1.5/5
Hollywood
Horror
Indie
occultism ritual
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Unspoken
Trend film horror ternyata masih dengan formula ‘baru pindah
ke sebuah rumah yang dikenal punya cerita masa lalu kelam’ dan ‘aliran sesat’. The Unspoken, sebuah film horror indie
yang ditulis dan disutradarai oleh Sheldon Wilson, adalah salah satunya. Saking
indie-nya, bahkan cast yang digunakan pun tak terlalu populer. Hanya ada nama
Jodelle Ferland (masih ingat cewek cilik tak berbibir di poster Silent Hill, Bree di The Twilight Saga atau Patience di The Cabin in the Woods?), Anthony
Konechny (Sam di X-Men: Apocalypse dan
Paul di Fifty Shades of Grey), dan
yang paling familiar bagi saya, Neal McDonough (Dave dari serial Desperate Housewives). Namun setidaknya The Unspoken ini masih punya poster dan
trailer yang ‘menjanjikan’. Kendati secara tertulis produksi 2015, The Unspoken baru rilis Oktober 2016 lalu di Amerika Serikat. Sementara kita di Indonesia bisa menyaksikannya di bioskop mulai 4 Januari 2017 di bawah bendera Moxienotion (yang artinya hanya tayang di bioskop-bioskop non-XXI).
Tahun 1997 lalu, keluarga Anderson mendadak menghilang secara
misterius di rumah mereka sendiri yang sejak itu berjuluk Briar House dan
dijauhi oleh warga sekitar. Tujuh belas tahun kemudian, seorang gadis yang
kerap mengambil kerja sambilan sebagai pengasuh anak di sebuah day care, Angela,
mendapatkan tawaran di Briar House. Mengabaikan larangan dari sang ayah dan
sahabatnya, Pandy, Angela mengambil tawaran tersebut. Awalnya tak ada yang aneh
dengan Jeanie, single mom yang baru pindah ke Briar House bersama putra semata
wayangnya, Adrian, yang berhenti berbicara sejak sang ayah meninggal. Namun
sejak satu per satu kejadian aneh terjadi di Briar House, Angela penasaran
untuk mengulik lebih lanjut misteri yang selama ini beredar di sekitarnya. Di
saat yang bersamaan, geng pria seumuran Angela mengincar Briar House karena
selama ini mereka ternyata menyimpan rahasia di rumah tersebut.
Formula yang sudah terlalu familiar cenderung ke usang
sebenarnya sah-sah saja selama masih digarap dengan treatment yang setidaknya
bikin horornya berhasil. Sayangnya, The
Unspoken bukanlah salah satunya. Alih-alih mengembangkan plot dengan
investigasi yang membuka selubung misteri perlahan hingga revealing yang
mengejutkan (tentu juga harus konsisten dengan setup-setup yang sudah dibangun
pula), satu jam pertama diisi oleh jumpscare-jumpscare usang dengan timing dan
camera work yang masih sering meleset pula. Sementara ‘in-between’ jumpscare
diisi oleh adegan-adegan (penjelasan yang ternyata tak terlalu penting pula)
yang berjalan lambat dan sunyi. Sub-plot tentang hubungan antara Angela dan
Pandy yang awalnya bisa jadi bumbu atau malah bisa jadi setup cerita yang
menarik, ternyata tak dikembangkan ke mana-mana. Berakhir sebagai
‘sensation-seeker’ yang gagal dipedulikan penonton. Begitu pula sub-plot geng
Luther yang ternyata tak memberikan kontribusi apa-apa selain ‘menambah
korban’. In my opinion, sub-plot-sub-plot ini berpotensi dikembangkan, bahkan
digabungkan menjadi satu racikan yang jauh lebih solid, serta menjadikannya
horror dengan variasi yang berbeda. Sayangnya, kapasitas Sheldon selaku penulis
naskah maupun sutradara masih belum mampu melakukannya. Satu hal paling menarik
adalah ending yang menggiring penonton ke persepsi ‘jahil’ bahwa ini adalah
prekuel dari salah satu franchise horror legendaris yang diangkat dari kisah
nyata.
Penampilan aktor-aktris di The
Unspoken sebenarnya tak buruk-buruk amat, tapi gara-gara penulisan karakter
yang terkesan asal, bakat serta effort mereka pun jadi mubazir. Jodelle Ferland
sebagai Angela bisa jadi young lead yang menjanjikan jika naskahnya dikerjakan
dengan jauh lebih baik. Begitu pula Chanelle Peloso sebagai Pandy, Pascale
Hutton sebagai Jeanie, dan Anthony Konechny sebagai Luther, yang terasa sekali
berupaya tampil semaksimal mungkin tapi masih belum berhasil to steal it. Sunny
Suljic sebagai the strange boy, Adrian, punya kekuatan kharisma yang setara,
let’s say, dengan pemeran-pemeran Damien Omen, for instance. Kemisteriusan
wajah didukung ekspresi yang menebar teror, menjadikannya aktor cilik dengan
potensi besar. Terakhir, yang paling ‘berpengalaman’ dan tampil paling natural
adalah Neal McDonough sebagai Officer Bower. Sayang, (lagi-lagi) karakternya
teramat sangat under-developed sehingga membuat karakternya terkesan numpang
lewat saja.
Produksi indie bukanlah alasan untuk dukungan teknis yang
kurang maksimal. Cukup banyak produksi indie yang berhasil ‘mengakali’ teknis
sehingga tetap memberikan efek sesuai kebutuhan treatment film. Secara
keseluruhan, teknis The Unspoken
masih terasa layak, tapi untuk menghadirkan nuansa yang dibutuhkan, kesemuanya
masih jauh dari berhasil. Mulai dari camera work Eric J. Goldstein yang bahkan
masih gagal mengeksekusi jumpscare-jumpscare generiknya, sampai editing Tony
Dean Smith yang tak banyak membantu memperbaiki segalanya. Desain produksi Rick
Whitfield dan timnya pun tak tampak terlalu istimewa meski masih dalam golongan
‘aman’. Scoring music Matthew Rogers juga terdengar terlalu generik di
genrenya.
Dari premise-nya, The
Unspoken memang terasa bak sekedar memadu-padankan berbagai formula generik
di genre horror yang sedang trend (dan hampir basi, sebenarnya). Ada
potensi-potensi konsep keseluruhan yang menarik. Sayangnya Sheldon belum mampu
merangkainya jadi satu kesatuan yang solid dengan bangunan plot yang
berkembang, koheren, serta solid. Hasil akhirnya, lebih banyak jumpscare usang
yang diulang-ulang dan dengan timing yang masih sering meleset pula. Sungguh
sayang sekali. Namun jika Anda penggemar genre horror yang sekedar mencari
tontonan pengisi waktu luang, bolehlah dicoba tanpa ekspektasi apa-apa. It won’t
hurt a lot if you’ve already known that it’s that bad, will it?
Lihat data film ini di IMDb.