4/5
Action
Based on a True Event
Crime
Drama
History
Hollywood
Humanity
Investigation
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Patriots Day
Mengangkat tema tragedi nyata ke medium film bukanlah pekerjaan yang mudah.
Perlu ekstra hati-hati karena punya sensitivitas yang tinggi, terutama bagi
orang-orang yang terlibat langsung. Tak heran jika banyak film bertemakan real
event tragedy menggunakan pendekatan humanity dan menunggu kejelasan vonis
peradilannya atau rentang waktu healing yang lebih lama lagi. Tragedi bom
marathon Boston pada April 2013 lalu yang menewaskan tiga jiwa dan ratusan
korban cidera berat, mungkin masih belum begitu lama terjadi. Namun rupanya
semangat warga Boston yang untuk menyebarkan kasih dan keberanian membuatnya
tak butuh waktu lama menyetujui pengangkatan kisah tersebut ke format film. Tak
tanggung-tanggung, di tahun yang sama (2017) sudah ada tiga film yang mengambil
tema tragedi tersebut. Selain Patriots
Day (PD) yang digarap oleh Peter Berg (Friday
Night Lights, The Kingdom, Lone Survivor, Deepwater Horizon) yang dirilis Januari 2017 ini, masih ada Stronger, besutan David Gordon Green
dengan bintang Jake Gyllenhaal dan Miranda Richardson, serta Boston Strong yang rencananya
disutradarai oleh Daniel Espinosa. Sambil menunggu dan membandingkan ketiganya,
kita nikmati dulu versi Peter Berg yang menandai kolaborasi ketiga bersama Mark
Wahlberg setelah Lone Survivor dan Deepwater Horizon).
PD membuka cerita dengan keseharian sebelum tragedi terjadi.
Bukan sesuatu yang baru mengingat hampir semua film bertemakan serupa
menggunakan formla ini, terutama sebagai character investments sehingga kelak
pasca main event mampu mengundang simpati penonton. Saya pun sempat mengira ia
akan menggunakan treatment dan approaching kebanyakan tema sejenis, yaitu aspek
kemanusiaan. Memang ada aspek kemanusiaan yang dimasukkan, tapi ternyata ia
menempatkan intensitas hampir di setiap momen penting sebagai sajian utamanya.
Mulai ketegangan menantikan detik-detik sebelum peledakan yang bisa terjadi
kapan saja, dimana para karakternya bisa sedang melakukan apapun, hingga ketika
investigasi pencarian pelaku, kendati sejak awal pelakunya sudah ditunjukkan
secara terang-terangan tapi tindak-tanduknya bisa ‘meledak-ledak’ kapan saja.
Kesemuanya disusun dengan skill thrill-building Berg yang luar biasa mencekam
dan memacu adrenaline. Tak jarang saya harus memincingkan mata atau tergelak
dari seat.
Penggunaan karakter tertentu sebagai penggerak cerita agaknya
bukan menjadi fokus PD. Ini terbukti dengan tak dominannya karakter yang
dipilih sebagai sosok sentral, Tommy Saunders di tiap adegan. Kronologi cerita
adalah penggeraknya. Ada kalanya penonton diajak melihat kejadian dari sudut
pandang Sean Collier, Dun Meng, atau bahkan Tsarnaev serta Dzokhar sendiri. PD
tak berusaha pula untuk menggali karakter-karakter ini terlalu mendalam dengan
penjelasan motif-motif tertentu. Ia cukup memposisikan karakter-karakter ini
pada situasional yang bisa terjadi pada siapa saja untuk membangun
ketegangannya. Ini bisa dianggap sebagai kelemahan, terutama dalam konsistensi
sudut pandang dan karakterisasi, tapi juga bisa menjadi kekuatan tersendiri,
terutama untuk menjaga netralitas cerita tanpa menghilangkan potensi tiap emosi
yang ada. Ketika semua berakhir, PD memberikan footage-footage yang
meng-highlight konklusi tentang kasih dan keberanian (terutama warga Boston)
dalam menanggapi tragedi. Dengan pondasi cerita yang demikan menegangkan, bukan
melodramatis berlebih, konklusi ini terasa begitu kuat untuk menyebarkan
semangat keberanian. Bagi saya, ini adalah impresi yang sedikit berbeda dalam
memandang suatu peristiwa tragedi ketimbang kebanyakan tema serupa. In a much
better and stronger way, of course.
Karena treatment storytelling yang lebih ke kronologis
ketimbang karakter, penampilan aktor-aktrisnya menjadi sedikit terbatasi. Namun
bukan alasan untuk tak mampu memberikan impresi kepada penonton. Mark Wahlberg
sebagai Tommy Saunders punya tingkat impresi paling besar, terutama karena sosok
‘meledak-ledak’ yang rasional dan terasa natural. John Goodman sebagai
Komisioner Ed Davis, J.K. Simmons sebagai Sersan Jeffrey Pugliese, dan Kevin
Bacon sebagai Richard DesLauriers, cukup noticeable dalam mengisi peran sesuai
porsi masing-masing. Alex Wolff sebagai Dzhokhar dan Themo Melikidze sebagai
Tamerlan pun jadi perhatian yang layak dalam mengisi perannya. Melissa Benoist
sebagai Katherine Russell dan Khandi Alexander sebagai Veronica punya momen
yang menjadi salah satu paling kuat sepanjang film. Sebagai Carol Saunders,
Michelle Monaghan mampu menjalin chemistry yang cukup dengan Wahlberg. Di
deretan pendukung lainnya, Christopher O’Shea sebagai Patrick, Rachel Brosnahan
sebagai Jessica, Jake Picking sebagai Sean Collier, dan Jimmy O. Yang sebagai
Dun Meng, pun punya momen-momen tersendiri yang cukup mengesankan.
Hampir keseluruhan teknis PD mendukung penuh konsep thrilling
investigation vs terror. Mulai sinematografi Tobias A. Schliessler yang meski
banyak melibatkan shaky-cam untuk memberikan kesan nyata, tapi masih sangat
nyaman dan jelas untuk diikuti. Begitu juga editing Gabriel Fleming dan Colby
Parker Jr. yang menyusun gambar-gambar dengan rapih sehingga detail adegan bisa
diikuti dengan jelas sekaligus membangun intensitas lewat pace dan timing yang
serba tepat. Scoring music dari Trent Reznor dan Atticus Ross yang sangat
haunting dan mencekam memperkuat nuansa-nuansa ketegangan di hampir sepanjang
film, tanpa melupakan melodi menyentuh ketika dibutuhkan. Sound design pun patut mendapatkan kredit
tersendiri lewat suara-suara efek seperti ledakan dan tembakan menjadi salah
satu kekuatan ketegangannya. Terdengar sangat crisp, tapi tetap jernih, serta
dengan keseimbangan antar elemen suara yang terjaga, termasuk pembagian kanal
untuk fasilitas surround 7.1.
Dengan pendekatan action-thriller yang menghibur tanpa
meninggalkan esensi-esensi kemanusiaan, terutama dalam menyuarakan keberanian
melawan teror, PD menjadi sajian yang mengesankan. Tak ada kesan eksploitatif
dari treatment-nya. Justru impresi dari konklusinya menjadi lebih terasa kuat
menancap lewat pengalaman yang disajikan bagi penonton sejak awal film. Sayang
rasanya jika tidak dialami dan diresapi lewat layar lebar dengan tata suara
yang mumpuni.
Lihat data film ini di IMDb.