The Jose Flash Review
The Girl on the Train

Misteri pembunuhan adalah salah satu genre novel yang paling digemari. Lewat teks, pembaca bisa berimajinasi setinggi dan seluas-luasnya, pun penulis juga bisa memberikan deskripsi serta detail yang luar biasa dalam mengajak pembacanya ‘bermain-main’. Tak sedikit juga novel misteri pembunuhan best seller yang diangkat ke layar lebar. Di era 2010-an, novel The Girl on the Train (TGotT) karya debut Paula Hawkins sukses menduduki posisi pertama di daftar The New York Times Fiction Best Sellers tahun 2015 selama 13 minggu berturut-turut, dan akhirnya dinobatkan sebagai novel dewasa dengan penjualan tercepat sepanjang sejarah. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai the next Gone Girl, novel misteri psikologis yang sama-sama menggunakan narator yang tak bisa dipercaya, karya Gillian Flynn yang sudah lebih dulu difilmkan oleh David Fincher tahun 2014 lalu.

DreamWorks Pictures tak mau kecolongan. Hak adaptasi filmnya segera dibeli pada Maret 2014. Eric Cressida Wilson (Fur: An Imaginary Portrait of Diane Arbus, Chloe, dan Men, Women & Children) ditunjuk untuk mengadaptasi naskahnya, sementara bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Tate Taylor yang pernah sukses lewat The Help dan biopic James Brown, Get on Up. Aktris Emily Blunt didapuk mengisi peran utama, Rachel, didukung Haley Bennett (masih ingat Mandy di Equalizer dan Emma Cullen di The Maginificent Seven?), Rebecca Ferguson (Ilsa Faust di Mission: Impossible – Rogue Nation),  Chris Evans (Vlad di Dracula Untold dan Owen Shaw di Furious 7) yang konon menggantikan Jared Leto, Justin Theroux, dan Edgar Ramírez.
Cerita bergulir dari sudut pandang tiga orang wanita. Rachel, seorang wanita muda yang tiap hari menggunakan kereta api sebagai moda transportasi dari rumah ke kantor. Dalam perjalanan sehari-hari itu, ia mengamati kehidupan orang-orang yang tinggal di pemukiman dekat rel kereta api. Sepasang suami-istri, Anna dan Tom, yang mana ternyata Tom adalah mantan suami Rachel. Tetangga mereka, pasangan muda, Megan dan Scott. Suatu ketika Rachel mendapati Megan bermesraan bersama pria lain. Keesokan harinya tersiar kabar bahwa Megan hilang tanpa jejak. Rachel yang bersimpati kepada Scott memutuskan untuk menemuinya, mengaku sebagai sahabat Megan, dan mengadukan affair Megan dengan seorang pria yang ternyata terapisnya, Dr. Kamal Abdic. Rachel semakin tenggelam dalam kasus ini hingga tuduhan justru berbalik kepadanya setelah Tom membeberkan bahwa Rachel adalah seorang alkoholik yang tak bisa dipercaya dan telah membohongi Scott. Melalui ingatan yang samar karena pengaruh alkohol, Rachel mencoba mengenali siapa pelaku di balik hilangnya Megan.
Misteri investigasi sebenarnya selalu bisa jadi materi yang menarik untuk menjerat perhatian penonton. Begitu pula dengan TGotT. Sayang, ia punya style penuturan cerita yang cenderung kelam, depresif, lambat, sunyi, dan trippy, sesuai dengan sudut pandang Rachel yang memang alkoholik. Alih-alih mengembangkan plot dengan petunjuk-petunjuk yang mengarahkan pada revealing, TGotT justru lebih menjelma sebagai melodrama depresif dengan fokus pada kondisi psikologis Rachel, kemudian di porsi berikutnya, kondisi psikologis Megan. Memang pada akhirnya kondisi psikologis keduanya punya andil yang cukup besar dalam pengungkapan kasus, tapi dengan dominasi nuansa yang demikian, tentu melemahkan elemen suspense, serta semangat penonton untuk menganalisis. Akhirnya penonton hanya peduli akan siapa pelaku dan apa motifnya, tanpa peduli proses investigasi yang dibangun. Kalau mau jujur, proses pengungkapannya sendiri tergolong come out of nowhere (bayangkan, Rachel yang selama ini samar-samar akan ingatannya sendiri, mendadak jadi crystal clear di klimaks!). Ketika revealing-nya terkuak pun, TGotT semakin mengukuhkan predikatnya sebagai just another typical erotic-thriller yang sempat menjamur di era 80-90’an. Cukup relevan, konsisten secara detail cerita, dan mungkin juga mengejutkan bagi beberapa penonton, tapi tetap saja menimbulkan feel yang mengarah pada kekecewaan, menimbulkan celetukan, “Oh begitu saja toh, ternyata,” dari penonton, setidaknya saya.
Jika nuansa film dan perkembangan plot terasa melemahkan, performa para aktor-aktrisnya, setidaknya masih bisa jadi hiburan tersendiri. Khususnya Emily Blunt sebagai Rachel yang mampu menampilkan kompleksitas karakter yang gamang, insecure, sekaligus curious, dengan seimbang serta cukup konsisten. Haley Bennett sebagai Megan mungkin masih belum memberikan gambaran jelas kepribadiannya yang unik (khususnya haus akan seks dan membenci anak-anak), tapi lebih dari cukup dalam menunjukkan dilematis pribadi yang convincing. Di lini berikutnya, Rebecca Ferguson sebagai Anna, Justin Theroux sebagai Tom, Luke Evans sebagai Scott, dan Edgar Ramírez sebagai Dr. Kamal Abdic memberikan performa suportif sesuai porsi masing-masing.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan sinematografi Charlotte Bruus Christensen yang membuat plotnya mengalun lembut lewat pergerakan kamera sesuai konsep depresif yang ingin dibentuk Taylor, kendati tak sesuai energi investigasi yang bikin penasaran. Tak ada yang salah pula dengan editing Andrew Buckland dan Paul Schnee yang sudah mengikuti nuansa depresif dan lambat, tanpa terkesan terlalu jatuh dalam kebosanan (setidaknya dari kacamata saya). Perpindahan sudut pandang cerita; antara Rachel, Anna, dan Megan, pun disusun dengan struktur yang cukup jelas di balik alur campuran maju-mundur. Scoring music Danny Elfman mungkin terdengar masih sejalan dengan nuansa yang dihadirkan, tapi setidaknya masih sedikit memberikan nyawa sekaligus warna ke dalam sehingga adegan tak jatuh terlampau ‘sunyi’.
Jika Anda belum membaca novelnya dan punya ekspektasi setara Gone Girl, maka dengan mudah TGotT bakal mengecewakan Anda. Namun jika Anda sekedar menginginkan kisah misteri investigatif yang tak membuat Anda berpikir dan menganalisa terlalu serius, serta sedikit bumbu sensual, agaknya ia masih bisa jadi pilihan tontonan yang cukup menarik.
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.