5/5
Awards winner
Drama
Hollywood
music
Musical
Oscar 2017
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
La La Land
Musikal mungkin bukan genre yang populer di Indonesia. Bahkan
bisa jadi genre yang paling tak diminati. Entah kenapa banyak penonton kita
yang geli sendiri tiap kali nonton film yang dialognya dinyanyikan. Padahal
film musikal, seperti halnya pertunjukan drama panggung, adalah seni
pertunjukan yang berkelas di banyak negara, dan film musikal terus diproduksi
kendati secara kuantitas tak banyak. Akhir tahun 2016 ini kita disuguhi film
musikal dari sutradara muda, Damien Chazelle, yang sukses besar, baik secara
komersial maupun di berbagai ajang penghargaan bergengsi, lewat Whiplash. Jika Whiplash menyuguhkan permainan drum, maka di film bertajuk La La Land (LLL), penonton akan dibawa
pada nuansa jazz murni yang mengalun lembut nan indah. Istilah La La Land sebenarnya merujuk pada Los
Angeles yang disingkat jadi LA sekaligus ungkapan ‘tak terjangkau’ dari tanah
Hollywood yang ‘menjual’ mimpi. Dengan nomor-nomor musikal yang benar-benar
baru (bukan berasal dari lagu-lagu populer maupun drama panggung musikal), konsep
LLL sejatinya sudah ada di dalam benak Chazelle sejak 2009 lalu. Namun karena
namanya kala itu belum dikenal dan resiko tak diterima penonton yang besar
karena pure jazz sudah dianggap punah, maka baru setelah kesuksesan Whiplash proyek ini akhirnya bisa
terwujud. Menyandingkan (kembali) Emma Stone dan Ryan Gosling (setelah di Gangster Squad dan Crazy, Stupid, Love), upaya ‘beresiko’ Chazelle ini terbukti
disambut hangat, bahkan sudah menyapu bersih tujuh penghargaan Golden Globes
2017 dari semua nominasi yang diraih. Ini merupakan rekor sepanjang masa,
mengalahkan One Flew Over the Cuckoo’s
Nest (1975) yang menyapu bersih enam kategori, dan Midnight Express (1978) yang membawa pulang lima dari tujuh
nominasi Golden Globes.
Mia adalah seorang barista di sebuah café di dalam kompleks
studio Hollywood yang mengejar mimpi sebagai seorang aktris selama
bertahun-tahun. Sebuah pertemuan tak terduga (dan sebenarnya tak mengenakkan
juga) dengan seorang pria bernama Sebastian membuat Mia jadi penasaran. Pasalnya
mereka jadi sering tak sengaja bertemu di berbagai kesempatan. Sayangnya,
keduanya saling menjaga gengsi untuk saling jatuh hati. Serupa dengan Mia,
Sebastian adalah seorang pianis yang harus ‘melacur’, memaikan piano tanpa
perhatian dari pengunjung sebuah restoran, demi mewujudkan ambisinya untuk
membuka bar jazz yang memainkan jazz murni, bukan fusion. Bukan mimpi yang
mudah, karena jazz murni sudah dianggap punah dan tak punya peminat selain kaum
lanjut usia. Seiring dengan waktu, Mia dan Sebastian jadi saling dukung untuk
menggapai mimpinya. Namun ketika masing-masing mimpi mulai menemukan titik
terang, mereka jadi tak punya waktu lagi untuk bersama-sama hingga berujung
saling menyalahkan. Dilematis antara pilihan mimpi dan asmara menjadi penentu
masa depan Mia dan Sebastian.
Secara garis besar, LLL sebenarnya menawarkan kisah klasik
menggapai mimpi di ‘tanah terjanji’, Hollywood, Los Angeles. Sejak awal sejarah
Hollywood, kisah seperti ini sudah ‘menginspirasi’ sekaligus ‘mematahkan hati’
banyak sekali ‘umat’. Namun yang menjadi istimewa adalah bagaimana Chazelle
menerjemahkannya menjadi sebuah sajian musikal yang mengalun bak musik jazz
murni yang menenangkan dan indah. Ia membawa alur LLL selaras dengan alunan
musiknya. Semua dengan presisi yang luar biasa tepat. Terasa sekali kesemua
elemennya; mulai pergerakan kamera Linus Sandgren (bahkan menggunakan aspect ratio
2.55:1 yang merupakan ukuran pertama format CinemaScope di era 50’an!), gerakan
aktor-aktris, termasuk koreografi Mandy Moore (bukan penyanyi era 90’an itu.
