3.5/5
Action
Based on Book
Crime
Drama
Gangster
Hollywood
Mafia
Personality
Pop-Corn Movie
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Live by Night
Genre mobster/mafia/gangster akan selalu ada di tiap generasi
seiring eksistensinya yang memang tak pernah benar-benar hilang sampai
kapanpun. Jika di ranah klasik ada The
Godfather Trilogy, Scarface, The Untouchable, Mobsters, dan masih banyak lagi, di era 2000-an lebih banyak yang
diangkat dari biopic macam Public Enemies,
American Gangster, Black Mass, dan Legend, atau yang diangkat dari buku fiksi seperti Gangster Squad. Yang terbaru, Warner
Bros. sejak tahun 2012 lalu telah membeli hak untuk novel Live by Night (LBN) yang ditulis oleh Dennis Lehane (Mystic River, Shutter Island, dan Gone Baby
Gone). Ben Affleck yang sudah membuktikan reputasi penyutradaraan lewat Gone Baby Gone, The Town, dan Argo,
kembali dipercaya untuk menggawangi proyek keempatnya ini, sekaligus
mengadaptasi naskahnya. Leonardo DiCaprio sempat didapuk mengisi peran utama
hingga akhirnya mundur dan hanya bertindak sebagai salah satu produser lewat
Appian Way. Proyek pun tak lantas berjalan mulus karena komitmen Affleck di Gone Girldan Batman v Superman: Dawn of Justice. Praktis, produksi baru dimulai
menjelang akhir 2015. Affleck menggandeng cukup banyak aktor berkualitas,
seperti Elle Fanning, Breandan Gleeson, Chris Messina, Sienna Miller, Chris
Cooper, dan Zoe Saldana ke dalam jajaran cast, yang membuat LBN punya daya
tarik tersendiri.
LBN membidik perjalanan seorang putra kapten polisi Boston,
Joe Coughlin, di era 20’an. Ia jatuh
cinta dan menjalin hubungan dengan Emma Gould, gundik bos mafia Irlandia
Boston, Albert White. Asmara mereka terendus Albert yang lantas memburu mereka
berdua. Bos mafia Italia pesaing Albert, Maso Pestacore, memanfaatkan
kesempatan ini untuk memeras sekaligus menyingkirkan Albert. Awalnya Joe
menolak karena tak mau terlibat terlalu dalam ke lingkaran mafia. Namun setelah
pengkhianatan yang semakin memperburuk keadaan, Joe berniat membalas dendam
kepada Albert dengan menjadi perwakilan Maso yang sedang mengembangkan bisnis
rum dan perjudian di Ybor City, Tampa, Florida. Perlahan Joe menata kembali
hidupnya, apalagi setelah bertemu Graciella Corrales, saudari dari rekan
bisnisnya. Namun fokus utamanya untuk menjadi bos mafia paling berkuasa dan
berpengaruh di Ybor City sekaligus membalas dendam terus berjalan. Tak peduli
sekalipun putri Irving, sheriff Tampa, bernama Loretta yang bisa menjegal
langkahnya dalam melobi penghapusan aturan perjudian, dengan pendekatan
relijiusnya.
Agak sulit sebenarnya membangun kisah mobster/mafia/gangster
yang tetap menarik, segar, dan sebisa mungkin meminimalisir genre-clichés. Belum
lagi keseimbangan antara keseriusan konsep cerita lewat drama dengan gelaran
adegan-adegan aksi yang tetap wajib ada untuk memberikan keseruan film sebagai
platform hiburan. LBN terasa sekali mencoba untuk menjaga segala keseimbangan
tersebut. Namun how hard the effort, tetap saja ada cliché-cliché yang begitu
terasa, terutama di awal film sebagai background cerita. Faktor wanita,
kekuasaan, dan dendam.
Satu hal yang sebenarnya menarik dan CMIIW, dalam ingatan
saya, belum ada (atau setidaknya masih sangat jarang) adalah karakter sentral,
Joe Coughlin, yang basically adalah pria baik-baik yang terpaksa terjun ke
lembah hitam dengan pergulatan-pergulatan batin sepanjang perjalanannya, juga
subteks tentang karma. Diperkuat pula oleh kehadiran sosok Loretta dan
Graciella yang memang sengaja memberikan pengaruh karakter Joe ke depannya.
Sayangnya, meski secara konteks saya bisa dengan mudah menemukan pergulatan
batin dan transformasi Joe, tapi tidak pernah benar-benar dirasakan sebagai
transformasi yang solid. Ada pula konsistensi karakter Joe yang kerap melakukan
pendekatan berbeda untuk bernegosiasi ketimbang membunuh, tapi jatuhnya justru
terkesan licik dan seringkali, menggelikan. Most of the time, agak mengganggu
kharismatik sosok Joe sebagai mafia yang (seharusnya) bengis dan setidaknya,
intimidatif.
