The Jose Flash Review
Patriots Day

Mengangkat tema tragedi nyata ke medium film bukanlah pekerjaan yang mudah. Perlu ekstra hati-hati karena punya sensitivitas yang tinggi, terutama bagi orang-orang yang terlibat langsung. Tak heran jika banyak film bertemakan real event tragedy menggunakan pendekatan humanity dan menunggu kejelasan vonis peradilannya atau rentang waktu healing yang lebih lama lagi. Tragedi bom marathon Boston pada April 2013 lalu yang menewaskan tiga jiwa dan ratusan korban cidera berat, mungkin masih belum begitu lama terjadi. Namun rupanya semangat warga Boston yang untuk menyebarkan kasih dan keberanian membuatnya tak butuh waktu lama menyetujui pengangkatan kisah tersebut ke format film. Tak tanggung-tanggung, di tahun yang sama (2017) sudah ada tiga film yang mengambil tema tragedi tersebut. Selain Patriots Day (PD) yang digarap oleh Peter Berg (Friday Night Lights, The Kingdom, Lone Survivor, Deepwater Horizon) yang dirilis Januari 2017 ini, masih ada Stronger, besutan David Gordon Green dengan bintang Jake Gyllenhaal dan Miranda Richardson, serta Boston Strong yang rencananya disutradarai oleh Daniel Espinosa. Sambil menunggu dan membandingkan ketiganya, kita nikmati dulu versi Peter Berg yang menandai kolaborasi ketiga bersama Mark Wahlberg setelah Lone Survivor dan Deepwater Horizon).
Beberapa jam sebelum perhelatan tahunan Boston Marathon, warga tampak menjalani hidup seperti biasa. Sedikit lebih semangat dengan adanya perhelatan besar tersebut. Di antaranya Sersan Tommy Saunders yang dikenal pernah menyerang polisi lain ketika bertugas, pasangan muda Patrick-Jessica, seorang opsir polisi muda, Sean Collier, yang sedang PDKT dengan mahasiswi asal Cina, Li, dan Dun Meng, seorang mahasiswa pertukaran dari Cina. Namun ada juga Tamerlan Tsarnaev dan adiknya, Dzokhar yang merencanakan sebuah serangan bom tepat di garis finish Boston Marathon. Ketika bom meledak, satuan kepolisian Boston, termasuk Tommy, harus mengalah karena diambil alih oleh FBI yang dipimpin agen spesial Rick Deslauriers. Awalnya ia marah karena FBI lebih mengutamakan investigasi ketimbang evakuasi korban terlebih dahulu. Hingga akhirnya karena hafal betul tiap sudut Boston, ia memutuskan untuk bekerja sama membantu penyelidikan demi menemukan siapa dalang di balik serangan bom.
PD membuka cerita dengan keseharian sebelum tragedi terjadi. Bukan sesuatu yang baru mengingat hampir semua film bertemakan serupa menggunakan formla ini, terutama sebagai character investments sehingga kelak pasca main event mampu mengundang simpati penonton. Saya pun sempat mengira ia akan menggunakan treatment dan approaching kebanyakan tema sejenis, yaitu aspek kemanusiaan. Memang ada aspek kemanusiaan yang dimasukkan, tapi ternyata ia menempatkan intensitas hampir di setiap momen penting sebagai sajian utamanya. Mulai ketegangan menantikan detik-detik sebelum peledakan yang bisa terjadi kapan saja, dimana para karakternya bisa sedang melakukan apapun, hingga ketika investigasi pencarian pelaku, kendati sejak awal pelakunya sudah ditunjukkan secara terang-terangan tapi tindak-tanduknya bisa ‘meledak-ledak’ kapan saja. Kesemuanya disusun dengan skill thrill-building Berg yang luar biasa mencekam dan memacu adrenaline. Tak jarang saya harus memincingkan mata atau tergelak dari seat.
