3.5/5
Action
Adventure
Blockbuster
Box Office
Espionage
extreme sport
Franchise
Hollywood
Investigation
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
xXx: Return of Xander Cage
Tema espionage selalu punya cara untuk menjelma dengan
berbagai variasi. Salah satu yang paling populer di era 2000-an adalah Xander
Cage, agen rahasia NSA (National Security Agency) berkode sandi xXx dengan
spesialisasi stunt-stunt berbahaya serta olahraga ekstrim. Selain The Fast and the Furious, xXx adalah film yang semakin
melambungkan popularitas Vin Diesel sebagai action hero. Seperti halnya
franchise The Fast and the Furious,
awalnya Diesel menolak untuk kembali di sekuelnya. Namun lama-kelamaan, ia tergiur
juga untuk mengembangkan franchise-franchise yang membesarkan sekaligus
dibesarkan olehnya. Installment kedua, xXx:
State of the Union boleh saja digantikan oleh Ice Cube dengan menggunakan
xXx sebagai nama tim yang bisa diisi oleh karakter mana saja, tak harus sosok
Xander Cage. Sejak 2006 sebenarnya Diesel sudah menyatakan ketertarikan untuk
kembali menghidupkan sosok Xander Cage, begitu juga sutradara Rob Cohen. Namun
perjalanan waktu yang diwarnai bongkar-pasang tim membuat produksinya berkembang
lambat. Baru awal 2014 titel resmi installment ketiga diumumkan: xXx: The Return of Xander Cage (RoXC).
D.J. Caruso (Histeria,
Eagle Eye, I Am Number Four) ditunjuk untuk duduk di bangku sutradara,
sementara naskahnya disusun oleh F. Scott Frazier (Collide). Studio produksi pun beralih dari Columbia (Sony Pictures)
ke Paramount dengan bantuan investasi dari raksasa Cina, Huahua Media dan
Shanghai Media Group yang sudah menyokong cukup banyak film-film blockbuster
Hollywood. Nama-nama populer dari berbagai negara digabungkan menjadi satu,
mulai Donnie Yen, Kris Wu (Cina), Deepika Padukone (India), Ruby Rose
(Australia), Tony Jaa (Thailand), Nina Dobrev (Bulgaria), Rory McCann
(Inggris), bahkan sampai bintang sepak bola Brazil, Neymar, dan Miss Universe 2015
asal Columbia, Ariadna Gutiérrez-Arévalo. Selain untuk menyemarakkan film
dengan konsep multi-kultural seperti halnya franchise The Fast and the Furious, diharapkan ini mampu menggenjot jumlah
penonton di masing-masing negara asal. Rentang waktu lima belas tahun (dari
installment pertama, dua belas tahun jika memperhitungkan installment kedua)
membuat fans maupun penonton baru menantikan petualangan dan aksi seru yang
setidaknya setara dengan installment pertamanya. Siapa tahu bisa diekspansi
sebesar dan sepanjang The Fast and the
Furious, bukan?
Film dibuka dengan jatuhnya sebuah satelit yang menewaskan
anggota NSA yang pernah membentuk tim xXx, Augustus Gibbons. Ternyata jatuhnya
satelit tersebut merupakan akibat dari akses perangkat bernama Pandora’s Box.
Konon perangkat yang sebenarnya dimiliki oleh NSA ini mampu mengontrol semua
satelit di muka bumi. Jane Marke yang mengepalai NSA menyatakan Pandora’s Box
lenyap dicuri oleh sekelompok tak dikenal dengan skill yang luar biasa. Pilihan
untuk menandingi skill mereka adalah mantan agen xXx, Xander Cage yang
memalsukan kematiannya dan menghilang. Cage awalnya menolak, tapi memutuskan
untuk membantu begitu mendengar betapa bahayanya jika Pandora’s Box jatuh ke
tangan yang salah. Menolak anggota tim yang disiapkan Marke, Cage merekrut tim
sendiri yang terdiri dari cewek penembak jitu, Adele Wolff, seorang DJ Cina,
Nicks, dan Tennyson. Cage dibantu pula oleh Becky, seorang pakar gadget yang
ternyata sudah sejak lama menjadi fansnya. Penyelidikan mengarah pada Xiang,
Serena, dan timnya yang bersembunyi di sebuah pulau terpencil di Filipina.
Seperti biasa, tim musuh ini ternyata menyimpan rahasia yang membuat misi Cage
tak semudah yang dibayangkan untuk diselesaikan.
Secara premise, RoXC memang punya semua formula dan basic
storyline dari tema espionage. Mulai motif kembali beraksi hingga revealing
twist. Namun tentu bukan itu yang menjadi komoditas maupun daya tarik utamanya.
