4/5
Alien
Awards winner
Based on Book
Drama
Hollywood
Humanity
Investigation
Mystery
Oscar 2017
SciFi
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Arrival
Membuat film bergenre sci-fi bukanlah tugas mudah. Meski
tergolong fiksi, tetap saja ada kaedah-kaedah logika science yang bisa diterima
akal sehat jika tak mau dicemooh penonton. Belum lagi tuntutan zaman sekarang
dimana sebuah sci-fi harus menjadi ‘cerebral sci-fi’, dengan konsep grande yang
mengusik pola pikir manusia atau setidaknya mampu berfilosofi. Beberapa tahun
terakhir terbukti ada beberapa judul yang ‘lulus’ mendapatkan predikat
bergengsi, ‘cerebral sci-fi’, seperti Interstellar, Gravity, dan The Martian. Tahun
2016 ini ada satu lagi kandidat ‘cerebral sci-fi’ yang dipuji banyak kalangan, Arrival. Diangkat dari novella Story of Your Life karya Ted Chiang
(1998), naskahnya diadaptasi oleh Eric Heisserer (Final Destination 5, remake The
Thing, A Nightmare on Elm Street,
Hours, dan Lights Out). Sutradara Denis Villeneuve yang dikenal sebagai salah
satu auteur berbakat lewat Incendies,
Prisoners, Enemy, dan Sicario,
memang sudah sejak lama ingin menggarap sci-fi, menerima proyek ini dengan
perubahan-perubahan di sana-sini, termasuk judul yang diubah ke Arrival agar tak berkesan sebuah
romantic-comedy. Memasang Amy Adams dan Jeremy Renner di lini terdepan,
Villeneuve mencoba peruntungan di ranah ‘cerebral sci-fi’. Tentu dari nama
Villeneuve, penonton, terutama pengamat karya-karyanya selama ini, mengharapkan
sesuatu yang istimewa dari Arrival.
Dr. Louise Banks yang sehari-hari berprofesi sebagai seorang
dosen linguistik, mendadak mendapatkan kontak dari tim elit dari pemerintah
agar bisa membantu mereka mencari jawaban atas penampakan pesawat asing yang
tiba-tiba muncul di langit Montana. Ternyata tak hanya di situ saja, karena
pesawat asing serupa juga menampakkan diri di dua belas titik di seluruh
penjuru dunia. Ia bersama fisikawan, Ian Donnelly ditugaskan untuk mencari tahu
siapa alien penumpang pesawat asing tersebut, berasal dari mana, dan punya
tujuan apa ke bumi. Louise memanfaatkan ilmunya sebagai pakar linguistik untuk
memahami bahasa mereka dan berkomunikasi lewat metode khusus. Pihak pemerintah,
tak hanya Amerika Serikat, tapi juga sebelas negara lainnya, khawatir mereka
akan menyerang dan meluluh-lantakkan bumi. Maka hasil upaya berkomunikasi
antara Louise dan alien bertentakel tujuh yang diberi nama Abbott dan Costello,
menjadi penentu masa depan bumi.
Benar saja, sajian sci-fi dari Denis Villeneuve ini bukanlah
tipikal action sci-fi dengan adegan aksi sarat CGI yang memanjakan mata dan
memicu adrenaline. Namun bukan berarti ia tak punya daya tarik yang mengikat
rasa penasaran penonton untuk mengikuti plotnya. Ada teka-teki yang harus
dipecahkan, dan berkat storytelling Villeneuve, penonton seolah diajak
mengikuti proses belajar yang dialami oleh Louise dan Ian. Mulai bagaimana
metode menganalisis bahasa alien hingga menyusunnya menjadi terjemahan bahasa
manusia. Lebih dari itu, poin penting yang dicapai menjadi konklusi yang
bermakna begitu dalam tentang bahasa, sebagai pemersatu ataupun senjata bagi
umat manusia. Dalam ingatan saya, masih belum ada film yang mengangkat serta
menyampaikannya dengan begitu bold. Ya, ada twist ending yang mengejutkan
kendati sebenarnya cukup bisa ditebak jika Anda jeli menganalisis tiap detail kepingan
puzzle (baca; adegan), termasuk flashback-flashback yang diselipkan di berbagai
antar-adegan. Namun Villeneuve tak mau terlalu menonjolkan twist-ending sebagai
poin terpentingnya. Ada value lain yang menjadi konklusi di akhir yang membuat
saya kembali mengingat-ingat detail adegan sejak awal, merangkainya, dan
menyatukan menjadi satu konklusi penting. And what’s more interesting, the
point was placed at the very beginning of the movie, seperti kebiasaan
Villeneuve dalam bercerita. Bukan tak mungkin inti dari Arrival mampu mengubah pola pikir Anda tentang hidup.
Namun bukan berarti grand design Villeneuve tampil serba sempurna.
