3.5/5
Drama
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Promise
Invasi Screenplay Films dari FTV ke layar lebar agaknya
berjalan sukses. Bagaimana tidak, dari empat film layar lebar yang mereka
produksi pertama, Magic Hour (2015), London Love Story (2016), ILY from 38.000 Ft (2016), dan Headshot (2016), kesemuanya bisa
dibilang sukses. Bahkan dua di antaranya sudah melewati angka satu juta
penonton. Kesuksesan ini tak lepas dari peran sutradara Asep Kusdinar, penulis
naskah Sukhdev Singh dan Tisa TS, serta tentu saja artis-artis eksklusif
mereka, seperti Michelle Ziudith dan Dimas Anggara yang sudah punya massa luar
biasa banyaknya. Dengan kontrak bersama Legacy Pictures yang dimulai sejak ILY from 38.000 Ft lalu, kualitas
production value mereka terasa meningkat dari FTV-ish menjadi lebih sinematis.
Kerjasama keduanya kembali terjalin lewat Promise
yang dibintangi Dimas Anggara bersama Mikha Tambayong, Boy William, dan
pendatang baru yang baru saja kita lihat sekilas di ILY from 38.000 Ft (serta merupakan adik kandung dari Annisa Rawles
yang kita lihat di Single-nya Raditya
Dika), Amanda Rawles. Dengan dream-team dan artis-artis eye-candy dosis
tinggi, Promise di awal tahun 2017
ini sekali lagi mencoba menarik perhatian penonton remaja, terutama yang sudah
menjadi fan setia produksi-produksi mereka.
Meski bersahabat sejak kecil, Aji dan Rahman punya kepribadian
serta kehidupan yang berbeda. Aji dikenal playboy sementara Rahman pemalu untuk
urusan asmara. Maklum, Rahman dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat
beragama. Ketik dewasa, Rahman pindah ke Italia dan bersahabat dengan Moza yang
sebenarnya menaruh hati kepada dirinya. Sayang Rahman seolah tak menggubris
perhatian Moza dan menganggapnya hanya sebagai sahabat. Kemunculan Aji di
Italia dan mengenalkan pacarnya, Kanya, membuat hidup Rahman yang awalnya
baik-baik saja menjadi terusik. Rahman rupanya punya masa lalu dengan Kanya
yang belum terselesaikan. Persahabatan Rahman dan Aji juga terancam.
Bagi yang sudah tahu seperti apa content produksi Screenplay
Films biasanya, tentu tak akan mengerutkan dahi ketika menyaksikan Promise. Ya, ia masih berisi roman
dengan bumbu khas remaja saat ini, mulai friendzone, cinta pertama yang tak
pernah mati, sampai pilihan antara persahabatan dan asmara. Seperti biasa pula,
kesemuanya dibungkus dengan dialog-dialog ‘ajaib’ yang berusaha romantis ala
pujangga, karakter-karakter yang tak kalah ‘ajaib’-nya, serta twist cliché yang
juga terasa kurang relevan dengan kebutuhan cerita. Namun agaknya Promise sudah mulai meminimalisir
‘keajaiban-keajaiban’ yang biasa dihadirkan. Masih cliché, tapi disampaikan
dengan logika-logika yang masih lebih masuk akal (ketimbang produksi-produksi
sebelumnya), meski masih ada satu-dua yang agak ‘ganjil’. Misalnya logika Pak
Haji yang relijius kok malah menikahkan putranya dengan gadis yang gaya
berpakaian sehari-harinya tergolong kelewat seksi, atau bagaimana mungkin
gara-gara kepergok nonton bokep saja bisa langsung dinikahkan. Well, jika kita
terbuka terhadap pola pikir masyarakat desa, bukan tidak mungkin ini terjadi.
Setidaknya, begitu menurut seorang teman yang kebetulan berasal dari pelosok. Speaking
of cheesiness and cliché, setidaknya Promise
sudah beberapa langkah lebih dewasa dan ‘tidak mengganggu’ dari ILY from 38.000 Ft. Karakter Kanya masih
kurang digali lebih dalam, terutama dari segi alasan pilihan sikap serta
transisinya, tapi jika mau menggunakan logika remaja masa kini, ya memang
seperti demikianlah adanya. Setidaknya
saya masih menemukan kedewasaan, misalnya tentang menerima pilihan orang lain
sampai kualitas nilai-nilai dalam pencarian pasangan hidup. Dialog-dialog ‘ajaib’
yang ‘mengganggu’ tergantikan oleh penggunaan kata-kata puitis yang sayang
masih dibawakan dengan biasa saja oleh para aktornya sehingga jatuhnya pun jadi
biasa saja. Secara keseluruhan meski belum sepenuhnya mulus, Promise masih menyajikan arah plot yang
acceptable.
