3/5
Arthouse
Based on a True Event
Biography
Drama
History
Indie
Indonesia
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Istirahatlah Kata-Kata
[Solo, Solitude]
Sebelum memulai review, let me ask you this
basic question: apa tujuan pembuatan biopic? Jawaban yang paling mendasar
adalah sebagai pengingat. Dengan diangkat ke sebuah medium, baik itu buku
maupun film, sesosok menjadi selalu diingat, abadi. Ketika sebagian besar
manusia mungkin melupakan, termakan oleh waktu, literatur bisa dibuka-buka
kembali dan dipindah-tangankan antar generasi. Maka sebuah biopic layaknya
memuat poin-poin penting yang setidaknya memberi gambaran sebuah era, ide-ide
atau pemikiran dari subjek sang sosok, dan jika memungkinkan, menunjukkan
mengapa sosok tersebut layak menjadi sosok penting yang dicatat sejarah. Apa
sumbangsih dan perannya bagi masyarakat? Apa yang membedakannya dari kebanyakan
orang-orang di sekitarnya?
PR berikutnya adalah treatment seperti apa
yang akan digunakan untuk menyampaikan tokoh (beserta pemikiran-pemikirannya)
sehingga efektif menjalankan tujuan-tujuan yang saya sebutkan di paragraf
sebelumnya. Ini tentu terkait dengan kalangan mana yang hendak dituju. Perlu ada
riset yang cukup sebenarnya agar treatment dan form yang dipilih bisa
menyampaikan message secara efektif kepada target audience utamanya.
Wiji Thukul adalah salah satu dari orang
hilang yang selama ini dikenal sebagai penulis puisi sekaligus aktivis yang
sering terlibat dalam berbagai aksi unjuk rasa. Sama seperti kebanyakan aktivis
era Orde Baru, Wiji Thukul juga sempat menjadi pelarian di daerah terpencil
hingga akhirnya dinyatakan hilang. Minimnya informasi membuat sosoknya hingga
saat ini menjadi semacam mitos, bersama orang-orang hilang lainnya.
Kemisteriusan ini lah yang sebenarnya membuat keputusan mengangkat sosok Wiji
Thukul ke sebuah biopic masih tergolong sulit. Sisi dan pendekatan seperti apa
yang cocok untuk menyampaikannya. Yosep Anggi Noen yang selama ini dikenal
sebagai sineas muda di jalur arthouse, terutama setelah film panjang
pertamanya, Vakansi yang Janggal dan
Penyakit Lainnya (Peculiar Vacation
and Other Illnesses), mencoba mengangkat sosok Wiji Thukul lewat
kacamatanya. Judul dalan Bahasa Indonesia, Istirahatlah
Kata-Kata (IKK) memberikan gambaran keseluruhan dari angle yang ia bidik.
Begitu juga judul Bahasa Inggris, Solo,
Solitude yang selain merujuk pada kota Solo sebagai asal Wiji Thukul, juga
menggambarkan keterasingan serta kesendirian yang menjadi highlight film.
IKK dibuka dengan sesosok wanita dan gadis
cilik yang sedang diinterogasi oleh seorang pria yang dari atributnya dengan
mudah diidentifikasi sebagai aparat. Ia mempertanyakan keberadaan ayah dari si
gadis cilik. Adegan berikutnya barulah ditunjukkan sosok pria kurus yang secara
susunan adegan jelas merujuk pada sosok sang ayah dari si gadis cilik. Ia
sedang dalam perjalanan menuju Pontianak untuk mengasingkan diri. Dengan
bantuan dua orang bernama Thomas dan Martin, ia mendapatkan tempat tinggal
untuk bersembunyi, bahkan juga identitas baru dengan nama Paul. Selama berada
dalam persembunyian, Paul tetap terus mencoba menuliskan gugatan-gugatannya
terhadap opresi pemerintah serta ABRI, sambil sesekali diliputi kekhawatiran
ketika harus berpapasan dengan oknum aparat. Kesepian juga yang akhirnya
membuat ia memikirkan anak dan terutama sang istri, Sipon, yang masih tinggal
di Jawa. Ia memutuskan pulang untuk melepas rindu. Awalnya Sipon menyambut
dengan bahagia, tapi ia dibuat bingung dengan perasaannya sendiri karena
ternyata kondisi sudah tak bisa kembali sama seperti sebelum sang suami menjadi
buronan politik.
Bagi yang familiar dengan gaya storytelling
Anggi Noen, seperti di film-film pendek dan Vakansi
yang Janggal, sebenarnya bisa dengan mudah menduga treatment seperti apa
yang diterapkannya di IKK. Apalagi dengan tema dan pemilihan judul yang
demikian. Ya, hampir keseluruhan style storytelling khas Anggi ada di IKK.
Mulai long take yang benar-benar kelewat panjang tanpa substansi yang jelas,
minim dialog dan scoring pengiring sehingga lebih banyak suasana sunyi, shot
over shoulder (juga untuk memberikan kesan realistis), hingga dominasi long
atau medium shot statis (mungkin maksudnya untuk memberikan kesan realis, tapi
harus mengkompensasi tereduksinya ekspresi dan emosi aktor, yang tentu saja
akan mempengaruhi emosi penonton juga). Sedikit bedanya, kali ini Anggi tak
terlalu banyak bermain-main dengan metafora simbol-simbol yang terlalu rumit
untuk di-‘baca’. Lebih straight-forward, mungkin karena ini berdasarkan kisah
nyata dimana kronologis tetap menjadi hal yang penting. Absennya metafora
simbol-simbol di sini bisa jadi kekuatan sekaligus kelemahan bagi IKK. Mungkin
ia bisa lebih accessible untuk range penonton yang lebih luas, tapi pada
akhirnya turut mengurangi impact dari keseluruhan film. Kesunyian yang menjadi
salah satu treatment khas Anggi pun kali ini
terasa hanya sekedar bentuk ekspresinya semata, bukan kebutuhan film. Saya
membayangkan jika banyak long take yang dipangkas sesuai kebutuhan, mungkin
durasi keseluruhan IKK bisa mencapai sekitar 60 menit tanpa mengurangi
esensi-esensinya.
