The Jose Flash Review
Railroad Tigers
[铁道飞虎]

Bagi banyak aktor, usia mungkin menjadi kendala yang membuat karir jadi meredup, apalagi di genre action. Namun beberapa aktor membuktikan bahwa tidak semuanya mengalami hal serupa. Jackie Chan adalah salah satu figur aktor Asia yang layak untuk mewakilinya. Setelah sukses di Hollywood, Chan terus mengekspansi reputasinya di perfilman internasional lewat PH yang didirikannya, Sparkle Roll Media. Setelah tahun 2015 lalu memproduksi film Mandarin dengan budget tertinggi sepanjang masa, Dragon Blade (konon mencapai US$ 65 juta dan menghasilkan hingga lebih dari US$ 123 juta di seluruh dunia), akhir tahun 2016 ini ia merilis Railroad Tigers (RT) yang tak kalah ambisius-nya. Bahkan di tahun 2017 ini, Chan sudah mempersiapkan perilisan 5 film sekaligus, termasuk 3 di antaranya diproduksi di bawah Sparkle Roll Media, yaitu Kung-Fu Yoga, Viy 2 (Journey to China: Mystery of Iron Mask), dan Bleeding Steel. Chan kembali menggandeng Ding Sheng sebagai sutradara, penulis naskah (bersama He Keke), sekaligus editor, setelah berkolaborasi di Little Big Soldier (2010) dan Police Story: Lockdown (2013). Di lini aktor, ada personel EXO, Huang Zitao, Hiroyuki Ikeuchi (Ip Man), Zhang Lanxin (Chinese Zodiac, Skiptrace), bintang Taiwan, Darren Wang, Wang Kai, Zhang Yishang, dan bahkan putra kandung Chan sendiri yang beberapa bulan lalu pernah tersandung kasus narkoba, Jaycee Lee.

Bersetting tahun 1941, Ma Yuan, kepala porter di sebuah stasiun kereta api, bersama geng yang terdiri dari para petugas stasiun, sehari-hari merampok kereta api yang lewat sebagai pekerjaan tambahan. Nasib mereka berubah ketika tiba-tiba muncul Daguo, seorang prajurit satuan Eighth Route Army yang terluka dan meminta bantuan mereka melanjutkan misi tersebut. Awalnya Ma Yuan berniat hanya mengantarkan Daguo agar bisa melanjutkan misinya, yaitu meledakkan kereta api berisi supply persenjataan Jepang yang sedang menduduki Cina, di sebuah jembatan. Namun kenyataan mengharuskan Ma Yuan dan gengnya untuk menggantikan peran Daguo, menjalankan misi tersebut. Bagi Ma Yuan, inilah kesempatan untuk melakukan hal besar setelah selama ini profesinya sebagai perampok kereta api diremehkan oleh banyak pihak. Bukan misi yang mudah bagi mereka yang minim pengalaman. Apalagi di kubu prajurit Jepang ada Ken Yamaguchi dan Yuko yang dikenal brutal.
Dari premise-nya yang mengikuti trend suicidal mission by a bunch of inexperienced men (Suicide Squad, dan terakhir, Rogue One: a Star Wars Story), RT memang tak benar-benar orisinil, tapi penonton bisa langsung membayangkan seseru apa jadinya. Ya, plot RT dijalankan dengan formula film-film aksi-komedi khas Jackie Chan sejak awal karirnya, terutama di era keemasan 80’an. Aksi martial art, seperti biasa, ditata dengan apik dan mampu mengundang momen-momen komedik yang berhasil menghibur (baik guyonan yang bersifat situasional, slapstick, sampai yang memplesetkan bahasa Jepang dengan bahasa Cina), tapi tetap mampu menghadirkan ketegangan yang konsisten di banyak kesempatan.
Perkenalan karakter freezed-frame a la Guy Ritchie (yang diadopsi oleh Anggy Umbara di franchise Comic 8) sebenarnya makin mempertegas energi dinamis yang diusung film sepanjang film. Awalnya saya merasa terlalu banyak karakter yang diperkenalkan, apalagi bagi saya yang susah menghafal nama Cina dan mengingat wajah Oriental (tak bermaksud rasis, tapi memang ada dan cukup banyak orang yang seperti ini). Ditambah editing cut-to-cut super cepat hingga berganti shot tiap 2-5 detik, yang berpotensi membuat penonton bingung mengikuti detail adegan. Saya pun mulai tak menghiraukannya.
