3.5/5
Based on a True Event
Biography
Drama
Hollywood
Inspirational
Sport
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Bleed for This
Latar belakang olah raga kerap digunakan untuk melahirkan
kisah-kisah inspiratif, baik berdasarkan kisah nyata (biopic) maupun fiktif. Di
ranah ring tinju, terakhir kita disuguhi kembalinya tokoh fiktif legendaris
Rocky yang di-estafet ke putra mantan lawannya di Creed. Di tahun yang sama juga ada Southpaw yang digarap oleh Antoine Fuqua. Sebelumnya sudah cukup
banyak judul yang tergolong notable, seperti Cinderella Man dan Fighter.
Akhir tahun 2016 lalu ada satu film bertema serupa yang menarik karena diangkat
dari kisah nyata kembalinya sosok juara tinju, Vinny Pazienza pasca kecelakaan
yang mengakibatkan tulang belakangnya cidera parah. Film bertajuk Bleed for This (BfT) ini ditangani
(penulis naskah sekaligus sutradara) oleh Ben Younger yang juga menandai come
back-nya setelah Prime tahun 2005
silam. Aktor muda yang 2014 lalu mencuri perhatian lewat Whiplash, Miles Teller, ditunjuk memerankan sosok Vinny. BfT
didukung pula oleh Aaron Eckhart, Ciarán Hinds, dan Katey Sagal. Bukan
merupakan proyek ambisius dengan budget tinggi (‘hanya’ US$ 6 juta), tapi tetap
punya daya tarik tersendiri terutama dari jajaran cast-nya. Di Indonesia, BfT
diimpor oleh Jive! dan siap tayang di bioskop-bioskop non-XXI mulai 1 Februari
2017.
Sejak awal penonton diperkenalkan kepada sosok Vinny, petinju
muda yang sedikit congkak, arogan, dan gemar membual. Bermain-main di kelas
ringan, karirnya nyaris disudahi oleh sang manajer yang melihatnya tak lagi
menaruh hati pada tinju. Namun sang ayah, Angelo, bersikeras bahwa Vinny harus bisa
menjadi juara tinju. Mantan pelatih Mike Tyson yang kini lebih sering
mabuk-mabukan, Kevin Rooney, ditunjuk untuk melatih Vinny. Kevin menganjurkan
Vinny naik tingkatan sesuai dengan berat badannya. Dengan pelatihan dari Kevin,
Vinny berhasil sekali lagi meraih gelar juara di tingkatan yang baru. Namun
puncak karir Vinny terancam ketika tiba-tiba ia mengalami kecelakaan yang
membuat tulang belakangnya cidera. Ia harus mengenakan alat bantu bernama halo
yang di-mur di tengkoraknya selama kurang lebih enam bulan. Resikonya
kemungkinan lumpuh atau lebih fatal lagi, tulang belakangnya hancur. Seluruh
anggota keluarganya khawatir akan kondisi Vinny yang ingin terus melanjutkan
karir di atas ring.
Secara premise, BfT tampak punya potensi yang besar untuk
menjadi drama sport yang menggugah dan (syukur-syukur) inpiratif. Sayangnya,
Ben Younger membawanya dengan treatment standard, tipikal drama sport pada
umumnya. Mulai introduksi, setup, proses struggling, hingga konklusi,
kesemuanya disusun secara linear dengan formula-formula cliché di genrenya. Tak
ada penekanan pada momen-momen emosional
yang (seharusnya bisa) menjadi highlight film. Memang, ada adegan-adegan
tertentu yang membuat saya sempat memicingkan mata, tapi that’s it. Tak ada
kedalaman emosi maupun empati lebih sepanjang film. Alhasil, ya, saya memahami
dengan jelas konklusi apa yang ingin disampaikan oleh film (apalagi juga
disampaikan secara verbal di akhir film), tapi tidak benar-benar merasakan
empati terhadap karakter utama, apalagi merasa terinspirasi.
Untungnya di balik treatment yang sangat standard, formulaic,
dan cliché, BfT masih punya dukungan cast yang terasa sekali memberikan
performa terbaik. Malah menurut saya BfT menjadi semacam etalase kualitas
akting bagi para aktornya. Miles Teller sebagai Vinny mungkin tak tampil sekuat
di Whiplash. Apalagi penokohannya
memang kurang simpatik. Namun upayanya untuk memberikan penampilan terbaik
masih sangat jelas terasa dan terlihat. Yang jadi favorit saya justru Aaron
Eckhart sebagai Kevin Rooney. Tak hanya jauh berbeda dari tipikal karakter yang
ia perankan, Eckhart menunjukkan kedalaman emosi lebih, melebihi porsi yang
diberikan naskah. Pergolakan batin yang dialaminya bisa terbaca dengan jelas
lewat ekspresi wajah dan gesture. Hal yang sama juga diberikan Ciarán Hinds
sebagai Angelo Paz yang mengingatkan saya akan sosok Al Pacino, dan Katey Sagal
sebagai Louise Paz.
Sama seperti treatment filmnya yang sangat biasa saja, teknis
BfT pun tak ada yang benar-benar istimewa. Mulai sinematografi Larkin Seiple
(saya hanya menemukan satu camera-work yang menarik, yaitu ketika kamera
berjalan bak di dalam mobil, kemudian mengikuti Vinny dan Angelo yang keluar
dari mobil dan masuk ke rumah), hingga editing Zachary Stuart-Pontier yang
sekedar membuat laju plotnya berjalan dengan pace yang pas untuk diikuti. Hanya
editing musik yang tiba-tiba di-cut untuk sedikit efek komedik yang berhasil
menarik perhatian saya. Pemilihan soundtrack, khususnya The Stroke dari Billy Squier, Too
Dry to Cry dari Willis Earl Beal, dan nomor-nomor berkarakter kurang lebih
sama, cukup memorable karena terasa menyatu ketika mengiringi
adegan-adegannya. Scoring dari Julia
Holter yang lebih banyak menghadirkan permainan not-not sederhana serta
bunyi-bunyian unik terdengar masih sejalan dengan pilihan-pilihan
soundtrack-nya. And it quite worked. Terakhir sound design tak menyuguhkan
sesuatu yang istimewa. Sekedar layak untuk genre-nya.
Jika Anda tertarik dengan tema maupun premise yang ditawarkan
di materi-materi promonya, BfT tetap akan menjadi sajian yang menarik untuk
diikuti. Sama sekali tak buruk, tapi memang hanya sampai sejauh itu saja
pencapaiannya. Susah untuk memberikan simpati (apalagi maerasakan empati)
kepada karakter-karakternya, terutama Vinny, kendati kita sadar yang dialaminya
tergolong tough. Susah pula merasakan emosi tertentu, misalnya glorious,
kebanggan, apalagi maupun tersentuh dari adegan-adegan yang disuguhkan. Inspirational?
Bisa saja, apalagi dengan bantuan penyampaian konklusi secara verbal di ending.
But as to me, BfT was just another average sport drama about struggle to reach
the top once again. Oh, dengan penampilan aktor-aktornya yang (setidaknya)
menjadi something to see in BfT.
Lihat data film ini di IMDb.