The Jose Flash Review
The Great Wall
[长城]

Geliat perfilman Cina yang makin membabi buta membuat raksasa Hollywood pun mau tak mau melirik potensi mereka. Tak hanya sebagai potensi penonton yang bahkan melebihi pasar domestik mereka sendiri, tapi juga soal pendanaan dan tenaga kerja yang juga tak kalah bersaing. Apalagi Cina menetapkan aturan kuota investasi dan/atau tenaga kerja lokal bagi film-film asing yang ingin masuk ke pasar mereka. Salah satunya adalah Legendary Pictures yang kerap memproduksi film-film bertemakan fantasi (dan juga sebagian besar sahamnya kini sudah di tangan Wanda Group, raksasa bisnis asal Cina), memprakarsai ide mengangkat legenda di balik salah satu dari tujuh keajaiban dunia, The Great Wall. Ada banyak versi kisah di baliknya, tapi mereka memilih legenda fantasi fiktif tentang makhluk monster bernama Taotie pada masa Dinasti Song.

Sutradara dengan reputasi berkelas, Zhang Yimou yang sudah mendulang sukses di perfilman Cina lewat Road Home, Hero, House of the Flying Dagger, Curse of the Golden Flower, dan The Flowers of War, ditunjuk untuk duduk di bangku sutradara, dengan naskah yang disusun oleh Tony Gilroy (franchise Jason Bourne dan terakhir, Rogue One: a Star Wars Story), Doug Miro, dan Carlo Bernard (keduanya penyusun naskah Prince of Persia dan The Sorcerer’s Apprentice), berdasarkan ide cerita Edward Zwick, Max Brooks, dan Marshall Herskovitz. Budgetnya tak main-main, US$ 135 juta dengan dukungan visual effect sekelas Weta Workshop dan ILM. Kendati mayoritas cast berasal dari Cina, tapi keberadaan aktor Hollywood, Matt Damon, yang dipasang sebagai komoditas utama di berbagai materi promosi sempat mendapatkan kecaman dari banyak pihak. Tuduhan mengagung-agungkan bangsa Barat di tengah kisah dan cast Cina merebak. Yimou menanggapi bahwa keterlibatan Matt Damon memang diperlukan sesuai kebutuhan cerita, bukan semata-mata mem-bule-kan karakter yang aslinya berasal dari Cina. Sementara dari jajaran aktor-aktris Cina, ada Jing Tian, Andy Lau, Eddie Peng, dan personel boyband EXO-M, Lu Han. Dengan ambisi serta daya tarik sebesar itu, diharapkan The Great Wall (TGW) bisa jadi fenomena box office, setidaknya di pasar domestik Cina dan Amerika Serikat yang jadi target utama.
Pada masa Dinasti Song, lima orang dari kelompok bayaran Eropa yang sedang memburu bubuk hitam dikejar-kejar oleh kawanan bandit Khitan. Dalam persembunyian itu mereka diserang oleh sesosok monster misterius. Meski berhasil memenggal tangan si monster, hanya tersisa William dan Tovar yang selamat. Ketika hendak memasuki Tembok Besar Cina, keduanya ditangkap oleh pasukan yang dipimpin oleh Jendral Shao, Jendral Lin, dan penyusun strategi Wang. Mereka terkejut dengan penggalan tangan monster yang mereka bawa. Ternyata tangan tersebut milik monster berjulukan Taotie yang dipercaya akan menyerang tiap enam puluh tahun sekali dan saat ini pasukan mereka sedang bersiaga menghadapi datangnya siklus tersebut.
Benar saja, tak lama kemudian segerombolan Taotie menyerang dan membuat pasukan mereka yang secara jumlah serta persiapan tergolong mumpuni pun kewalahan. William pun turun tangan untuk membantu dengan skill-nya sebagai pemanah jitu. Di sisi lain, Tovar memilih untuk melarikan diri bersama bubuk hitam yang mereka temukan di balik dinding Tembok Raksasa bersama Ballard, seorang Barat yang sudah menjadi tawanan selama puluhan tahun sekaligus menjadi guru Bahasa Inggris bagi petinggi-petinggi Cina. William berada di persimpangan moral, antara membantu para jendral dan pasukannya menghabisi Taotie atau kabur bersama Tovar dan Ballard, tanpa mempedulikan nasib rakyat Cina.
