih, konflik David dengan Linda, konflik di dalam keluarga David sendiri, konflik David dengan dirinya sendiri yang mengidap Alzheimer. Begitu penuh sesak dengan porsi masing-masing yang cukup besar sehingga mempengaruhi fokus sekaligus emosi penonton terhadap plot utama. Pun juga masing-masing sub-plot kendati masih punya sedikit benang merah terhadap tema ‘tak ada manusia yang tak berarti’, sayangnya punya pertalian antar sub-plot yang masih sangat kurang terasa. Alhasil, bukannya saling mendukung untuk menjadi satu kesatuan yang solid, keberadaan sub-plot-sub-plot ini justru mengganggu fokus sekaligus mood keseluruhan film. Mooncake yang seharusnya menjadi simbol utama film (sampai dijadikan judul) malah terkesan bak elemen yang sekedar ada. Unsur musikal (yang tampaknya tak bisa lepas dari image Garin) sedikit menghibur kendati tak banyak punya fungsi dalam film.
Penampilan aktor-aktris di MS sebenarnya sudah mengerahkan kemampuan akting yang maksimal. Terutama sekali Morgan Oey yang mencoba merepresentasi sosok penderita Alzheimer tanpa terkesan terlalu dibuat-buat atau berusaha menjadi tear-jerker. Bunga Citra Lestari yang tampil agak berbeda dengan dandanan super-biasa pun punya momen-momen yang mencuri perhatian penonton. Pendatang baru, Melati Zein tampak cukup luwes dalam membawakan peran Sekar, dengan pesona kharisma yang cukup kuat pula. Deddy Sutomo terasa santai tapi tetap memancarkan kharisma yang kuat lewat karakter Pak Tri. Fathan Irsyad sebagai Bimo masih terasa terlalu teatrikal dan dibuat-buat. Sementara Dominique Diyose, Kang Saswi (sebagai Jaka), Jaja Miharja, Richard Oh, dan langganan Garin, Mbok Tun, tampil cukup noticeable dan sesuai porsi masing-masing.
Sinematografi Nur Hidayat berperan cukup efektif dalam bercerita sekaligus menyuguhkan angle-angle serta camera work yang sinematis, termasuk untuk adegan-adegan musikalnya. Editing Cesa David Luckmansyah dan Ahsan Andrian terasa sudah cukup maksimal dalam menyusun adegan menjadi tetap nyaman diikuti di balik banyaknya sub-plot yang harus dirangkai. Musik dari Tya Subiyakto memberikan sumbangsih penting dalam dramatisasi beberapa adegan tanpa kesan terlalu ‘sok grandeur’.
Berpotensi menjadi sepenggal kisah kecil biopic yang bermakna besar dan filosofis, MS sayangnya terdistraksi oleh sangat banyak sub-plot yang bukannya mendukung kesolidan cerita (maupun value), malah mengacaukannya. Emosi penonton yang sebenarnya bisa diraih lewat beberapa momen terpenting dalam film menjadi kurang tergali maksimal. Setidaknya performance para aktor-aktris yang terlibat masih layak untuk diapresiasi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.