3.5/5
Action
Adventure
Based on a Game
Europe
Franchise
Gore
Hollywood
Horror
Pop-Corn Movie
post apocalypse
SciFi
The Jose Flash Review
violence
Zombie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Resident Evil: The Final Chapter
Di antara anekdot kutukan game yang diangkat ke layar lebar
nyaris mustahil gagal secara komersial dan kualitas (let’s say, gagal memuaskan
penggemar versi game-nya), adaptasi game action-horror-survival keluaran
Capcom, Resident Evil (RE- 2002)
membuktikan bahwa mereka mampu mematahkan kutukan tersebut. Kendati sebagian
besar kritikus menghujani tiap installment dengan kritik pedas dan buruk, angka
box office-nya tak pernah mengecewakan. Bahkan hingga saat ini pendapatan
totalnya dari 6 film nyaris mendekati angka 1 milyar dolar. Padahal per
installment budgetnya rata-rata ‘hanya’ US$ 35-65 juta. However, ketika
pengembangan cerita sudah dianggap mentok dan bertele-tele, menutup keseluruhan
seri adalah keputusan yang paling bijak daripada semakin dijauhi penggemar-penggemarnya
dan merusak keseluruhan franchise. RE yang sudah semakin melelahkan akhirnya
mencapai ‘the final chapter’-nya di installment ke-enam. Perjalanannya ternyata
jauh dari kata mulus. Sempat diumumkan sejak akhir 2012, bahkan sampai seri ketujuh
sekaligus reboot dalam format serial, akhirnya baru terealisasi 2015. Apalagi
ditambah kehamilan anak kedua Milla Jovovich yang mau tak mau membuat jadwal
syuting mundur.
Ketika masa produksi pun, Resident
Evil: The Final Chapter (TFC) diwarnai kecelakaan yang membuat lengan kiri
stunt double Jovovich, Olivia Jackson harus diamputasi, dan bahkan seorang kru
bernama Ricardo Cornelius yang harus mengorbankan nyawanya setelah terlindas
Hummer yang menjadi properti syuting. Ali Larter dari Resident Evil: Afterlife (installment keempat), Iain Glen, dan
Shawn Roberts kembali hadir. Sementara Li Bingbing yang awalnya dikabarkan
kembali mengisi peran Ada Wong batal tampil. However, TFC menjadi penentuan
bagaimana kualitas Paul W. S. Anderson dalam menuliskan naskah sekaligus
membawa keseluruhan konsep universe RE versinya.
Melanjutkan langsung dari ending installment sebelumnya, Resident Evil: Retribution, Alice
terbangun di tengah reruntuhan White House, mendapati dirinya lagi-lagi
dikhianati oleh Albert Wesker. Hologram Red Queen tiba-tiba muncul memberi tahu
bahwa ia harus kembali ke markas The Hive di Racoon City dalam tempo 48 jam
untuk menghentikan Umbrella Corporation yang berniat menyebarkan antivirus
pembunuh organisme apapun yang terjangkit T-virus dan seluruh umat manusia
benar-benar punah dari muka bumi. Maka berangkatlah Alice berpacu dengan waktu.
Alice juga harus berhadapan dengan Dr. Isaacs dan pasukannya yang membuatnya
jadi umpan zombie. Untung saja Alice tak sendiri. Ia mendapatkan bantuan dari
kelompok penyitas yang terdiri dari Doc, Abigail, Christian, Cobalt, Razor, dan
Claire Redfield yang pernah bekerja sama dengannya ketika di Arcadia. Ternyata
Umbrella Corporation menyimpan rencana rahasia besar sedari awal, termasuk
menyangkut identitas Alice sebenarnya.
Setelah semakin lama semakin terasa diulur-ulur atau punya
perkembangan cerita tapi diirit-irit demi kelangsungan installment franchise,
akhirnya TFC menjadi semacam titik terang ke mana arah franchise versi Paul W.
S. Anderson ini menuju. Perkembangan plot di TFC memang tak banyak berarti,
dengan formula yang sangat familiar pula. Kehadiran karakter-karakter baru pun
tak dimanfaatkan sebagai pengembangan yang berarti bagi keseluruhan plot,
selain sekedar ‘the more the merrier’. Namun setidaknya ada revealing dan
konklusi yang memuaskan after all this time. Tak benar-benar original, apalagi
bagi penonton yang familiar dengan tema post-apocalypse beberapa tahun
terakhir, tapi tergolong cukup relevan dengan perkembangan cerita sepanjang
lima installment sebelumnya. Masih mengangkat isu cleansing humanity, bahkan
bawa-bawa metafora Biblical, juga mempertanyakan apa yang membuat seseorang
lebih manusia ketimbang yang lain. Tambahan elemen-elemen disuntikkan ke dalam
konsep setidaknya masih mampu memberikan energi lebih untuk membuat installment
kali ini tetap menarik, yaitu teknologi prediksi aksi dan yang paling memuaskan
tentu saja adegan-adegan menegangkan dari installment pertamanya yang
dihadirkan kembali dengan modifikasi. Tetap mampu memompa adrenaline dengan
konsep life-threatening sekaligus pemicu nostalgia.