Selain itu, beberapa subplot pendukung yang sebenarnya punya
andil pengaruh yang cukup besar ke konsep besar, yakni perkembangan karakter
Joe, justru seolah menjadi selipan-selipan yang mendistraksi tujuan utama
karakter Joe untuk menghabisi Maso Pestacore. Terasa sekali Affleck masih
kesulitan merangkai sub-plot-sub-plot yang penting ini menjadi satu kesatuan
yang solid. Other than that, LBN sebenarnya masih menjadi sajian mobster movie
yang layak untuk disimak, termasuk juga porsi adegan-adegan aksi yang lebih
dari cukup.
Penampilan Affleck sebagai pengisi peran utama, Joe,
sebenarnya menjadi salah satu faktor yang melemahkan LBN. Somehow, menurut saya
Affleck tak punya kharisma yang seimbang antara sosok mafia yang bengis, intimidatif,
sekaligus berhati baik. Beda dengan, let’s say Johnny Depp di Public Enemies dan Black Mass, atau Tom Hardy di Legend.
Bukan hanya karena ekspresi wajahnya yang lebih terlihat flat dan kaku
ketimbang ‘dingin’ intimidatif, tapi juga di saat melontarkan joke, kharismanya
sebagai seorang mafia sirna begitu saja. Untung saja aktor-aktor pendukung
masih memberikan kharisma yang cukup kuat, seperti Robert Glenister sebagai
Albert White, Remo Girone sebagai Maso Pescatore, Chris Cooper sebagai Irving
Figgs, Chris Messina sebagai Dion Bartolo, dan tentu saja tak boleh dilupakan,
Brendan Gleeson seabagai Thomas Couglin. Zoe Saldana sebagai Graciella Corrales
pun punya pesona keanggunan dan kelembutan yang memberikan keseimbangan ke
dalam nuansa film yang serba ‘keras’. Elle Fanning juga cukup mencuri perhatian
lewat karakter Loretta Figgis yang punya kepribadian ‘menarik’ dan bikin
penasaran. Sienna Miller sebagai Emma Gould mendapatkan porsi yang terbatas
sehingga masih kurang berkesan di benak saya.
Seperti kebanyakan film bertema mobster/mafia/gangster, LBN
didukung oleh teknis-teknis yang cukup layak. Bahkan sinematografi Robert
Richardson mempersembahkan shot-shot yang ‘sempurna’ dan cantik. Dalam
menghadirkan adegan-adegan aksinya, mungkin masih bermain ‘aman’ dengan energi
yang mediocre, tapi lebih dari cukup untuk sekedar memberi kesan seru. Editing
William Goldenberg pun masih mampu menjaga pace cerita sehingga tak terlalu
tenggelam dalam kebosanan dengan porsi yang secara keseluruhan, sesungguhnya
lebih banyak drama dan dialog ketimbang action. Desain produksi Jess Gonchor,
termasuk desain kostum Jacqueline West memberikan warna keanggunan dan
keindahan tersendiri sesuai eranya, meski belum sampai menjadi signatural film
secara khusus. Scoring Harry Gregson-Williams masih mampu mendukung keanggunan,
keseruan, ketegangan adegan, sekaligus ekotisme ala Kuba yang cukup memberikan
nafas kesegaran tersendiri di genrenya. Sound design terdengar mantap dengan
keseimbangan antara crisp dan clarity, terutama di adegan-adegan baku tembak.
Bahkan fasilitas Dolby Atmos dimanfaatkan maksimal untuk ‘meghujani’ penonton
dengan suara desingan peluru dari kanal-kanal atas.
LBN mungkin masih punya sangat banyak cliché di genrenya.
Kendati punya konsep-kosep sekaligus subteks yang menarik, sayangnya masih
belum bisa menjadi satu kesatuan yang benar-benar solid. Belum lagi kharisma
Affleck sebagai tokoh sentral yang gagal memberi nafas utama yang diperlukan. Dengan
standard yang telah dicapai Affleck sebagai sutradara sejauh ini, LBN mungkin meruapkan
yang terlemah. Sama sekali tak buruk, tapi tentu bisa jauh lebih baik lagi.
Setidaknya jika Anda menggemari genre mobster/mafia/gangster, LBN tergolong sayang
untuk dilewatkan begitu saja di layar lebar.
Lihat data film ini di IMDb.