2.5/5
Based on a True Event
Biography
disease
Drama
Family
Indonesia
Musical
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mooncake Story
Sejatinya siapa saja bisa punya cerita yang menginspirasi
sekitarnya, apalagi pengusaha sukses yang akhir-akhir ini menjadi salah satu
trend untuk membagikan kisahnya ke dalam sebuah film biopic. Setelah Karmaka
Suryaudaya, pendiri Bank NISP lewat film Love
and Faith, kini giliran pendiri Mayapada Group, Dato’ Sri Tahir. Tak harus
melulu berupa life chronicle berisi jatuh-bangun sebelum meraih sukses, tapi
bisa juga sepenggal kisah kecil yang tak kalah penting dan berartinya. Lewat
Tahir Foundation dan menggandeng Multivision Plus dalam memproduksi, sutradara
yang namanya sudah dikenal di kancah internasional, Garin Nugroho, dipercaya
untuk menyutradarai sekaligus menuliskan naskahnya. Pasangan Morgan Oey dan
Bunga Citra Lestari yang sempat sukses lewat Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea, kembali dipasangkan,
didukung pendatang baru Melati Zein, Dominique Diyose, Deddy Sutomo, Jaja
Miharja, dan Richard Oh. Bertajuk Mooncake
Story (MS), sejatinya dirilis bertepatan dengan momennya, tapi dimundurkan
hingga resmi tayang 23 Maret 2017.
David, seorang pengusaha muda sukses bertemu dengan seorang
wanita bernama Asih, dan putranya, Bimo, saat membutuhkan jasa joki 3 in 1.
David lantas mencari Asih sampai ke perkampungan dan tertarik dengan kehidupan
Asih sebagai seorang janda yang gigih menghidupi sang putra dan seorang adik
perempuan yang masih kuliah, Sekar dengan multi-profesi. Ia pun jadi teringat
dengan mendiang sang ibu yang punya kegigihan kurang lebih sama. Kedekatan
David dengan Asih membuat keluarganya khawatir. Apalagi setelah David
memberikan resep beserta cetakan kue bulan milik mendiang sang ibu kepada Asih
untuk dikembangkan menjadi usaha tetap. Tanpa ada yang tahu bahwa David sendiri
sebenarnya sedang berjuang menghadapi Alzheimer yang mulai mengganggu
kehidupannya sehari-hari.
Memilih salah satu episode kisah kecil dari pengalaman hidup
sebenarnya pilihan yang menarik, apalagi dengan simbol kuliner ‘kue bulan’ yang
punya potensi menarik divisualisasikan, pun juga filosofis. Dengan keterlibatan
Garin Nugroho, MS bisa jadi karya yang sederhana, solid, sekaligus menghibur.
Plot utama tentang pertemuan David-Asih yang kemudian berkembang menjadi
inspirasi untuk membantu meningkatkan taraf hidup sesama memang dengan jelas
ditampilkan. Pun juga value utama bahwa tak ada satupun manusia yang tak punya
arti. Sayangnya plot ini ternyata tidak hadir sendirian. Garin menghadirkan
cukup banyak sub-plot yang tak hanya menghabiskan durasi tapi juga mendistraksi
fokus plot utama. Let’s say kisah tentang Sekar dan seorang pria yang
berprofesi sebagai badut bernama Jaka, konflik antara Bimo dengan ibunya
sekaligus kerinduannya terhadap mendiang sang ayah, Sekar dengan mafia
human-trafikking, Sekar dengan Asih, konflik David dengan Linda, konflik di
dalam keluarga David sendiri, konflik David dengan dirinya sendiri yang
mengidap Alzheimer. Begitu penuh sesak dengan porsi masing-masing yang cukup besar
sehingga mempengaruhi fokus sekaligus emosi penonton terhadap plot utama. Pun
juga masing-masing sub-plot kendati masih punya sedikit benang merah terhadap
tema ‘tak ada manusia yang tak berarti’, sayangnya punya pertalian antar
sub-plot yang masih sangat kurang terasa. Alhasil, bukannya saling mendukung
untuk menjadi satu kesatuan yang solid, keberadaan sub-plot-sub-plot ini justru
mengganggu fokus sekaligus mood keseluruhan film. Mooncake yang seharusnya
menjadi simbol utama film (sampai dijadikan judul) malah terkesan bak elemen
yang sekedar ada. Unsur musikal (yang tampaknya tak bisa lepas dari image Garin)
sedikit menghibur kendati tak banyak punya fungsi dalam film.
Penampilan aktor-aktris di MS sebenarnya sudah mengerahkan
kemampuan akting yang maksimal. Terutama sekali Morgan Oey yang mencoba
merepresentasi sosok penderita Alzheimer tanpa terkesan terlalu dibuat-buat
atau berusaha menjadi tear-jerker. Bunga Citra Lestari yang tampil agak berbeda
dengan dandanan super-biasa pun punya momen-momen yang mencuri perhatian
penonton. Pendatang baru, Melati Zein tampak cukup luwes dalam membawakan peran
Sekar, dengan pesona kharisma yang cukup kuat pula. Deddy Sutomo terasa santai
tapi tetap memancarkan kharisma yang kuat lewat karakter Pak Tri. Fathan Irsyad
sebagai Bimo masih terasa terlalu teatrikal dan dibuat-buat. Sementara
Dominique Diyose, Kang Saswi (sebagai Jaka), Jaja Miharja, Richard Oh, dan
langganan Garin, Mbok Tun, tampil cukup noticeable dan sesuai porsi
masing-masing.
Sinematografi Nur Hidayat berperan cukup efektif dalam
bercerita sekaligus menyuguhkan angle-angle serta camera work yang sinematis,
termasuk untuk adegan-adegan musikalnya. Editing Cesa David Luckmansyah dan
Ahsan Andrian terasa sudah cukup maksimal dalam menyusun adegan menjadi tetap
nyaman diikuti di balik banyaknya sub-plot yang harus dirangkai. Musik dari Tya
Subiyakto memberikan sumbangsih penting dalam dramatisasi beberapa adegan tanpa
kesan terlalu ‘sok grandeur’.
Berpotensi menjadi sepenggal kisah kecil biopic yang bermakna
besar dan filosofis, MS sayangnya terdistraksi oleh sangat banyak sub-plot yang
bukannya mendukung kesolidan cerita (maupun value), malah mengacaukannya. Emosi
penonton yang sebenarnya bisa diraih lewat beberapa momen terpenting dalam film
menjadi kurang tergali maksimal. Setidaknya performance para aktor-aktris yang
terlibat masih layak untuk diapresiasi.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.