The Jose Flash Review
Baracas:
Barisan Anti Cinta Asmara


Di beberapa kalangan nama Pidi Baiq mungkin cukup familiar. Selain novel seperti Dilan dan Milea, Pidi dikenal sebagai frontman dari band komedi The Panasdalam dan punya kumpulan quote yang sering di-share di kalangan anak muda, terutama di Bandung sebagai basecamp utamanya. Tak mengherankan jika kemudian Pidi tertarik untuk mencoba peruntungan di dunia film. Beruntung Max Pictures juga tertarik memberikannya kesempatan menjajal menjadi sutradara sekaligus penulis naskah, dibantu Tubagus Deddy Safiudin (Ketika Bung di Ende, Mursala, dan Jenderal Soedirman) dan Saleh Elhan. Background kepenulisan baik novel maupun lagu seharusnya tak membuatnya terkendala banyak di film, tapi tentu saja ini adalah bidang yang sama sekali berbeda dengan skala yang jauh lebih besar. Maka Baracas: Barisan Anti Cinta Asmara menjadi semacam ‘percobaan’ pertama bagi Pidi. Beruntung proyek perdananya ini didukung nama-nama populer seperti Ringgo Agus Rahman, Tika Bravani, Ajun Perwira, Stella Cornelia, Budi Doremi, Ficco Fachriza, sampai Cut Mini.

Bandung dihebohkan oleh sebuah ormas bernama Baracas yang merupakan singkatan dari Barisan Anti Cinta Asmara. Seperti namanya, ormas yang dipimpin oleh Agus ini merangkul kaum pria yang patah hati dan bersumpah untuk membenci kaum wanita. Salah satu yang tertarik untuk bergabung adalah Ajun yang baru saja dikecewakan pacarnya yang ia tuduh berselingkuh. Sang ibu kalang kabut mencari keberadaan Ajun, sama seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya. Para wanita muda pun tak kalah resah lantaran pacar dan mantan pacar mereka yang ikut bergabung. Battle of sexes pun tak terelakkan.
Meski cukup menarik, sejak awal premise Baracas menimbulkan kernyit dahi, mulai apa saja kegiatan selama tergabung di Baracas, kecenderungan misogynist, hingga kecenderungan ke arah homoseksual dengan embel-embel ‘membenci kaum wanita’. Sayangnya, Baracas sama sekali tidak menjawab kernyit dahi saya tersebut hingga akhir film. Baracas digambarkan sebagai ormas yang anggotanya sehari-hari hanya menghabiskan waktu untuk saling bahu-membahu mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari atau membuat caci maki terhadap kaum wanita, lengkap dengan aksi membuka celana dan menyodorkan pantat. Kecenderungan homoseksual pun sama sekali tak di-counter ataupun dikembangkan ke arah tertentu. Untungnya kecenderungan misogynist masih bisa diterima karena ditampilkan dalam konteks komedi, sampai sebuah line di menjelang akhir yang menyebutkan Baracas sebagai kelompok yang hebat karena suka menyakiti perempuan. Saya tahu konteks ‘menyakiti’ di sini dalam arti figuratif, tapi somehow still sounds wrong, apalagi dianggap sebagai sesuatu yang dibangga-banggakan dan dihebat-hebatkan. What the hell?
Jika impresi pertama tersebut masih belum cukup, plot Baracas berjalan tanpa arah yang jelas setelah sempat berjalan cukup lancar. Semakin terjun bebas  setelah sebenarnya sudah menyampaikan kesimpulannya di pertengahan film (berupa line yang disampaikan oleh karakter ibu Ajun, yang diperankan oleh Cut Mini).  Pidi seolah kebingungan mau membawa ceritanya ke mana lagi selain tujuan akhir membubarkan Baracas sementara durasi minimum masih cukup lama. Secara berulang-ulang tanda-tanda perpecahan ditampilkan satu per satu karakter pendukung. Di titik ini memang ada pergerakan plot, yaitu babak battle of sexes, tapi juga tak perlu diulang-ulang sedemikian kali jika tak punya gagasan yang berbeda-beda.
Tiap adegan pun terasa seperti sekedar ada sebagai pemaparan kronologis, tanpa setup yang cukup suportif maupun elemen-elemen emosi yang sebenarnya mampu menggerakkan penonton untuk jenis film seperti ini. Mungkin kepekaan maupun skill directing Pidi masih belum cukup untuk mengakomodir, tapi seharusnya ada supervisi produksi yang lebih ketat, apalagi untuk PH seberpengalaman Max Pictures. Apa yang tersisa kemudian adalah guyonan-guyonan khas Pidi (yang termasuk setipe dengan lirik-lirik humor The Panasdalam) yang sayangnya lebih sering missed (terutama karena cara penyampaian oleh aktor yang masih awkward) ketimbang hit. Saya benar-benar tertawa lepas hanya pada plesetan kode nama-nama band. Sisanya hanya mampu membuat saya tersenyum. Saya sadar letak kelucuannya, tapi belum cukup untuk membuat saya tertawa, apalagi secara lepas.
Aktor-aktris yang terlibat sebenarnya cukup berupaya untuk menghidupkan karakter masing-masing secara maksimal. Misalnya Ringgo Agus yang masih membawakan peran tipikal tapi tetap berhasil beberapa kali mengundang senyum berkat tingkah laku maupun pembawaan line-line menggelitiknya. Ajun Perwira pun cukup charming pada porsi perannya. Sayang karakternya tidak diberi perkembangan lebih lanjut untuk mengudang simpati lebih lagi dari penonton. Tika Bravani dan Cut Mini seperti biasa, mencuri perhatian lewat kharisma masing-masing. Budi Doremi pun sebenarnya tampil menarik dengan keseimbangan karakter komedik dan serius yang sama-sama meyakinkan.
Angela Andreyanti Rikarastu sebenarnya menyuguhkan sinematografi yang cukup efektif dalam bercerita, terutama lewat pemilihan angle dan camera work. Bukan kesalahannya jika terasa ada lubang-lubang cerita di sana-sini. Editing Cesa David Luckmansyah pun terasa sudah berupaya maksimal untuk menjaga pace cerita tetap asyik dan berenergi. Lagi-lagi faktor arah cerita yang tidak jelas mau ke mana membuat upaya tersebut sia-sia. Scoring Joseph S. Djafar yang kali ini ‘mencuri’ score-score bergaya Western, terutama yang paling obvious dari Ennio Moriccone yang kali ini nyaris 90% identik, sebenarnya cukup ‘masuk’ mengiringi adegan-adegannya.
Sebagai film perdana, sayangnya upaya Pidi di Baracas masih jauh dari kata layak. Bahkan film-film pertama Raditya Dika dan Ernest Prakasa (dengan supervisi produksi dari pihak-pihak yang lebih berpengalaman tentu saja) hasilnya masih jauh lebih baik. Jika berniat serius di film (konon sudah mendirikan The Panasdalam Movie sebagai salah satu ‘divisi’ dari ‘kerajaan bisnis’-nya), Pidi perlu belajar sangat-sangat banyak dari pihak yang lebih berpengalaman, baik dari segi penulisan naskah, penyutradaraan, maupun hal teknis lainnya. Otherwise, lebih baik fokus menulis lagu-lagu berlirik komedi saja yang mana saya sendiri sempat menjadi penggemarnya.    
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.