2/5
Comedy
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Baracas:
Barisan Anti Cinta Asmara
Di beberapa kalangan nama Pidi Baiq mungkin cukup familiar.
Selain novel seperti Dilan dan Milea, Pidi dikenal sebagai frontman
dari band komedi The Panasdalam dan punya kumpulan quote yang sering di-share
di kalangan anak muda, terutama di Bandung sebagai basecamp utamanya. Tak
mengherankan jika kemudian Pidi tertarik untuk mencoba peruntungan di dunia
film. Beruntung Max Pictures juga tertarik memberikannya kesempatan menjajal
menjadi sutradara sekaligus penulis naskah, dibantu Tubagus Deddy Safiudin (Ketika Bung di Ende, Mursala, dan Jenderal Soedirman) dan Saleh Elhan. Background kepenulisan baik
novel maupun lagu seharusnya tak membuatnya terkendala banyak di film, tapi
tentu saja ini adalah bidang yang sama sekali berbeda dengan skala yang jauh
lebih besar. Maka Baracas: Barisan Anti
Cinta Asmara menjadi semacam ‘percobaan’ pertama bagi Pidi. Beruntung
proyek perdananya ini didukung nama-nama populer seperti Ringgo Agus Rahman,
Tika Bravani, Ajun Perwira, Stella Cornelia, Budi Doremi, Ficco Fachriza, sampai
Cut Mini.
Bandung dihebohkan oleh sebuah ormas bernama Baracas yang
merupakan singkatan dari Barisan Anti Cinta Asmara. Seperti namanya, ormas yang
dipimpin oleh Agus ini merangkul kaum pria yang patah hati dan bersumpah untuk
membenci kaum wanita. Salah satu yang tertarik untuk bergabung adalah Ajun yang
baru saja dikecewakan pacarnya yang ia tuduh berselingkuh. Sang ibu kalang
kabut mencari keberadaan Ajun, sama seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya. Para
wanita muda pun tak kalah resah lantaran pacar dan mantan pacar mereka yang
ikut bergabung. Battle of sexes pun tak terelakkan.
Meski cukup menarik, sejak awal premise Baracas menimbulkan kernyit dahi, mulai apa saja kegiatan selama
tergabung di Baracas, kecenderungan misogynist, hingga kecenderungan ke arah
homoseksual dengan embel-embel ‘membenci kaum wanita’. Sayangnya, Baracas sama sekali tidak menjawab
kernyit dahi saya tersebut hingga akhir film. Baracas digambarkan sebagai ormas
yang anggotanya sehari-hari hanya menghabiskan waktu untuk saling bahu-membahu
mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari atau membuat caci maki terhadap
kaum wanita, lengkap dengan aksi membuka celana dan menyodorkan pantat.
Kecenderungan homoseksual pun sama sekali tak di-counter ataupun dikembangkan
ke arah tertentu. Untungnya kecenderungan misogynist masih bisa diterima karena
ditampilkan dalam konteks komedi, sampai sebuah line di menjelang akhir yang
menyebutkan Baracas sebagai kelompok yang hebat karena suka menyakiti
perempuan. Saya tahu konteks ‘menyakiti’ di sini dalam arti figuratif, tapi
somehow still sounds wrong, apalagi dianggap sebagai sesuatu yang
dibangga-banggakan dan dihebat-hebatkan. What the hell?
Jika impresi pertama tersebut masih belum cukup, plot Baracas
berjalan tanpa arah yang jelas setelah sempat berjalan cukup lancar. Semakin
terjun bebas setelah sebenarnya sudah
menyampaikan kesimpulannya di pertengahan film (berupa line yang disampaikan
oleh karakter ibu Ajun, yang diperankan oleh Cut Mini). Pidi seolah kebingungan mau membawa ceritanya
ke mana lagi selain tujuan akhir membubarkan Baracas sementara durasi minimum
masih cukup lama. Secara berulang-ulang tanda-tanda perpecahan ditampilkan satu
per satu karakter pendukung. Di titik ini memang ada pergerakan plot, yaitu
babak battle of sexes, tapi juga tak perlu diulang-ulang sedemikian kali jika
tak punya gagasan yang berbeda-beda.
Tiap adegan pun terasa seperti sekedar ada sebagai pemaparan
kronologis, tanpa setup yang cukup suportif maupun elemen-elemen emosi yang
sebenarnya mampu menggerakkan penonton untuk jenis film seperti ini. Mungkin
kepekaan maupun skill directing Pidi masih belum cukup untuk mengakomodir, tapi
seharusnya ada supervisi produksi yang lebih ketat, apalagi untuk PH
seberpengalaman Max Pictures. Apa yang tersisa kemudian adalah guyonan-guyonan
khas Pidi (yang termasuk setipe dengan lirik-lirik humor The Panasdalam) yang
sayangnya lebih sering missed (terutama karena cara penyampaian oleh aktor yang
masih awkward) ketimbang hit. Saya benar-benar tertawa lepas hanya pada
plesetan kode nama-nama band. Sisanya hanya mampu membuat saya tersenyum. Saya
sadar letak kelucuannya, tapi belum cukup untuk membuat saya tertawa, apalagi
secara lepas.
Aktor-aktris yang terlibat sebenarnya cukup berupaya untuk
menghidupkan karakter masing-masing secara maksimal. Misalnya Ringgo Agus yang
masih membawakan peran tipikal tapi tetap berhasil beberapa kali mengundang
senyum berkat tingkah laku maupun pembawaan line-line menggelitiknya. Ajun
Perwira pun cukup charming pada porsi perannya. Sayang karakternya tidak diberi
perkembangan lebih lanjut untuk mengudang simpati lebih lagi dari penonton.
Tika Bravani dan Cut Mini seperti biasa, mencuri perhatian lewat kharisma
masing-masing. Budi Doremi pun sebenarnya tampil menarik dengan keseimbangan
karakter komedik dan serius yang sama-sama meyakinkan.
Angela Andreyanti Rikarastu sebenarnya menyuguhkan
sinematografi yang cukup efektif dalam bercerita, terutama lewat pemilihan
angle dan camera work. Bukan kesalahannya jika terasa ada lubang-lubang cerita
di sana-sini. Editing Cesa David Luckmansyah pun terasa sudah berupaya maksimal
untuk menjaga pace cerita tetap asyik dan berenergi. Lagi-lagi faktor arah
cerita yang tidak jelas mau ke mana membuat upaya tersebut sia-sia. Scoring
Joseph S. Djafar yang kali ini ‘mencuri’ score-score bergaya Western, terutama
yang paling obvious dari Ennio Moriccone yang kali ini nyaris 90% identik,
sebenarnya cukup ‘masuk’ mengiringi adegan-adegannya.
Sebagai film perdana, sayangnya upaya Pidi di Baracas masih jauh dari kata layak.
Bahkan film-film pertama Raditya Dika dan Ernest Prakasa (dengan supervisi
produksi dari pihak-pihak yang lebih berpengalaman tentu saja) hasilnya masih
jauh lebih baik. Jika berniat serius di film (konon sudah mendirikan The Panasdalam
Movie sebagai salah satu ‘divisi’ dari ‘kerajaan bisnis’-nya), Pidi perlu
belajar sangat-sangat banyak dari pihak yang lebih berpengalaman, baik dari
segi penulisan naskah, penyutradaraan, maupun hal teknis lainnya. Otherwise,
lebih baik fokus menulis lagu-lagu berlirik komedi saja yang mana saya sendiri sempat
menjadi penggemarnya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.