The Jose Flash Review
A Gift
[Pohn Jak Fah / พรจากฟ้า]

Kepala negara sejatinya menjadi salah satu representasi sebuah negara di mata internasional sekaligus panutan di mata rakyatnya. Tak ada yang salah jika ada kepala negara dengan bakat tertentu menyumbangkan karyanya untuk rakyat. Tak hanya mantan presiden kita, SBY, yang menelurkan album musik, ternyata mendiang raja Thailand, Bhumibol Adulyadej yang mangkat Oktober 2016 silam juga menciptakan puluhan lagu yang dipersembahkan untuk rakyatnya sejak 1946 silam. Total, ia telah menulis 49 komposisi, termasuk mars, waltz, musik patriotic, dan swing jazz. Sebagai sebuah tribute untuk mendiang Sang Raja, GDH (Gross Domestic Happiness) yang baru menelurkan One Day [ดูหนัง Fanday] September 2016 lalu, bekerja sama dengan Singha Corporation memproduksi sebuah omnibus interwoven yang diinspirasi dari tiga lagu gubahan Raja Bhumibol Adulyadej.

Menggandeng sutradara-sutradara yang sudah menelurkan karya box office di negaranya; Chayanop Boonprakob (SuckSeed, May Who?), Kriangkrai Vachiratamporn (versi serial Hormones season 2 dan 3), Nithiwat Tharatorn (My Girl, Seasons Change, Dear Galileo, dan The Teacher’s Diary), dan Jira Maligool (Mekhong Full Moon Party, The Tin Mine, dan Seven Something – segmen 42.195). Aktor-aktris yang didapuk pun tergolong populer, mulai model dan bintang iklan Naphat Siangsomboon, Violette Wautier (Heart Attack, The Swimmers),  Sunny Suwanmethanont (Heart Attack, I Fine… Thank You… Love You, Seven Something), Nittha Jirayungyurn (One Day), Chantavit Dhanasevi (Coming Soon, Hormones, Hello Stranger, ATM, One Day), hingga bintang TV sekaligus penyanyi muda, Nuengthida Sophon alias Noona. Film bertajuk A Gift (พรจากฟ้า) ini di negaranya rilis menjelang perayaan pergantian tahun, sementara kita di Indonesia baru bisa menyaksikannya di layar lebar mulai 11 Januari 2017 karena aturan jeda jadwal rilis film Thailand di pasar domestik dengan negara-negara lain.
Film dibuka dengan pertemuan tak terduga dari Beam dan Pang yang dipasangkan sebagai pengganti suami-istri duta besar Rusia dalam simulasi upacara penyerahan beasiswa. Beam yang flirty mencoba mendekati Pang tapi selalu ditanggapi dengan sinis. Perlahan Beam berhasil mengulik penyebab sikap Pang kepadanya. Ketika mulai nyaman berkomunikasi, Pang bingung untuk membuka diri terhadap Beam yang terkenal playboy atau tidak.
Cerita kedua membidik Fa, seorang wanita muda yang memilih berhenti bekerja untuk merawat ayahnya yang terserang Alzheimer. Kondisi memori sang ayah semakin memburuk ketika sang ibu meninggal duluan, hingga ia putus asa dan merasa tak ada gunanya lagi merawat sang ayah. Tak disangka permainan piano Fa dari lagu Still on My Mind kembali mengembalikan memori sang ayah. Maka ia memutuskan memanggil Aey, seorang tukang stem piano kenalan keluarga untuk memperbaiki piano lama milik sang ibu. Aey ikut iba melihat kondisi ayah Fa hingga memutuskan untuk membantunya membahagiakan sang ayah.
Di segmen terakhir ada Llong, mantan lead-vocal dari sebuah band rock yang memutuskan berhenti dan bekerja kantoran. Kehadirannya menginspirasi Kim dan karyawan sekantor lain untuk membentuk sebuah band sebagai penghormatan terhadap mantan karyawan mereka yang baru saja meninggal dan sempat membawa keceriaan di kantor lewat musik. Maka diam-diam mereka mengumpulkan instrumen music dan mulai berlatih setelah jam kantor. Ketika mereka mulai serius berlatih dan enjoy, muncul ide untuk mengajukan anggaran ‘ruang musik’ di kantor ke dewan perusahaan. Bukan upaya yang mudah mengingat sang bos ternyata membenci Llong.