Mungkin ada penonton yang merasakan atmosfer
teror yang luar biasa dari kesunyian ini (entah bagaimana hingar-bingarnya kehidupan
sehari-hari penonton seperti ini, sampai-sampai dengan nuansa kesunyian seperti
di sini saja bisa merasakan teror), tapi tidak berhasil untuk saya. Selain
kesunyian, tak ada dukungan elemen lain yang memberi kekuatan atmosfer teror.
Bukan akting para aktornya (kecuali penampilan Arswendi Nasution yang menurut
saya paling lumayan membangun ketegangan, kendati kemudian ternyata tak terjadi
apa-apa), bukan dialog yang membangun ketegangan, bukan juga scoring yang
nyatanya memang absen.
Jika dianalisis, IKK sebenarnya terbagi dalam
beberapa fase secara kronologis. Dimulai dari pelarian Wiji Thukul ke Pontianak
yang dibantu rekan-rekannya, kemudian fase menghadapi kemungkinan
ancaman-ancaman dari kehadiran aparat, dilanjutkan fase Wiji Thukul yang
akhirnya memberanikan diri keluar ke muka umum, entah karena sudah jengah dalam
persembunyian hingga sudah tak peduli lagi dengan kehadiran ancaman dari
aparat, hingga terakhir, kerinduan terhadap istri dan anaknya. Kesemuanya
dibuka sekaligus ditutup dengan kehadiran sang istri, Sipon yang sebenarnya
menarik jika mau dijadikan sebagai story-device (apalagi dibawakan dengan
sangat baik oleh Marissa Anita. Malah penampilan paling berkesan dibanding
aktor-aktris lainnya di sini, termasuk Gunawan Maryanto, pemeran sosok Wiji
Thukul sendiri). Sayang, kehadiran Sipon seolah hanya menjadi salah satu
komponen dari cerita saja. Selebihnya hanya fase-fase kronologis tanpa ada
transisi antar fase yang cukup representatif untuk menyatukan antar komponen,
dengan bombardir gugatan-gugatan terhadap sosok ABRI (sekarang TNI) yang
sebenarnya tergolong cliché dan sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat umum
Indonesia, terutama yang sempat mengalami era Orde Baru. Misalnya ketika ada
tentara yang dengan seenaknya minta potong rambut gratisan dan sesosok pria
gila yang gagal menjadi tentara karena sang ayah melarang dengan alasan takut
dijadikan alat perang semata. Mungkin ini untuk memberikan gambaran bagaimana
sosok ABRI di era Orde Baru. Alih-alih memberikan gambaran dengan poin-poin penting
terhadap sosok Wiji Thukul, IKK justru terkesan terlalu sibuk menggugat (baca:
mengolok-olok) ABRI. Jika IKK dimaksudkan untuk generasi milenial yang tidak
sempat mengalami era Orde Baru, perlu riset yang lebih mendalam apakah
treatment seperti ini bisa membuat mereka lebih peduli? Lantas bentuk
kepedulian dari generasi milenial seperti apa yang diharapkan? Jika tidak, IKK
hanya akan menjadi sekedar pengingat tentang kondisi iklim demokrasi di
Indonesia era Orde Baru, dengan segala opresi-opresinya.
Sebenarnya setelah first viewing, saya sempat
mencari-cari tahu review berbagai media, mungkin saja ada aspek-aspek yang
luput dari perhatian saya hingga membuat saya tidak bisa mendapatkan kesan
seperti halnya kebanyakan media yang begitu mengagung-agungkan IKK. Bahkan saya menyempatkan untuk menyaksikan kedua kalinya di layar lebar. Ternyata
apa yang saya temukan tidak lah berbeda dengan apa yang mereka temukan.
Bedanya, di mata saya semua yang media anggap istimewa, biasa saja di mata saya
(dan saya yakin, saya bukanlah satu-satunya yang merasakan demikian). Bahkan
ada media yang menyarankan penonton mencari tahu sebanyak-banyaknya info
tentang sosok Wiji Thukul sebelum menonton IKK karena ia memang tak memberikan
banyak informasi tentang sang subjek. Saya pun lantas berpikir, untuk apalagi
menonton IKK jika saya sudah punya bekal yang cukup tentang sosok Wiji Thukul?
Hanya untuk mengetahui atau merasakan kembali nuansa opresif Orde Baru? Saya
sudah pernah melaluinya dan apa yang digambarkan IKK masih jauh dibandingkan,
let’s say Marsinah (Cry Justice), apalagi Pengkhianatan G-30S/PKI (dalam membangun
nuansa terornya ya, terlepas dari content-nya yang kini lebih dianggap sebagai
propaganda semata). Sorry to say, meski saya menyukai beberapa line di film,
secara keseluruhan IKK terasa lebih banyak kosong, tak memberikan apa-apa bagi
saya. Bahkan mungkin sekedar etalase ekspresi berkarya Yosep Anggi Noen lainnya dengan menggunakan frame sosok sepopuler Wiji Thukul semata. Well, that’s
from my point of view. If the movie worked on you, lucky you then. If not, that's okay. You're definitely not alone.
Lihat data film ini di http://filmindonesia.or.id/