The Jose Flash Review
xXx: Return of Xander Cage

Tema espionage selalu punya cara untuk menjelma dengan berbagai variasi. Salah satu yang paling populer di era 2000-an adalah Xander Cage, agen rahasia NSA (National Security Agency) berkode sandi xXx dengan spesialisasi stunt-stunt berbahaya serta olahraga ekstrim. Selain The Fast and the Furious, xXx adalah film yang semakin melambungkan popularitas Vin Diesel sebagai action hero. Seperti halnya franchise The Fast and the Furious, awalnya Diesel menolak untuk kembali di sekuelnya. Namun lama-kelamaan, ia tergiur juga untuk mengembangkan franchise-franchise yang membesarkan sekaligus dibesarkan olehnya. Installment kedua, xXx: State of the Union boleh saja digantikan oleh Ice Cube dengan menggunakan xXx sebagai nama tim yang bisa diisi oleh karakter mana saja, tak harus sosok Xander Cage. Sejak 2006 sebenarnya Diesel sudah menyatakan ketertarikan untuk kembali menghidupkan sosok Xander Cage, begitu juga sutradara Rob Cohen. Namun perjalanan waktu yang diwarnai bongkar-pasang tim membuat produksinya berkembang lambat. Baru awal 2014 titel resmi installment ketiga diumumkan: xXx: The Return of Xander Cage (RoXC).

D.J. Caruso (Histeria, Eagle Eye, I Am Number Four) ditunjuk untuk duduk di bangku sutradara, sementara naskahnya disusun oleh F. Scott Frazier (Collide). Studio produksi pun beralih dari Columbia (Sony Pictures) ke Paramount dengan bantuan investasi dari raksasa Cina, Huahua Media dan Shanghai Media Group yang sudah menyokong cukup banyak film-film blockbuster Hollywood. Nama-nama populer dari berbagai negara digabungkan menjadi satu, mulai Donnie Yen, Kris Wu (Cina), Deepika Padukone (India), Ruby Rose (Australia), Tony Jaa (Thailand), Nina Dobrev (Bulgaria), Rory McCann (Inggris), bahkan sampai bintang sepak bola Brazil, Neymar, dan Miss Universe 2015 asal Columbia, Ariadna Gutiérrez-Arévalo. Selain untuk menyemarakkan film dengan konsep multi-kultural seperti halnya franchise The Fast and the Furious, diharapkan ini mampu menggenjot jumlah penonton di masing-masing negara asal. Rentang waktu lima belas tahun (dari installment pertama, dua belas tahun jika memperhitungkan installment kedua) membuat fans maupun penonton baru menantikan petualangan dan aksi seru yang setidaknya setara dengan installment pertamanya. Siapa tahu bisa diekspansi sebesar dan sepanjang The Fast and the Furious, bukan?
Film dibuka dengan jatuhnya sebuah satelit yang menewaskan anggota NSA yang pernah membentuk tim xXx, Augustus Gibbons. Ternyata jatuhnya satelit tersebut merupakan akibat dari akses perangkat bernama Pandora’s Box. Konon perangkat yang sebenarnya dimiliki oleh NSA ini mampu mengontrol semua satelit di muka bumi. Jane Marke yang mengepalai NSA menyatakan Pandora’s Box lenyap dicuri oleh sekelompok tak dikenal dengan skill yang luar biasa. Pilihan untuk menandingi skill mereka adalah mantan agen xXx, Xander Cage yang memalsukan kematiannya dan menghilang. Cage awalnya menolak, tapi memutuskan untuk membantu begitu mendengar betapa bahayanya jika Pandora’s Box jatuh ke tangan yang salah. Menolak anggota tim yang disiapkan Marke, Cage merekrut tim sendiri yang terdiri dari cewek penembak jitu, Adele Wolff, seorang DJ Cina, Nicks, dan Tennyson. Cage dibantu pula oleh Becky, seorang pakar gadget yang ternyata sudah sejak lama menjadi fansnya. Penyelidikan mengarah pada Xiang, Serena, dan timnya yang bersembunyi di sebuah pulau terpencil di Filipina. Seperti biasa, tim musuh ini ternyata menyimpan rahasia yang membuat misi Cage tak semudah yang dibayangkan untuk diselesaikan.
