3.5/5
3D
Action
Adventure
Asia
Based on a Legend
Blockbuster
Box Office
China
Hollywood
IMAX
Monster
Mythology
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Great Wall
[长城]
Geliat perfilman Cina yang makin membabi buta membuat raksasa
Hollywood pun mau tak mau melirik potensi mereka. Tak hanya sebagai potensi
penonton yang bahkan melebihi pasar domestik mereka sendiri, tapi juga soal
pendanaan dan tenaga kerja yang juga tak kalah bersaing. Apalagi Cina
menetapkan aturan kuota investasi dan/atau tenaga kerja lokal bagi film-film
asing yang ingin masuk ke pasar mereka. Salah satunya adalah Legendary Pictures
yang kerap memproduksi film-film bertemakan fantasi (dan juga sebagian besar
sahamnya kini sudah di tangan Wanda Group, raksasa bisnis asal Cina),
memprakarsai ide mengangkat legenda di balik salah satu dari tujuh keajaiban
dunia, The Great Wall. Ada banyak versi kisah di baliknya, tapi mereka memilih
legenda fantasi fiktif tentang makhluk monster bernama Taotie pada masa Dinasti
Song.
Sutradara dengan reputasi berkelas, Zhang Yimou yang sudah
mendulang sukses di perfilman Cina lewat Road
Home, Hero, House of the Flying Dagger, Curse
of the Golden Flower, dan The Flowers
of War, ditunjuk untuk duduk di bangku sutradara, dengan naskah yang
disusun oleh Tony Gilroy (franchise Jason
Bourne dan terakhir, Rogue One: a
Star Wars Story), Doug Miro, dan Carlo Bernard (keduanya penyusun naskah Prince of Persia dan The Sorcerer’s Apprentice), berdasarkan
ide cerita Edward Zwick, Max Brooks, dan Marshall Herskovitz. Budgetnya tak
main-main, US$ 135 juta dengan dukungan visual effect sekelas Weta Workshop dan
ILM. Kendati mayoritas cast berasal dari Cina, tapi keberadaan aktor Hollywood,
Matt Damon, yang dipasang sebagai komoditas utama di berbagai materi promosi
sempat mendapatkan kecaman dari banyak pihak. Tuduhan mengagung-agungkan bangsa
Barat di tengah kisah dan cast Cina merebak. Yimou menanggapi bahwa
keterlibatan Matt Damon memang diperlukan sesuai kebutuhan cerita, bukan
semata-mata mem-bule-kan karakter yang aslinya berasal dari Cina. Sementara
dari jajaran aktor-aktris Cina, ada Jing Tian, Andy Lau, Eddie Peng, dan
personel boyband EXO-M, Lu Han. Dengan ambisi serta daya tarik sebesar itu,
diharapkan The Great Wall (TGW) bisa
jadi fenomena box office, setidaknya di pasar domestik Cina dan Amerika Serikat
yang jadi target utama.
Pada masa Dinasti Song, lima orang dari kelompok bayaran Eropa
yang sedang memburu bubuk hitam dikejar-kejar oleh kawanan bandit Khitan. Dalam
persembunyian itu mereka diserang oleh sesosok monster misterius. Meski
berhasil memenggal tangan si monster, hanya tersisa William dan Tovar yang
selamat. Ketika hendak memasuki Tembok Besar Cina, keduanya ditangkap oleh
pasukan yang dipimpin oleh Jendral Shao, Jendral Lin, dan penyusun strategi
Wang. Mereka terkejut dengan penggalan tangan monster yang mereka bawa.
Ternyata tangan tersebut milik monster berjulukan Taotie yang dipercaya akan
menyerang tiap enam puluh tahun sekali dan saat ini pasukan mereka sedang
bersiaga menghadapi datangnya siklus tersebut.
Benar saja, tak lama kemudian segerombolan Taotie menyerang
dan membuat pasukan mereka yang secara jumlah serta persiapan tergolong mumpuni
pun kewalahan. William pun turun tangan untuk membantu dengan skill-nya sebagai
pemanah jitu. Di sisi lain, Tovar memilih untuk melarikan diri bersama bubuk
hitam yang mereka temukan di balik dinding Tembok Raksasa bersama Ballard,
seorang Barat yang sudah menjadi tawanan selama puluhan tahun sekaligus menjadi
guru Bahasa Inggris bagi petinggi-petinggi Cina. William berada di persimpangan
moral, antara membantu para jendral dan pasukannya menghabisi Taotie atau kabur
bersama Tovar dan Ballard, tanpa mempedulikan nasib rakyat Cina.