Dari konsepnya, bisa ditebak bahwa A Gift adalah sebuah film yang siap menebarkan keceriaan, manis, dan hangatnya kasih sayang lewat musik. Benar saja. Tak hanya kasih sayang antar pasangan, tapi juga terhadap orang tua, maupun sahabat yang telah tiada. Maka A Gift menjadi sebuah paket komplit yang begitu menyenangkan untuk ditonton. Apalagi ketiga segmennya punya genre yang sedikit berbeda. Jika segmen pertama, Love at Sundown merupakan romantic comedy yang manis. Flirty dan mungkin sounds cheesy, tapi dikembangkan dengan transformasi yang natural serta realistis. Segmen kedua, Still on My Mind, adalah drama keluarga yang hangat, menyentuh, dan mengharukan. Terakhir, egmen ketiga, New Year Greeting, mencampur unsur thriller dengan komedi slapstick (baca: norak). In short, ketiganya bak merepresentasikan tiga genre terkuat dan style signatural di sinema Thai. And as you know too, mereka sangat jago dalam merangkai plot, dialog, dan (bahkan) guyonan menjadi satu kesatuan yang tak hanya tertata rapi, tapi juga berhasil membangkitkan masing-masing emosi seperti yang diinginkan; lucu, menyentuh, manis. Cara ia menghubungkan ketiga segmen juga tertata dengan begitu rapih tanpa kesan terlalu dipaksakan pula. Peletakan urutan segmen pun terasa dikonsep dengan baik untuk menjaga mood penonton sepanjang film. Sesuatu yang ringan tapi manis sebagai pembuka (baca: pemanasan), sesuatu yang menyentuh di tengah, dan sesuatu yang ‘pecah’ sekaligus jadi klimaks kegembiraan sebagai penutup. Durasi yang mencapai 144 menit terasa begitu mengalir menyenangkan, tanpa terasa membosankan.
Penampilan aktor-aktris terutama di lini terdepan pun layak mendapatkan pujian. Debut akting Napat Siangsomboon di layar lebar tergolong baik dalam menghidupkan karakter cool dan flirty, Beam. Violette Wautier sebagai Pang menunjukkan luka batin yang jelas terasa hingga penonton bisa ikut berempati pada tiap momen karakternya. Nittha Jirayungyum sebagai Fa tampil paling kuat terutama ketika menjalin chemistry bersama karakter sang ayah dengan tak kalah simpatiknya. Sang ayah pun tampil begitu memikat dan menggugah berkat akting Chaiwat Jirawattanakarn. Sunny Suwanmethanont sebagai Aey mungkin tak diberi porsi lebih untuk benar-benar tertanam dalam benak penonton, tapi cukup memberi warna pada segmennya. Chantavit Dhanasevi  atau Ter Chantavit masih memberikan nafas yang tak beda jauh dari tipikal perannya ke dalam karakter Llong, but again, he still stole it. Nuengthida Sophon sebagai Kim yang tak diberi kapasitas karakter lebih setidaknya masih cukup noticeable. Jangan lupakan juga belasan, bahkan puluhan pemeran pendukung yang tak kalah mencuri perhatian lewat performa masing-masing, terutama 
Secara keseluruhan tak ada kendala berarti di teknis. Sinematografi Naruphol Chokanapitak kendati tergolong sederhana dan minim pergerakan, tapi lebih dari cukup untuk membuatnya nyaman diikuti. Begitu juga editing Thammarat Sumethsupachok, Chonlasit Upanigkit, dan Panayu Kunvanlee yang bekerja efektif sekaligus rapih dalam menggerakkan plot dengan energi pas di tiap segmen. Transformasi antar segmen dengan nuansa yang agak berbeda terasa mulus tanpa lonjakan yang terlalu signifikan. Scoring music Hualampong Riddim pun mengiringi tiap momen menjadi lebih emosional tanpa terkesan terlalu dramatis, tak juga terlampau istimewa. Just in the right portion. Even more, ketiga lagu yang menjadi dasar cerita berhasil ditanamkan secara mendalam ke dalam benak saya hingga mampu terus beresonansi untuk jangka waktu yang cukup lama. Minus terbesar yang sangat terasa ada pada kualitas sound design yang terdengar terlalu ‘tenggelam’. Entah faktor dari mastering aslinya atau kondisi auditorium tempat saya menonton. Jika membandingkan dengan pengalaman saya di auditorium yang sama sebelumnya, besar kemungkinan adalah faktor yang pertama.

Sayang sekali A Gift mendapatkan jatah tayang di Indonesia melewati pergantian tahun 2016-2017. Seandainya bertepatan dengan malam pergantian tahun, ia akan menjadi sajian yang istimewa dan memorable untuk dialami bersama orang-orang tersayang. Keluarga, pasangan, sahabat, atau malah gabungan kesemuanya sekaligus. Namun tentu saja lebih baik sedikit terlambat daripada tidak sama sekali. Toh, malahan A Gift akan selalu saya rekomendasikan sebagai tontonan bersama di tiap malam pergantian tahun. Lucu, manis, hangat, dan niscaya tinggal kesenangan dan perasaan ceria yang tersisa ketika film berakhir.
Diberdayakan oleh Blogger.