Adalah bagaimana ia menampilkan adegan-adegan aksi yang luar biasa seru,
terutama melibatkan aksi-aksi stunt ekstrim, menjurus ke mustahil, yang sudah
menjadi benchmark xXx. Meski harus
diakui, kebanyakan aksi stunt-nya masih tergolong mediocre dan tak
se-breathtaking installment pertama, RoXC menginjeksi adrenaline penonton lewat
adegan-adegan aksi bertempo cepat, detail yang kompleks, dan sesekali klimaks
yang membuat saya berkali-kali melongo atau spontan berujar, “woooow”.
Komoditas penting lainnya adalah pemanfaatan tokoh-tokoh
multinasional yang ternyata dimanfaatkan cukup maksimal dengan porsi yang serba
seimbang. Setidaknya kesemuanya diberikan porsi yang noticeable, kendati tak
semua (atau malah nyaris tak ada) yang benar-benar menancap baik dalam benak
maupun emosi penonton. Kesemuanya tetap dalam koridor seru dan fun, seperti
yang disajikan franchise The Fast and the
Furious. For that purpose, RoXC worked really well!
Vin Diesel masih melanjutkan peran Xander Cage dengan style
signaturalnya (baik sebagai sosok Xander Cage maupun Dominic Toretto di
franchise The Fast and the Furious,
sebenarnya). Tak ada modifikasi maupun perkembangan berarti. Bukan berarti
buruk, karena ia kembali menampilkan what he’s best on. Donnie Yen sebagai
Xiang menjadi daya tarik paling memorable berikutnya. Aksi bela diri stylish
yang ditampilkannya mampu divisualisasikan sehingga tampak luar biasa. Deepika
Padukone sebagai Serena masih menampilkan pesona sensual sekaligus kick-ass.
Ruby Rose pun meninggalkan kesan yang cukup mempesona sebagai Adele Wolff. Nina
Dobrev sebagai Becky tampil geeky sekaligus flirtious. Toni Collette terasa
begitu pas mengisi sosok bos agen rahasia, Jane Marke, yang ketus. Kris Wu
sebagai Nicks, Tony Jaa sebagai Talon, Rory McCann sebagai Tennyson
masing-masing cukup noticeable meski perannya seperti hanya untuk unjuk aksi
semata. Terakhir, penampilan Samuel L. Jackson, Ice Cube, dan Neymar tentu
tetap mampu jadi pencuri perhatian tersendiri.
Sebagai sajian aksi stylish, teknis RoXC terasa sangat
suportif. Mulai sinematografi Russell Carpenter yang seolah paham betul
bagaimana memvisualisasikan energi aksi fast-paced pun juga eksotisme yang
merupakan konsep film sejak awal. Begitu pula editing Vince Filippone dan Jim
Page yang mampu menjaga pace cerita maupun membuat adegan-adegan aksinya
menjadi terasa lebih maksimal lagi. Scoring Robert Lydecker dan Brian Tyler
mungkin terdengar sangat basic di genrenya, tapi pilihan musik, terutama yang
berirama rave, trance, rap, hip-hop, hingga nuansa latino, tetap mampu menjaga
benchmark franchise xXx. Tak perlu
meragukan sound design yang serba bombastis, apalagi di auditorium IMAX. Detail
suara terdengar begitu crystal clear sekaligus crispy, dengan pembagian kanal
surround yang sangat maksimal. Format 3D memambah keasyikan karena
sinematografi seolah mendukung efek 3D. Kendati depth of field-nya tergolong
mediocre (setidaknya masih sedikit terlihat kedalaman ruangnya), tapi ada cukup
banyak efek cipratan popped out, seperti debu, air, dan serpihan kaca. Tentu
efeknya akan terasa lebih maksimal lagi di layar IMAX berformat 3D.
Kembali beraksinya Xander Cage di RoXC bagi saya adalah obat
kerinduan yang memuaskan. Semua elemen yang menjadi ciri khas sekaligus
komoditasnya sebagai sebuah franchise action blockbuster kembali dihadirkan
dengan dosis yang tepat; adegan-adegan aksi xxxtreme bergaya dan ber-pace cepat
dengan iringan musik rave yang menggugah. Ditambah tim berisi sosok-sosok yang
tepat, RoXC menjelma menjadi blockbuster instant entertainment yang begitu
memanjakan semua panca indera plus adrenalin. Benar-benar cinematic experience yang
pantang dilewatkan di layar lebar dengan format terbaik yang bisa Anda temukan.
Semoga saja franchise xXx
dikembangkan dengan treatment yang setidaknya setara dengan The Fast and the Furious. Potensinya
ada, pasarnya ada, tinggal effort-nya saja.
Lihat data film ini di IMDb.