Dari premise-nya, TGW jelas bermain dengan formula generik di genrenya. Tak ada yang salah. Apalagi meski tak banyak punya perkembangan karakter ataupun hubungan antar-karakter yang benar-benar tergarap solid, setidaknya masih ada konsep filosofis tentang apa yang lebih penting dalam hidup, yang membuat seseorang menjadi sosok terhormat, yang ternyata disampaikan dengan cukup konsisten lewat plot dan straight to the point secara verbal. Konsep penggabungan filosofi dan strategi Timur dengan ilmu pengetahuan Barat menjadi sebuah sinergi yang baik untuk menghadapi musuh pun ditampilkan dengan cukup seimbang dan sederhana, tanpa ide yang rumit atau muluk-muluk. Menjadikan TGW accessible bagi penonton terawam sekalipun. Sayangnya, ia juga mengeliminir potensi-potensi emosi yang ada, hingga kematian karakter-karakter yang seharusnya bisa dianggap penting menjadi lewat begitu saja tanpa kesan berarti. Namun melihat dari porsi karakter sebelum dimatikan  memang tak begitu punya kesan besar terhadap penonton, saya berkesimpulan TGW sengaja dikonsep untuk tidak menjadi sajian yang emosional.
Namun kekuatan sekaligus yang menjadi komoditas utama TGW adalah tampilan adegan aksinya yang spektakuler. Tak hanya bermodalkan tampilan visual CGI yang memanjakan mata, setara kualitas franchise The Lord of the Rings, tapi juga kepiawaian Yimou dalam menggarap tiap detail adegan aksinya dengan set skill storytelling yang mumpuni. Jelas dan berhasil mengajak penonton seolah benar-benar ikut bertualang lewat sudut pandang yang diambil. Menjadikan durasi yang mencapai 104 menit begitu padat dan tak terasa berlalu, kendati tak punya banyak perkembangan maupun kedalaman cerita yang berarti. That’s not an easy job to do, but Yimou did it. Again.
Penampilan Matt Damon di sini mungkin bukan yang terkuat ataupun terbaik. Toh, memang tak benar-benar dibutuhkan di sini. Namun kharismanya sebagai lead character, William, masih dengan mudah menjadi perhatian utama penonton. Jing Tian sebagai Jendral Lin tampil mencuri perhatian sebagai satu-satunya karakter wanita, dengan porsi peran yang cukup penting dan banyak pula. Zhang Hanyu sebagai Jendral Shao, Eddie Peng sebagai Jendral Wu, dan Willem Dafoe sebagai Ballard tak punya banyak kesempatan untuk menarik perhatian penonton. Andy Lau sebagai penyusun strategi Wang dan Lu Han sebagai Peng Yong diberi porsi tersendiri karena popularitas masing-masing sebagai daya tarik bagi penonton. Mungkin tak terlalu penting, tapi cukup noticeable. Pedro Pascal yang mengingatkan saya akan gesture Antonio Banderas, cukup memberikan penyegaran lewat karakter joker, Tovar.
Selain visual effect yang mumpuni, teknis TGW pun tergarap dengan sangat serius dan megah. Mulai sinematografi Stuart Dryburgh yang mampu menampilkan kesan kemegahan secara maksimal dari desain produksi John Myhre, sekaligus mampu bercerita dengan efektif, editing Mary Jo Markey dan Craig Wood yang menjaga pace sesuai dengan porsi tiap momentum serta menjaga energi adventurous sepanjang film, serta scoring music dari Ramin Djawadi yang mendukung ke-epic-an adegan-adegan dengan fusi ornamen-ornamen oriental. Efek 3D tak terlalu punya pengaruh banyak, terutama dari segi depth of field ataupun gimmick pop-out, tapi cukup banyak momen dengan trick-eye yang memberikan efek seolah-olah pop-out. Beberapa kali berhasil membuat saya tergelak, menutup mata, atau menghindari layar gara-gara ‘tipuan’ ini. Sound design juga terdengar mantap dan bombastis, dengan detail pembagian kanal surround yang dimanfaatkan maksimal.
Bagi Anda yang mengharapkan plot dengan pengembangan dan/atau kedalaman lebih seperti kebanyakan film Yimou sebelumnya, TGW mungkin akan mengecewakan. Juga jika Anda mengharapkan akan mendapatkan jawaban atas detail sejarah pembangunan Tembok Besar Cina, karena TGW hanya menjadikannya sebagai latar belakang cerita semata. Namun jika Anda mengharapkan sajian adventure seru dan megah a la Blockbuster Hollywood, TGW was a great pleasure. A great visual spectacle. Jaw-dropping and breathtaking. Experience it in the largest screen with the latest audio support possible, especially in IMAX 3D!
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.