3/5
Based on a Short Story
Hollywood
Horror
Indie
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
urban legend
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Bye Bye Man
Mitos dan kutukan rupanya masih menjadi tema horor yang
menarik untuk dikembangkan. Tak terkecuali di tengah trend horor yang sedang
condong ke arah eksorsisme dan elemen-elemen relijius seperti The Conjuring dan Insidious. Bagi saya pribadi, ada kerinduan tersendiri akan horor
yang dibangun berdasarkan misteri mitos (baik yang memang sudah ada sejak dulu
maupun karangan baru). Ingat bagaimana video kutukan Sadako di franchise The Ring atau potongan-potongan film di Sinister, atau tiap kali mendengar nama Candyman disebut, mampu mengundang rasa
ketakutan tersendiri. Marc D. Evans dan Trevor Macy melalui Intrrepid Pictures yang
pernah memproduksi Oculus,
menggandeng STX Entertainment untuk mempersembahkan horror yang dikembangkan
dari kutukan dan mitos, The Bye Bye Man
(TBBM). Bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Stacy Title, sementara naskah
adaptasi dari cerpen The Bridge to Body
Island karya Robert Damon Schneck, dikerjakan oleh sang suami, Jonathan
Penner. Keduanya sempat diganjar nominasi Oscar tahun 1994 untuk film pendek Down on the Waterfront. Dengan statusnya
sebagai film horor indie berbudget rendah, TBBM menampilkan aktor Douglas Smith
(yang pernah kita lihat di Ouija, Terminator Genisys dan upcoming, Miss Sloane), Lucien Laviscount (serial Scream Queens), dan yang paling menarik,
Carrie-Anne Moss (masih ingat Trinity dari
trilogi The Matrix?) serta aktris
veteran, Faye Dunaway. Beruntung kita di Indonesia mendapatkan kesempatan
menyaksikannya di layar lebar berbarengan dengan jadwal rilis di Amerika
Serikat, 13 Januari 2017, berkat Feat Pictures selaku distributor.
Elliott yang masih duduk di bangku kuliah memutuskan keluar
dari asrama kampus dan menyewa sebuah rumah tua untuk tinggal bersama sang
kekasih, Sasha, dan sahabatnya sejak kecil, John. Semuanya tampak baik-baik
saja hingga mereka menemukan sebuah meja rias dengan ukiran tulisan “don’t say
it, don’t think it, bye bye man” dan sekeping koin yang sering muncul secara
misterius. Hawa aneh juga dirasakan Sasha, tapi Elliott yang selalu realistis
selalu mengabaikannya. Peringatan dari teman Sasha yang punya indera keenam,
Kim, pun tak diindahkan. Sampai Elliott yang awalnya mencurigai ada affair
antara Sasha dan John, mulai mengendus ada yang tidak beres yang membuat mereka
bertiga melihat hal yang tidak ada dan tak melihat yang sebenarnya terjadi.
Penyelidikannya membawa ke kejadian era 60-an lalu tentang sosok misterius
bernama Bye Bye Man.
Seperti kebanyakan horor bertemakan kutukan dan mitos misteri,
TBBM sebenarnya punya gabungan formula yang sangat menarik, yaitu Candyman + Oculus. Apalagi saking berbahayanya mitos ini sehingga membuat
informasinya pun dibuat seminim mungkin. Ini bisa jadi memperkuat nuansa misteri
dan ketegangan bila dikembangkan dengan baik. Sebaliknya, jika tak tahu bagaimana
meng-handle-nya dengan baik, film akan terasa clueless mau dibawa ke arah mana.
Sayangnya, TBBM masih berada di tengah-tengahnya. Pada akhirnya ia memang mampu
menyampaikan penjelasan kepada penonton tentang mitos dan misterinya. Elemen
kecurigaan Elliott akan affair dari Sasha dan John sebagai setup pun sebenarnya
menarik. Namun masih terasa pula kebingungan bagaimana menyampaikannya dengan
susunan yang baik, mudah dipahami, serta visualisasi yang tepat guna. Alhasil
tak heran jika masih ditemukan momen-momen off di tengah-tengah bagian hingga
akhirnya mulai me-reveal misterinya. Stacy Title pun tampaknya masih kurang
mampu menyusun nuansa creepy dan menegangkan di berbagai kesempatan, meski
sudah punya sense of jumpscare timing yang tepat hingga berhasil membuat saya
tergelak dari bangku, bahkan berkali-kali mengumpat. Untungnya lagi, ia mampu
memberikan konklusi yang cukup memuaskan di genre dan temanya meskipun sudah
tergolong formulaic.
Sebenarnya tak ada yang benar-benar istimewa dari penampilan aktor-aktrisnya.
Toh memang tak dibutuhkan kapasitas akting khusus. Setidaknya Doulgas Smith
sebagai Elliott, Lucien Laviscount sebagai John, dan Cressida Bonas sebagai
Sasha masih membangun chemistry asmara dan persahabatan yang cukup meyakinkan,
apalagi karena memang dimanfaatkan sebagai pondasi pengembangan cerita.
Penampilan pemeran-pemeran pendukung, seperti Jenna Kanell sebagai Kim, Michael
Trucco sebagai Virgil, dan Cleo King sebagai Mrs. Watkins, cukup memberikan
impresi yang layak. Namun tentu saja yang paling mencuri perhatian adalah
Carrie-Anne Moss sebagai Detektif Shaw, Faye Dunaway sebagai Nyonya Redmon,
Doug Jones sebagai sosok Bye Bye Man, dan tak boleh dilupakan Erica Tremblay
(iya, ia adik Jacob Tremblay!) sebagai si cilik Alice.
Meski tergolong indie dan low budget, TBBM punya kualitas
teknis yang masih tergolong layak dan di banyak kesempatan mampu mendukung
kebutuhan-kebutuhannya sebagai sebuah sajian horor. Misalnya sinematografi
James Kniest yang mampu mengeksplorasi momen-momen horornya (termasuk
jumpscare) menjadi cukup efektif. Tentu saja editing Ken Blackwell juga punya andil peran yang tak kalah
pentingnya. Desain produksi Jennifer Spence cukup membangun nuansa ngeri
kendati desain sosok Bye Bye Man sendiri sebenarnya masih bisa jauh lebih
mengerikan dan ‘meneror’ (saya membayangkan seandainya dibuat selevel sosok Sinister). Scoring musik dari The Newton
Brothers masih menghadirkan level yang setara dengan scoring Ouija dan Oculus. Tak terlalu istimewa ataupun memorable, tapi lebih dari
cukup dalam mendukung momen-momen menegangkan. Sound design juga memberikan
dukungan yang efektif, terutama dalam menghadirkan jumpscare-jumpscare yang
berhasil, sekaligus pembagian kanal surround yang cukup termanfaatkan.
TBBM memang punya gabungan formula premise yang menarik.
Sayangnya dikembangkan dengan treatment yang masih jauh dari kategori baik.
Masih bisa jauh lebih padat, dengan visualisasi yang lebih efektif dan
pembangunan nuansa eerie yang lebih terasa pekat. Namun setidaknya TBBM masih punya
jumpscare-jumpscare yang berhasil. Memang masih belum mampu menjadi sajian
horor yang remarkable (padahal potensinya cukup besar) dan akan Anda ingat
dalam jangka waktu yang lama, tapi sebagai sajian horor ringan di saat tak ada
pilihan tontonan lain yang menarik perhatian Anda, ia masih sangat layak dan
enjoyable. Apalagi jika Anda termasuk penggemar horor, TBBM menurut saya sayang
untuk dilewatkan begitu saja.
Lihat data film ini di IMDb.