Yang ini koreografer Dancing with the
Stars dan berbagai proyek bergengsi lainnya), editing Tom Cross, hingga
scoring music Justin Hurwitz, tertata dan terencana menjadi satu kesatuan yang
luar biasa padu.
Ada cukup banyak tribute yang terasa di sini, terutama
film-film musikal klasik era 50-60’an seperti Dancin’ in the Rain, West
Side Story, dan tentu saja yang paling dominan, film musikal Perancis, Les parapluies de Cherbourg. Tak
ketinggalan pula referensi pada Casablanca
dan Rebel Without a Cause yang
semakin memperkuat nuansa era keemasan tersebut, meski settingnya sendiri
adalah masa kini. Mungkin saja ini seperti menegaskan bahwa sesuatu yang klasik
masih bisa relevan dan berpadu dengan kondisi zaman kapan pun.
Tak hanya unggul di tampilan audio-visual, naskah LLL pun
dikerjakan dengan tak main-main. Selain tema dilematis mimpi-asmara yang begitu
bold disampaikan, hingga membuat penonton merenungkan sekaligus turut merasakan
secara mendalam, ada pula unsur kompromi antara hal-hal yang dianggap
ketinggalan jaman dengan ‘kekinian’ agar bisa tetap survive, yang juga sama
kuatnya disampaikan, tanpa kesan saling tumpah-tindih sama sekali.
Chemistry Emma Stone sebagai Mia dan Ryan Gosling sebagai
Sebastian adalah nyawa utama dari LLL. Berkat penampilan (sekaligus chemistry)
yang luar biasa, LLL menjadi kisah cinta yang manis sekaligus pahit, dreamy
sekaligus realistis. Effort mereka untuk menampilkan tap-dance dan membawakan
nomor-nomor musikal juga patut mendapatkan kredit tambahan. Terutama Ryan
Gosling yang benar-benar memainkan piano dengan jemarinya sendiri. Penampilan
John Legend sebagai Keith mungkin mampu menyemarakkan film, kendati performanya
masih jauh dari kesan cukup powerful di porsinya. Di lini pendukung meski
porsinya tergolong amat sedikit, tapi cukup noticeable. Seperti J.K. Simmons
sebagai Bill dan Tom Everett Scott sebagai David.
Selain sinematografi Linus Sandgreen yang minim cut (ada cukup
banyak long-take yang mengundang decak kagum) dan editing Tom Cross yang
menggunakan banyak teknik transisi klasik, terutama ‘iris’, yang memperkuat
nuansa retro, desain produksi David Wasco, artistik Austin Gorg, set dekorasi
Sandy Reynolds-Wasco, dan desain kostum Mary Zophres (terutama kostum para
aktris), masing-masing menyumbangkan kontribusi yang tak kalah pentingnya.
Sound design pun tertata dengan keseimbangan yang luar biasa, antara musik,
dialog, dan sound effect. Semua terdengar mantap lewat kanal 7.1 (sayang, taka
da versi Dolby Atmos yang masuk Indonesia).
Tak mudah membuat film musikal dari materi yang benar-benar
asli, bukan adaptasi dari pertunjukan drama panggung musikal maupun materi
lainnya. Namun Chazelle lewat LLL sekali lagi menunjukkan sensitivitas dalam
memasukkan unsur musik dalam sajian audio-visual yang luar biasa. Didukung
naskah yang tergarap bold dalam mengangkat tema-tema pentingnya, performa
aktor-aktris yang luar biasa, nomor-nomor musikal yang terus-terusan mengalun
dalam memori untuk jangka waktu yang lama, serta teknis yang serba kuat dalam
mendukung nuansa sekaligus menghanyutkan penonton, LLL adalah sajian film
musikal terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Ia mengalir dengan keselarasan
luar biasa bak alunan jazz yang lembut, tapi sesekali bisa mengejutkan. Sayang
jika melewatkan untuk dialami di layar lebar dengan fasilitas audio mumpuni.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Actor in a Leading Role - Ryan Gosling
- Actress in a Leading Role - Emma Stone
- Cinematography - Linus Sandgren
- Costume Design - Mary Zophres
- Directing - Damien Chazelle
- Film Editing - Tom Cross
- Music (Original Score) - Justin Hurwitz
- Music (Original Song) - Audition (The Fools Who Dream)
- Music (Original Song) - City of Stars
- Best Picture
- Production Design - David Wasco (Production Design) and Sandy Reynolds-Wasco (Set Decoration)
- Sound Editing - Ai-Ling Lee and Mildred Iatrou Morgan
- Sound Mixing - Andy Nelson, Ai-Ling Lee and Steve A. Morrow
- Writing (Original Screenplay) - Damien Chazelle