Secara premise, RoXC memang punya semua formula dan basic storyline dari tema espionage. Mulai motif kembali beraksi hingga revealing twist. Namun tentu bukan itu yang menjadi komoditas maupun daya tarik utamanya. Adalah bagaimana ia menampilkan adegan-adegan aksi yang luar biasa seru, terutama melibatkan aksi-aksi stunt ekstrim, menjurus ke mustahil, yang sudah menjadi benchmark xXx. Meski harus diakui, kebanyakan aksi stunt-nya masih tergolong mediocre dan tak se-breathtaking installment pertama, RoXC menginjeksi adrenaline penonton lewat adegan-adegan aksi bertempo cepat, detail yang kompleks, dan sesekali klimaks yang membuat saya berkali-kali melongo atau spontan berujar, “woooow”.
Komoditas penting lainnya adalah pemanfaatan tokoh-tokoh multinasional yang ternyata dimanfaatkan cukup maksimal dengan porsi yang serba seimbang. Setidaknya kesemuanya diberikan porsi yang noticeable, kendati tak semua (atau malah nyaris tak ada) yang benar-benar menancap baik dalam benak maupun emosi penonton. Kesemuanya tetap dalam koridor seru dan fun, seperti yang disajikan franchise The Fast and the Furious. For that purpose, RoXC worked really well!
Vin Diesel masih melanjutkan peran Xander Cage dengan style signaturalnya (baik sebagai sosok Xander Cage maupun Dominic Toretto di franchise The Fast and the Furious, sebenarnya). Tak ada modifikasi maupun perkembangan berarti. Bukan berarti buruk, karena ia kembali menampilkan what he’s best on. Donnie Yen sebagai Xiang menjadi daya tarik paling memorable berikutnya. Aksi bela diri stylish yang ditampilkannya mampu divisualisasikan sehingga tampak luar biasa. Deepika Padukone sebagai Serena masih menampilkan pesona sensual sekaligus kick-ass. Ruby Rose pun meninggalkan kesan yang cukup mempesona sebagai Adele Wolff. Nina Dobrev sebagai Becky tampil geeky sekaligus flirtious. Toni Collette terasa begitu pas mengisi sosok bos agen rahasia, Jane Marke, yang ketus. Kris Wu sebagai Nicks, Tony Jaa sebagai Talon, Rory McCann sebagai Tennyson masing-masing cukup noticeable meski perannya seperti hanya untuk unjuk aksi semata. Terakhir, penampilan Samuel L. Jackson, Ice Cube, dan Neymar tentu tetap mampu jadi pencuri perhatian tersendiri.
Sebagai sajian aksi stylish, teknis RoXC terasa sangat suportif. Mulai sinematografi Russell Carpenter yang seolah paham betul bagaimana memvisualisasikan energi aksi fast-paced pun juga eksotisme yang merupakan konsep film sejak awal. Begitu pula editing Vince Filippone dan Jim Page yang mampu menjaga pace cerita maupun membuat adegan-adegan aksinya menjadi terasa lebih maksimal lagi. Scoring Robert Lydecker dan Brian Tyler mungkin terdengar sangat basic di genrenya, tapi pilihan musik, terutama yang berirama rave, trance, rap, hip-hop, hingga nuansa latino, tetap mampu menjaga benchmark franchise xXx. Tak perlu meragukan sound design yang serba bombastis, apalagi di auditorium IMAX. Detail suara terdengar begitu crystal clear sekaligus crispy, dengan pembagian kanal surround yang sangat maksimal. Format 3D memambah keasyikan karena sinematografi seolah mendukung efek 3D. Kendati depth of field-nya tergolong mediocre (setidaknya masih sedikit terlihat kedalaman ruangnya), tapi ada cukup banyak efek cipratan popped out, seperti debu, air, dan serpihan kaca. Tentu efeknya akan terasa lebih maksimal lagi di layar IMAX berformat 3D.
Kembali beraksinya Xander Cage di RoXC bagi saya adalah obat kerinduan yang memuaskan. Semua elemen yang menjadi ciri khas sekaligus komoditasnya sebagai sebuah franchise action blockbuster kembali dihadirkan dengan dosis yang tepat; adegan-adegan aksi xxxtreme bergaya dan ber-pace cepat dengan iringan musik rave yang menggugah. Ditambah tim berisi sosok-sosok yang tepat, RoXC menjelma menjadi blockbuster instant entertainment yang begitu memanjakan semua panca indera plus adrenalin. Benar-benar cinematic experience yang pantang dilewatkan di layar lebar dengan format terbaik yang bisa Anda temukan. Semoga saja franchise xXx dikembangkan dengan treatment yang setidaknya setara dengan The Fast and the Furious. Potensinya ada, pasarnya ada, tinggal effort-nya saja.
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.