Namun bukan berarti Promise
benar-benar bebas ‘hambatan’. Struktur adegan yang disusun membuat flow plot
secara keseluruhan jadi terasa tersendat-sendat dan lompat-lompat, jika tidak
mau dikatakan tidak utuh. Mungkin susunan ini dimaksudkan untuk memberikan
unsur kejut ke dalam plot (termasuk twist ending yang sudah menjadi ciri khas
produksi Screenplay Films). Sayangnya, upaya ini justru sedikit menciderai
kenikmatan mengikuti plotnya secara runtut, meski bagi penggemar berat produksi
Screnplay justru ditunggu-tunggu dan jadi salah satu nilai jualnya.
Penampilan aktor-aktris yang menghiasi layar memang tak ada
yang benar-benar istimewa. Apalagi mereka membawakan karakter yang biasa-biasa
saja, tapi dengan kapasitas akting yang pas. Misalnya, Dimas Anggara sebagai
Rahman yang pemalu, dibawakan dengan convincing dan pada porsi yang pas.
Sayang, aksen Jawa yang seharusnya menjadi salah satu elemen penting dari
karkaternya masih jauh dari konsisten. Boy William masih memerankan karakter
Aji dengan tipikal yang biasa ia bawakan. Mikha Tambayong sebagai Moza mampu
mencuri perhatian lewat pesona fisik yang makin bersinar terang, ditambah
kharisma performa yang makin kuat, kendati memainkan karakter tipikal pula.
Amanda Rawles sebagai Kanya pun menambah nilai eye-candy bagi film dengan
performa yang cukup layak untuk seorang pendatang baru, selain tentu saja
pesona fisik yang sudah tak perlu diperdebatkan lagi.
Sementara di pemeran pendukung, Surya Saputra sebagai ayah Rahman
yang tampil cukup menarik, apalagi dengan aksen Jawa serta gesture relijius
yang jarang kita lihat dari performanya selama ini. Sementara Mawar Eva De
Jongh sebagai Salsabila dan Ricky Cuaca tak diberi porsi lebih meski cukup
mencuri perhatian. Terakhir, Ira Wibowo, Doni Alamsyah, dan Annisa Hertami tak
lebih dari sekedar ada sebagai syarat semata.
Improvement yang paling kentara dari Promise adalah teknis yang makin sinematis dan memanjakan indera
penglihatan serta pendengaran. Sinematografi Rama Hermawan mempersembahkan
shot-shot dramatis serta sinematis di hampir semua kesempatan, termasuk drone
shot, baik di setting Jogja maupun Italia. Mungkin ketajaman gambar untuk drone
shot masih agak pixelate, tapi setidaknya punya pergerakan yang smooth. Tata
artistik dari Ricardo Marpaung dan Oke Yoga yang warna-warni, begitu memanjakan
mata, terekam kamera dengan sangat maksimal. Tata kostum Aldie Harra wajib
mendapatkan kredit tersendiri karena memang menjadi ‘pencolok’ mata yang paling
memanjakan. Editing Wawan I Wibowo mungkin kebingungan merangkai konsep
struktur susunan adegan agar tetap nyaman diikuti, tapi masih mampu menjaga
pace tiap momennya. Scoring music dari Joseph S Djafar pun makin terdengar
sinematis. Cukup megah, emosional, tanpa kesan dramatis berlebihan ala sinetron
ataupun FTV. Begitu pula theme song dari Melly Goeslaw yang mampu memberi emosi
tersendiri dalam adegan.
Sama seperti produksi-produksi Screenplay Films, seharusnya
Anda sudah punya ekspektasi yang tepat jika ingin menyaksikannya. Setidaknya
bersiap-siap dengan ‘segala kemungkinan’-nya. Dengan demikian bisa jadi Anda
tetap mampu menikmatinya, seperti yang terjadi pada saya. Accept the cheesiness
and the cliché, and just enjoy the flow. Setidaknya, Promise masih mampu membuat saya tersenyum dengan perasaan senang
ketika film berakhir. Tak se-‘mengganggu’ film-film sebelumnya, eye-candy yang
sangat memanjakan mata sepanjang film, dan dengan tingkat kedewasaan yang
sedikit di atas biasanya, Promise
adalah sebuah peningkatan produksi Screenplay Films di banyak aspek.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.