Sama seperti installment-installment sebelumnya, ending TFC
pun termasuk menggantung. Bisa ditebak, embel-embel ‘the final chapter’ tentu
tentatif. Jika hasil box office-nya masih menguntungkan, kenapa tidak
dilanjutkan? Well, ending TFC menunjukkan peluang tersebut. Namun jika tidak
dilanjutkan sekalipun, ending TFC sudah cukup memberikan konklusi sekaligus
revealing yang memuskan untuk keseluruhan franchise RE versi Paul W. S. Anderson.
Milla Jovovich masih melanjutkan peran Alice dengan kualitas
yang kurang lebih sama. Tak lebih baik ataupun lebih buruk. Setidaknya
konsistensi karakter masih dijaga dengan baik. Begitu juga Ali Larter sebagai
Claire Redfield yang masih saja tak berfungsi lebih ketimbang di Resident Evil: Afterlife. Penampilan
Ruby Rose yang baru saja mencuri perhatian kita di xXx: Return of Xander Cage, ternyata hanya sekedar numpang lewat
sebagai Abigail. Eoin Macken sebagai Doc, Fraser James sebagai Razor, Willaim Levy
sebagai Christian, Rola sebagai Cobalt, dan aktor muda Korea Selatan, Joon-Gi
Lee, pun nasibnya tak berbeda jauh. Tak punya banyak kesempatan untuk sekedar
menarik perhatian penonton. Mungkin hanya Iain Glen sebagai Dr. Isaacs dan
Shawn Roberts sebagai Wesker yang masih bisa di-‘kenali’ penonton, itu pun
lebih karena character investment di installment-installment sebelumnya.
Sebagai sajian horror-action-adventure, pace yang cepat bisa
mendukung keseruan adegan. Sayangnya treatment yang digunakan TFC terasa kurang
tepat porsi. Sinematografi Glen MacPherson dipadu editing Doobie White yang
ganti shot tiap sedetik membuat banyak detail adegan aksi menjadi samar dan
kurang jelas (termasuk gore yang seringkali terasa ‘kurang sadis’). Belum lagi
kehadirannya yang terus-menerus sempat memberikan efek lelah bagi penonton
untuk mengikuti. Untung saja lama-kelamaan intensitasnya berkurang sehingga
berangsur menjadi lebih nyaman untuk diikuti. Desain produksi Edward Thomas tak
jauh-jauh dari tipikal post-apocalypse akhir-akhir ini, terutama Mad Max: Fury Road, lengkap dengan
hummer. Scoring music dari Paul Haslinger masih menghadirkan elemen-elemen
techno yang masih tergolong selaras dalam mendukung emosi pada adegan- adegan
yang dihadirkan. Sound design tertata cukup pas dengan kebutuhan, termasuk
pembagian kanal surround yang efektif. Tak sampai terdengar dahsyat, tapi masih
sangat layak di genrenya.
Format 4DX menawarkan ‘rasa’ lebih, terutama lewat seat
movement dan wind-water spray yang membuat penonton berkali-kali bak
benar-benar digampar. Namun yang paling membuat saya terkesan adalah efek wind
blows untuk adegan deadly fan. Dari rekomendasi teman-teman, format 3D tak
memberikan kontribusi apa-apa seperti dua installment RE sebelumnya yang memang
di-shot dengan kamera 3D. Kali ini Anderson memilih kamera 2D biasa, kemudian
di-convert ke format 3D. So jika Anda menginginkan pengalaman yang paling
maksimal, I think I’ll recommend the 4DX 2D.
Bagi yang mengikuti franchise RE, TFC jelas menjadi
installment yang pantang untuk dilewatkan. Setidaknya setelah merasa lelah
dengan apa yang terjadi di tiap installment, ia menawarkan revealing sekaligus
konklusi yang memuaskan. Adegan-adegan aksi, termasuk revisit dari installment
pertama, juga menjadi hiburan tersendiri, kendati di beberapa momen terasa
‘kacau’. Saya sendiri tak mengharapkan franchise versi Paul W. S. Anderson akan
dilanjutkan lagi setelah ini. TFC sudah lebih dari cukup untuk menutup
franchise film adaptasi dari game tersukses ini dengan baik dan terhormat.
Lihat data film ini di IMDb.