4/5
Asia
Comedy
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
Remake
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Galih & Ratna
Cinta adalah universal. Merujuk pada ungkapan tersebut, maka
tiap negara dan budaya memiliki sosok pasangan asmara yang mewakili dan
melegenda. Jika Inggris punya Romeo dan Juliet yang diadaptasi ke berbagai
variasi nama di berbagai negara, Cina punya Sampek-Engtay, maka Indonesia punya
Galih dan Ratna, di samping Ramadhan & Ramona, dan era 2000-an, Cinta dan
Rangga. Namun sosok Galih dan Ratna yang diperankan oleh Rano Karno dan Yessy
Gusman di film Gita Cinta dari SMA (1979)
sudah melekat begitu kuat hingga kini. Maka tinggal menunggu momen yang tepat
untuk melanjutkan warisan ke generasi selanjutnya, seperti yang sudah dilakukan
Putrama Tuta di Catatan Harian Si Boy
untuk franchise klasik Catatan Si Boy.
Adalah Lucky Kuswandi, sutradara muda yang kita kenal lewat Madame X (2010) dan Selamat Pagi, Malam (2014) yang
beruntung ditunjuk untuk menggarap Galih dan Ratna versi generasi milenial
bertajuk Galih & Ratna (G&R).
Tak hanya duduk sebagai sutradara, Lucky juga menyusun naskahnya bersama Fathan
Todjon. Sheryl Sheinafia yang kita kenal sebagai presenter acara musik di salah
satu stasiun TV nasional dan sempat menunjukkan kemampuan aktingnya di Koala Kumal bersama Raditya Dhika,
ditunjuk untuk mewakili sosok Ratna, sementara Refal Hady yang dikenal lewat
serial TV dipercaya menghidupkan karakter Galih. Tak hanya film, G&R juga
mencoba mempopulerkan kembali lagu tema yang sempat begitu populer dengan
mempercayakannya kepada trio GAC.
Ratna baru saja dipindahkan oleh sang ayah yang super sibuk
dari Jakarta ke Bogor. Ia dititipkan kepada sang tante, Tantri. Di sekolah yang
baru Ratna menarik perhatian Galih, seorang siswa biasa-biasa saja yang
berupaya keras memperoleh beasiswa karena di rumah hanya sang ibu yang
menafkahi dengan membuka usaha katering. Sementara masih ada sang adik yang
masih kecil dan perlu biaya sekolah. Harapan mereka sebenarnya ada pada toko
kaset lama milik mendiang sang ayah yang dulunya sempat menjadi rujukan sekota
Bogor untuk mencari kaset musik. Sang ibu berniat menjual toko tersebut, tapi
Galih tidak setuju karena faktor kenangan dengan sang ayah. Melihat kondisi
tersebut Ratna berinisiatif untuk kembali membangkitkan toko kaset legendaris
tersebut. Salah satu caranya adalah mempopulerkan kembali pembuatan mixtape
sebagai cara untuk menyatakan perasaan. Sementara itu, bakat bermusik Ratna pun
mulai disadarinya karena bantuan Galih. Upaya sukses dan hubungan manis
keduanya ternyata tak berlangsung lama karena sang ibu tetap pada pendiriannya.
Belum lagi sang ayah menginginkan Ratna kuliah di luar negeri selulus SMA.
Cita-cita dan asmara menjadi pilihan yang sulit bagi Galih maupun Ratna.
Dari sinopsisnya, G&R sebenarnya lebih tepat disebut
sebagai sebuah estafet generasi sosok ikonik Galih dan Ratna seperti halnya Catatan Harian Si Boy (CHSB) ketimbang
murni remake. Bedanya, jika menggunakan nama-nama karakter yang berbeda, maka
G&R masih mempertahankan setidaknya dua nama karakter ikoniknya.
Selebihnya, G&R adalah kisah yang jauh berbeda. Tak hanya mengikuti jaman
lewat berbagai elemen-elemen kekiniannya, konflik yang dihadirkan pun juga
disesuaikan. Jika dulu ‘perjodohan’ menjadi kasus klasik kandasnya kisah cinta
remaja, maka G&R memilih pilihan hubungan asmara dan cita-cita sebagai
alasan untuk ‘memisahkan’ keduanya. Tema yang saat ini menjadi trend, tak hanya
di Indonesia, tapi juga Hollywood (terakhir kali lewat La La Land) dan bahkan Bollywood.
Chemistry yang berkembang natural dan terlihat convincing
antara Sheryl dan Refal menjadi daya
tarik utama yang kekuatannya cukup besar untuk membuat penonton betah dengan
kebersamaan keduanya. Sementara daya tarik yang tak kalah besar terletak pada
dimasukkannya elemen medium kaset pita yang pernah menjadi ikon era 80-90’an.