Valued point mungkin memang menjadi highlight Villeneuve hingga agak
mengesampingkan perkembangan karakter. Ini terasa sekali terutama pada karakter
Ian Donnelly yang terkesan under-developed (dan tanpa andil apa-apa dalam
‘proses belajar’) hingga mendekati klimaks di mana ia tiba-tiba menjadi penentu
konklusi. Nuansa sepanjang film yang serba dark, depressive, dan cenderung
mellow, memang mendukung rasa penasaran sekaligus takjub di beberapa momen,
tapi juga berpotensi menggiring beberapa penonton dalam kebosanan dan mungkin,
dalam lelap. Sebenarnya penjabaran Arrival
tak rumit-rumit amat. Anda tak perlu benar-benar paham semua teorinya. Sekedar
memahami metodenya saja sudah lebih dari cukup. Namun jika Anda termasuk
penonton yang kurang bersemangat jika diajak menganalisis dengan pendekatan
ilmu tertentu yang tidak related dengan bidang Anda, bisa jadi Anda akan
tersesat di tengah-tengah film.
Amy Adams sebagai Dr. Louise Banks adalah performa paling
menonjol sepanjang film. Proses ‘belajar’ yang dilaluinya tak hanya convincing,
tapi juga membuat saya tertarik untuk terlibat lebih dalam, dan penyampaiannya
pun jadi mudah dicerna. Bukanlah persoalan mudah untuk tema sci-fi dengan grand
design yang sekompleks ini, but she did it very well. Jeremy Renner sebagai Ian
Donnelly sayangnya tak diberi porsi yang seimbang sehingga kehadirannya agak
terkesan mubazir, selain memang cocok ketika menunjukkan sedikit kecongkakan di
balik profesinya. Pemeran-pemeran pendukung lainnya seperti Forest Whitaker
sebagai Colonel Weber, Michael Stuhlberg sebagai Agent Halpern, dan Mark
O’Brien sebagai Captain Marks, cukup noticeable tanpa porsi lebih untuk jadi
memorable dalam jangka waktu lama.
Teknis Arrival tentu
saja digarap dengan tingkat keseriusan yang cukup tinggi. Sinematografi
Bradford Young berhasil membuat semua adegan terasa benar-benar high concept,
grandeur, dan dengan pergerakan kamera yang memancing rasa penasaran penonton
untuk eksplor lebih jauh. Beberapa momen menegangkan pun berhasil tanpa
dramatisasi berlebih. Editing Joe Walker menjaga pace tak terlalu membosankan
di balik nuansa yang kelam dan keseriusan maupun susunan struktur adegan yang tetap
mudah diikuti sekaligus dipahami kendati tak selalu berjalan linear. Tentu ini
berkaitan dengan konsep besarnya yang harus Anda alami dan temukan sendiri.
Scoring music Jóhann Jóhannsson, seperti halnya di Prisoners dan Sicario,
masih mempertahankan nuansa dark dan depresif, termasuk potongan dari On the Nature of Daylight karya Max Richter yang menggiring emosi. Bedanya, kali ini scoring music
memberikan nafas lebih ke dalam film, tak banyak momen hening dalam membangun
nuansa. Sound design juga menjadi elemen yang tak kalah pentingnya dalam
membangun suasana. Kontras antara silent moment dan kedalaman deep-bass terjaga
baik keseimbangan maupun kualitas kejernihannya. Surround 7.1. (sayang tak ada
format Dolby Atmos yang didistribusikan di Indonesia) lebih dari cukup dalam
membangun nuansa sesuai konsep.
Arrival mungkin
bukan sajian sci-fi yang bisa mudah (atau ‘mau’) dicerna oleh semua tipe
penonton. Perlu rasa penasaran dan kemauan untuk mengikuti ‘proses belajar’
yang dibawakan lewat karakter-karakternya. Tak perlu khawatir, karena treatment
storytelling Arrival sebenarnya cukup
mudah dipahami. Jika Anda mau membuka diri, bukan tak mungkin Arrival bisa mengubah persepsi Anda tentang
hidup seperti yang dimaksudkan sejak awal. Atau setidaknya, memperkaya khazanah
Anda dalam memandang hidup. Bukan hal yang berlebihan pula jika saya menganggap
Arrival sebagai pencapaian yang penting
dari seorang Denis Villeneuve, sekaligus layak masuk ke dalam daftar film ‘cerebral
sci-fi’ penting sepanjang masa.
Lihat data film ini di IMDb.
The 89th Academy Awards Nominees for:
- Cinematography - Bradford Young
- Directing - Denis Villeneuve
- Film Editing - Joe Walker
- Best Picture
- Production Design - Patrice Vermette (Production Design) and Paul Hotte (Set Decoration)
- Sound Editing - Sylvain Bellemare
- Sound Mixing - Bernard Gariépy Stobl and Claude La Haye
- Writing (Adapted Screenplay) - Eric Heisserer