Dari premise-nya, TGW jelas bermain dengan formula generik di
genrenya. Tak ada yang salah. Apalagi meski tak banyak punya perkembangan
karakter ataupun hubungan antar-karakter yang benar-benar tergarap solid,
setidaknya masih ada konsep filosofis tentang apa yang lebih penting dalam
hidup, yang membuat seseorang menjadi sosok terhormat, yang ternyata
disampaikan dengan cukup konsisten lewat plot dan straight to the point secara
verbal. Konsep penggabungan filosofi dan strategi Timur dengan ilmu pengetahuan
Barat menjadi sebuah sinergi yang baik untuk menghadapi musuh pun ditampilkan
dengan cukup seimbang dan sederhana, tanpa ide yang rumit atau muluk-muluk.
Menjadikan TGW accessible bagi penonton terawam sekalipun. Sayangnya, ia juga
mengeliminir potensi-potensi emosi yang ada, hingga kematian karakter-karakter
yang seharusnya bisa dianggap penting menjadi lewat begitu saja tanpa kesan
berarti. Namun melihat dari porsi karakter sebelum dimatikan memang tak begitu punya kesan besar terhadap
penonton, saya berkesimpulan TGW sengaja dikonsep untuk tidak menjadi sajian
yang emosional.
Namun kekuatan sekaligus yang menjadi komoditas utama TGW
adalah tampilan adegan aksinya yang spektakuler. Tak hanya bermodalkan tampilan
visual CGI yang memanjakan mata, setara kualitas franchise The Lord of the Rings, tapi juga kepiawaian Yimou dalam menggarap
tiap detail adegan aksinya dengan set skill storytelling yang mumpuni. Jelas
dan berhasil mengajak penonton seolah benar-benar ikut bertualang lewat sudut
pandang yang diambil. Menjadikan durasi yang mencapai 104 menit begitu padat
dan tak terasa berlalu, kendati tak punya banyak perkembangan maupun kedalaman
cerita yang berarti. That’s not an easy job to do, but Yimou did it. Again.
Penampilan Matt Damon di sini mungkin bukan yang terkuat
ataupun terbaik. Toh, memang tak benar-benar dibutuhkan di sini. Namun
kharismanya sebagai lead character, William, masih dengan mudah menjadi
perhatian utama penonton. Jing Tian sebagai Jendral Lin tampil mencuri
perhatian sebagai satu-satunya karakter wanita, dengan porsi peran yang cukup
penting dan banyak pula. Zhang Hanyu sebagai Jendral Shao, Eddie Peng sebagai
Jendral Wu, dan Willem Dafoe sebagai Ballard tak punya banyak kesempatan untuk
menarik perhatian penonton. Andy Lau sebagai penyusun strategi Wang dan Lu Han
sebagai Peng Yong diberi porsi tersendiri karena popularitas masing-masing
sebagai daya tarik bagi penonton. Mungkin tak terlalu penting, tapi cukup
noticeable. Pedro Pascal yang mengingatkan saya akan gesture Antonio Banderas,
cukup memberikan penyegaran lewat karakter joker, Tovar.
Selain visual effect yang mumpuni, teknis TGW pun tergarap
dengan sangat serius dan megah. Mulai sinematografi Stuart Dryburgh yang mampu
menampilkan kesan kemegahan secara maksimal dari desain produksi John Myhre,
sekaligus mampu bercerita dengan efektif, editing Mary Jo Markey dan Craig Wood
yang menjaga pace sesuai dengan porsi tiap momentum serta menjaga energi
adventurous sepanjang film, serta scoring music dari Ramin Djawadi yang mendukung
ke-epic-an adegan-adegan dengan fusi ornamen-ornamen oriental. Efek 3D tak
terlalu punya pengaruh banyak, terutama dari segi depth of field ataupun
gimmick pop-out, tapi cukup banyak momen dengan trick-eye yang memberikan efek
seolah-olah pop-out. Beberapa kali berhasil membuat saya tergelak, menutup
mata, atau menghindari layar gara-gara ‘tipuan’ ini. Sound design juga
terdengar mantap dan bombastis, dengan detail pembagian kanal surround yang
dimanfaatkan maksimal.
Bagi Anda yang mengharapkan plot dengan pengembangan dan/atau
kedalaman lebih seperti kebanyakan film Yimou sebelumnya, TGW mungkin akan
mengecewakan. Juga jika Anda mengharapkan akan mendapatkan jawaban atas detail
sejarah pembangunan Tembok Besar Cina, karena TGW hanya menjadikannya sebagai
latar belakang cerita semata. Namun jika Anda mengharapkan sajian adventure
seru dan megah a la Blockbuster Hollywood, TGW was a great pleasure. A great
visual spectacle. Jaw-dropping and breathtaking. Experience it in the largest screen with the latest audio support possible, especially in IMAX 3D!
Lihat data film ini di IMDb.