Ternyata plot yang berjalan lewat judul-judul bab seperti film-film Quentin Tarantino ini berhasil saya pahami tanpa ada kendala ‘mengenali karakter’ satu per satu. Ini karena memang tak semua karakter diberi porsi yang sama penting dalam cerita. Toh masing-masing karakter bisa dikenali lewat perannya dalam plot, tak peduli Anda mengingat namanya atau tidak. Lagipula RT adalah tipe film yang meletakkan plot dan excitement visual sebagai komoditas utama, bukan karakter-karakter, termasuk perkembangan-perkembangannya. Itulah sebabnya RT mengeliminasi sebanyak mungkin potensi luapan-luapan emosi yang mungkin bisa melemahkan energi cerita. Bagi banyak penonton (terutama dari kalangan kritikus) ini mungkin jadi minus besar. Namun bagi penonton awam, apalagi yang memang menonton film-film Chan untuk menemukan elemen-elemen hiburan khasnya, RT adalah sajian yang sangat menghibur, yang sudah cukup lama tak dihadirkan Chan di film-filmnya (dalam level setinggi ini). Predikat Buster Keaton (aktor era film bisu legendaris yang populer sebagai aktor komedi fisik) dari Asia dengan aksi seni beladirinya layak kembali diteruskan olehnya lewat RT.
Jackie Chan seperti biasa, memberikan performa kharismatik yang paling kuat sepanjang film. Mungkin aksinya tak se-powerful era 70-80’an, tapi tetap memberikan excitement yang cukup, baik dari segi aksi maupun komedik, di sepanjang film. Di lini pemeran pendukung pun tampil cukup memorable di balik porsi masing-masing, seperti Huang Zitao sebagai Dahai, Darren Wang sebagai Daguo, Zhang Yishang sebagai putri Ma Yuan, Sang Ping sebagai Da Qui, Alan Ng sebagai Xiao Qi, dan Xu Fan sebagai Ma Yuan’s sweetheart yang cukup menonjol tapi sayangnya tak diberi porsi lebih di akhir. Tak boleh dilupakan pula penampilan Jaycee Lee, putra kandung Jackie Chan, yang porsinya memang tak banyak tapi punya momen tersendiri bersama sang ayah yang cukup menggelitik karena guyonan kemiripan fisik mereka. Namun above all, penampilan Wang Kai sebagai Fan Chuan yang misterius tapi punya kharisma kuat, Hiroyuki Ikeuchi sebagai Yamaguchi, serta femme fatale, Zhang Lanxin sebagai Yuko, adalah yang paling mencuri perhatian saya sepanjang durasinya yang cukup panjang, yaitu 124 menit.
Editing cut-to-cut cepat yang dilakukan Ding Sheng sendiri menjadi kekuatan sekaligus kelemahan bagi RT. Kekuatannya, mampu menjaga energi film yang dinamis sepanjang film. Kelemahannya, ada banyak detail adegan yang mungkin kurang nyaman (dan kurang jelas) dinikmati beberapa penonton sekaligus emosi-emosi antar karakter yang terleliminasi secara cukup masif. Namun secara keseluruhan, RT masih menyuguhkan adegan-adegan aksi-komedi yang efektif untuk menghibur, membuat penonton tertawa terbahak-bahak sambil berdebar-debar, dan geregetan. Sinematografi Ding Yu mampu merekam set piece terlihat benar-benar megah dan sinematis, serta mampu menerjemahkan detail adegan dengan jelas, termasuk timing-timing komedik yang serba tepat.  Masih ada CGI yang masih kurang realistis terutama di klimaks, tapi berkat pace dan detail adegannya yang seru cukup mampu mengalihkan perhatian, membuatnya masih acceptable. Scoring music yang menggabungkan orchestra Barat dengan ornamen-ornamen oriental tradisional memberikan nafas yang tepat guna, seperti ketegangan yang gripping sekaligus playful, hingga victorious moment. Sementara sound design berhasil makin memperkuat feel grande yang sudah diberikan tampilan visualnya.
Seperti kebanyakan film Jackie Chan, terutama di era keemasan 70-80’an, RT berhasil menjadi hiburan ringan blockbuster yang terkesan megah, lewat petualangan ‘besar’ dari orang-orang kecil, dengan racikan action-comedy khas Jackie Chan yang sudah punya fanbase sangat besar di seluruh dunia. Seperti biasa pula, RT bisa jadi pilihan tontonan bersama seluruh anggota keluarga di masa liburan, kendati body count-nya cukup tinggi dan memuat adegan-adegan sadis yang untungnya kebanyakan ditampilkan off-screen (atau setidaknya, tidak terlalu eksplisit). Lupakan sejenak perkembangan karakter dan potensi emosi yang diminimalisir. Just enjoy the ride to the fullest! 
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.