Penggunaan karakter tertentu sebagai penggerak cerita agaknya bukan menjadi fokus PD. Ini terbukti dengan tak dominannya karakter yang dipilih sebagai sosok sentral, Tommy Saunders di tiap adegan. Kronologi cerita adalah penggeraknya. Ada kalanya penonton diajak melihat kejadian dari sudut pandang Sean Collier, Dun Meng, atau bahkan Tsarnaev serta Dzokhar sendiri. PD tak berusaha pula untuk menggali karakter-karakter ini terlalu mendalam dengan penjelasan motif-motif tertentu. Ia cukup memposisikan karakter-karakter ini pada situasional yang bisa terjadi pada siapa saja untuk membangun ketegangannya. Ini bisa dianggap sebagai kelemahan, terutama dalam konsistensi sudut pandang dan karakterisasi, tapi juga bisa menjadi kekuatan tersendiri, terutama untuk menjaga netralitas cerita tanpa menghilangkan potensi tiap emosi yang ada. Ketika semua berakhir, PD memberikan footage-footage yang meng-highlight konklusi tentang kasih dan keberanian (terutama warga Boston) dalam menanggapi tragedi. Dengan pondasi cerita yang demikan menegangkan, bukan melodramatis berlebih, konklusi ini terasa begitu kuat untuk menyebarkan semangat keberanian. Bagi saya, ini adalah impresi yang sedikit berbeda dalam memandang suatu peristiwa tragedi ketimbang kebanyakan tema serupa. In a much better and stronger way, of course.
Karena treatment storytelling yang lebih ke kronologis ketimbang karakter, penampilan aktor-aktrisnya menjadi sedikit terbatasi. Namun bukan alasan untuk tak mampu memberikan impresi kepada penonton. Mark Wahlberg sebagai Tommy Saunders punya tingkat impresi paling besar, terutama karena sosok ‘meledak-ledak’ yang rasional dan terasa natural. John Goodman sebagai Komisioner Ed Davis, J.K. Simmons sebagai Sersan Jeffrey Pugliese, dan Kevin Bacon sebagai Richard DesLauriers, cukup noticeable dalam mengisi peran sesuai porsi masing-masing. Alex Wolff sebagai Dzhokhar dan Themo Melikidze sebagai Tamerlan pun jadi perhatian yang layak dalam mengisi perannya. Melissa Benoist sebagai Katherine Russell dan Khandi Alexander sebagai Veronica punya momen yang menjadi salah satu paling kuat sepanjang film. Sebagai Carol Saunders, Michelle Monaghan mampu menjalin chemistry yang cukup dengan Wahlberg. Di deretan pendukung lainnya, Christopher O’Shea sebagai Patrick, Rachel Brosnahan sebagai Jessica, Jake Picking sebagai Sean Collier, dan Jimmy O. Yang sebagai Dun Meng, pun punya momen-momen tersendiri yang cukup mengesankan.
Hampir keseluruhan teknis PD mendukung penuh konsep thrilling investigation vs terror. Mulai sinematografi Tobias A. Schliessler yang meski banyak melibatkan shaky-cam untuk memberikan kesan nyata, tapi masih sangat nyaman dan jelas untuk diikuti. Begitu juga editing Gabriel Fleming dan Colby Parker Jr. yang menyusun gambar-gambar dengan rapih sehingga detail adegan bisa diikuti dengan jelas sekaligus membangun intensitas lewat pace dan timing yang serba tepat. Scoring music dari Trent Reznor dan Atticus Ross yang sangat haunting dan mencekam memperkuat nuansa-nuansa ketegangan di hampir sepanjang film, tanpa melupakan melodi menyentuh ketika dibutuhkan.  Sound design pun patut mendapatkan kredit tersendiri lewat suara-suara efek seperti ledakan dan tembakan menjadi salah satu kekuatan ketegangannya. Terdengar sangat crisp, tapi tetap jernih, serta dengan keseimbangan antar elemen suara yang terjaga, termasuk pembagian kanal untuk fasilitas surround 7.1.
Dengan pendekatan action-thriller yang menghibur tanpa meninggalkan esensi-esensi kemanusiaan, terutama dalam menyuarakan keberanian melawan teror, PD menjadi sajian yang mengesankan. Tak ada kesan eksploitatif dari treatment-nya. Justru impresi dari konklusinya menjadi lebih terasa kuat menancap lewat pengalaman yang disajikan bagi penonton sejak awal film. Sayang rasanya jika tidak dialami dan diresapi lewat layar lebar dengan tata suara yang mumpuni.
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.