Tak mudah ‘meracuni’ generasi yang serba praktis dan mudah seperti sekarang
untuk tertarik melirik teknologi yang lebih terbelakang. G&R termasuk yang
berhasil membuat teknologi kaset pita terasa keren, apalagi untuk menyampaikan
perasaan kepada seseorang dengan membuat mixtape. Lebih dari itu, ia pun
berhasil menyampaikan filosofi puitis di balik kaset pita yang relevan dengan
plot utama, baik dalam hal kelemahan kaset pita yang tak bisa meng-skip lagu
maupun filosofi di balik dipatahkannya kotak pengaman di atas kaset supaya isi
rekaman tak terhapus. Filosofi-filosofi yang bahkan tak terpikirkan oleh saya
yang sempat tumbuh di era kejayaan kaset pita.
Elemen persahabatan yang menjadi salah satu syarat penting
untuk film remaja masih ditampilkan dengan porsi yang cukup. Memang tak sampai
digali terlalu dalam, yang membuat kita tak merasakan seru-seruan bareng
sahabat, misalnya antara Ratna, Mimi (Rain Chudori), dan Erlin (Stella Lee). Atau
antara Galih, Anto (Agra Piliang), dan genk basketnya. Seolah ada jarak antara
mereka. Untungnya masing-masing punya porsi dan keunikan penampilan sehingga
cukup noticeable dan membekas dalam memori penonton.
Lucky sendiri memasukkan pendekatan-pendekatan a la arthouse
yang notabene lambat dan sunyi di beberapa kesempatan. Untungnya ini tak ia
terapkan secara terus-menerus. Masih ada keseimbangan dan energi yang
menggerakkan plotnya sehingga masih enjoyable untuk diikuti oleh penonton muda
sebagai target audience utamanya.
Dukungan performa dari Marissa Anita sebagai Tantri, tante
Ratna, Ayu Dyah Pasha sebagai Mirna, ibu Galih, Hengky Tornado sebagai Oka,
ayah Ratna, Sari Koeswoyo sebagai Kepala Sekolah, Joko Anwar sebagai Pak Dedy,
sampai Indra Birowo sebagai sopir angkot pun semakin menyemarakkan film lewat
performa masing-masing yang memorable.
Camera work dari Amalia TS memberikan nafas romantisme dan
energi muda dengan porsi yang serba pas. Lembut ketika mengalun romantis,
sedikit dinamis (tapi tak sampai kelewat enerjik yang akan membuat turnover
terlalu signifikan) ketika ‘seru-seruan’. Editing Arifin Cuunk pun menyusun
adegan dengan timing yang serba pas, senada dengan sinematografi Amalia.
Artistik Dita Gambiro, termasuk tata kostum dari Aksara Sophiaan dan Darwita K
Karin terlihat cukup signatural untuk tiap karakter tapi masih dalam konteks
natural. Musik dari Ivan Gojaya mengiringi momen-momen manis dan dilematisnya
dengan lembut meski tak sampai menjadi alunan yang akan terus bertahan dalam
ingatan. Pemilihan GAC (Gamaliel-Audrey-Cantika) untuk membawakan lagu ikonik, Galih & Ratna beserta lagu-lagu baru
maupun lawas yang diaransemen ulang semakin memberi warna yang beragam ke dalam
film, mulai Agustin Oendari, White Showes & the Couples Company, Rendy
Pandugo. Sheryl sendiri, bahkan sampai Koil. Salah satu kompilasi soundtrack
film Indonesia yang layak dikoleksi tahun ini.
Me-remake atau menyerahkan tongkat estafet antar generasi
sebenarnya keputusan yang riskan. Ada banyak pihak lintas generasi yang harus
dipuaskan. G&R saya rasa salah satu dari yang berhasil memuaskan kedua
pihak. Penonton muda akan dengan mudah menerima konsepnya yang serba kekinian,
ringan tapi tak cheesy, dan menyuguhkan gimmick trend yang berhasil terlihat
keren. Dengan strategi promosi yang tepat, bukan tidak mungkin menggunakan
mixtape untuk menyatakan perasaan akan kembali menjadi trend. Sementara bagi
penonton dewasa (termasuk generasi Rano Karno-Yessy Gusman – yang sayangnya terkesan ‘numpang lewat’ semata, tak
diberi porsi yang lebih berkaitan dengan plot utama selain sekedar gestur estafet generasi di awal film) akan mengenang kembali
manisnya masa-masa percintaan di SMA sekaligus trend-trend mendengarkan musik
lewat medium kaset pita.
Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.