3/5
Action
Adventure
creature
Family
Fantasy
Friendship
Hollywood
Kid
Monster
Pop-Corn Movie
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Monster Trucks
Franchise merupakan aset penting bagi studio film, apalagi
major studio Hollywood. Maka tak heran jika major studio selalu berupaya
menciptakan dan mengembangkan franchise-franchise baru yang bisa dijadikan
komoditas jangka panjang. Upaya itulah yang awalnya hendak dilakukan Paramount
Animation bersama salah satu divisi saudaranya, Nickelodeon Movies lewat Monster Trucks (MT). Sebuah film
fantasi-aksi-petualangan-komedi dengan target audience utama anak-anak usia
6-12 tahun. Derek Connolly (Jurassic
World dan upcoming, Kong: Skull
Island) ditunjuk untuk menyusun
naskah dari konsep cerita Jonathan Aibel, Glenn Berger, dan Matthew Robinson.
Chris Wedge didapuk untuk duduk di bangku sutradara yang mana merupakan debut
penyutradraan untuk film live-action (sebelumnya menggarap animasi seperti Ice Age, Robots, dan Epic).
Dengan memasang aktor Lucas Till (Havok dari franchise X-Men) dan Jane Levy (Mia di Evil
Dead versi 2013 dan Rocky di Don’t
Breathe), budget sebesar US$ 125 juta terdengar terlalu berlebihan, apalagi
melihat hasil akhirnya (setidaknya dari trailer) yang hanya sampai ‘sejauh’
itu. Namun why don’t we just give it a try?
Tinggal di sebuah kota kecil di Dakota Utara membuat Tripp
ingin segera lulus sekolah dan memulai hidup baru. Hobinya mengutak-atik mesin
mobil membuatnya mulai merakit sebuah Monster Truck dari onderdil-onderdil yang
didapatnya dari pusat rongsokan mobil bekas. Suatu hari kota kecil tempat ia
tinggal diserang sosok monster misterius yang gemar menembus mobil dan
menghabiskan bensin di dalamnya. Perusahan kilang minyak bernama Terravex yang
sedang mengeksplorasi potensi minyak di kota kecil itu juga menjadi salah satu
korbannya. Investigasi pun dilakukan. Siapa sangka salah satu monster misterius
itu masuk dan bersembunyi ke dalam monster truck yang sedang dirakit oleh
Tripp. Persahabatan antara keduanya pun terjalin setelah Tripp mendapat ide
untuk menjadikan monster yang diberi nama Creech ini sebagai ‘mesin’ dari
Monster Truck-nya. Namun setelah menjadi buruan Terravex, Tripp dan Creech
dibantu seorang gadis yang sebenarnya menaruh hati kepadanya, Meredith, bos
pusat rongsokan mobil bekas, Mr. Weathers, serta sahabatnya, Sam, mencari
habitat terbaik untuk Creech. Mereka pun menemukan fakta bahwa sebenarnya
Creech mencari keluarganya.
Tema persahabatan antara manusia dan monster sudah menjadi
salah satu formula favorit di genre fantasy-action-adventure-comedy sejak lama.
Di ranah klasik tentu semua orang mengingat E.T.:
Extra Terrestrial, atau yang terakhir paling berkesan, remake dari Pete’s Dragon. MT pun sebenarnya masih
memanfaatkan formula-formula basic dari tema tersebut. Tak ada yang salah
selama punya konsep serta desain karakter yang dibangun baik dan menarik. For
that purpose, jujur, sejak pertama kali menonton trailernya, saya termasuk yang
mengerutkan dahi saking ‘aneh’-nya konsep yang ditawarkan. I mean like, sosok
makhluk monster yang dijadikan mesin Monster Truck? Namun ternyata konsep ini
dieksekusi dengan cukup baik. Meski berada pada koridor fantasi, tapi sosok
Creech (dan juga keluarganya) masih dibekali penjelasan-penjelasan biologis
yang masih masuk akal, serta penggabungan dengan mekanisme mesin mobil yang
sangat rasional. Pengembangan plot pun tergolong layak, dengan suntikan
elemen-elemen cerita yang juga menarik, seperti tentang orang tua biologis yang
belum tentu lebih baik dari orang tua tiri. Kendati tak sepenuhnya dikembangkan
dengan sinergi yang kuat dengan plot utama, setidaknya masih ada upaya untuk
memasukkan value-value lebih dari yang ditampilkan pada permukaan terluarnya. Ada
pula romance dengan dosis yang cukup (dan aman) untuk film bertarget audience
utama anak-anak. Tak ada adegan ciuman, ‘aksi’ terjauhnya hanyalah berpegangan
tangan.
Sayangnya secara emosional, MT agaknya kurang mampu
memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya. Tak hanya keseruan petualangan
yang seharusnya bisa dipompa lebih dahsyat lagi dari adegan-adegan yang
tergolong ‘nekad’ dan gila, tapi juga drama keluarga dan persahabatan yang
terkesan lewat begitu saja. Saya masih bisa dibuat tersenyum bahagia, tapi
belum sampai menyentuh relung hati. Tak sampai jatuh menjadi just another TV
movie, tapi sekali lagi, MT punya potensi-potensi tersebut.
Meski tak memberikan kesan yang terlalu istimewa, tapi
setidaknya Lucas Till membuktikan bahwa dirinya punya potensi sekaligus
kharisma yang cukup sebagai lead. Setidaknya (lagi), di film
fantasi-aksi-petualangan yang lebih ditargetkan untuk anak-anak. Jane Levy
sebagai Meredith pun menunjukkan bahwa dirinya mampu membawakan peran yang
berbeda dari stereotype horror dan thriller yang ia mainkan selama ini. Rob
Lowe yang mengisi peran antagonis Reece Tenneson dan Danny Glover sebagai Mr.
Weathers mungkin tak terlalu berkesan dan replaceable, tapi menjadi bonus yang
menyenangkan bagi penonton dewasa (yang sudah menjadi moviegoers sejak lama, tentu
saja).
Kendati tak ada yang benar-benar istimewa, teknis MT masih
mendukung konsepnya di genre fantasy-action-adventure. Terutama sinematografi
Don Burgess yang membuat adegan-adegan aksi dan kejar-kejarannya terasa fun
serta cukup seru. Editing Conrad Buff IV mungkin agak off-beat di beberapa
momen, tapi setidaknya masih mampu mengemban tugas penyampaian cerita dan
membuat adegan-adegan aksinya terkesan cukup seru, dengan thrilling moments
yang termasuk berhasil. Scoring David Sardy yang terdengar punya ‘warna’
classical fantasy-action-adventure cukup memberikan perpaduan nuansa fun
sekaligus kemegahan yang seimbang, kendati sekali lagi, tak sampai tahap
memorable ataupun hummable. Sayangnya, sound mixing MT terdengar kurang
seimbang. Inilah salah satu faktor penting yang membuat beberapa momen aksinya
punya feel yang kurang maksimal. Pembagian kanal surround sebenarnya cukup
dimanfaatkan, tapi masing-masing kanal terdengar kurang bertenaga. Entah memang dari mastering-nya
atau kebetulan faktor teater tempat saya menyaksikannya.
Tema MT mungkin bagi kebanyakan penonton sekarang (apalagi
yang sudah melewati usia anak-anak) sudah terlampau basi. Masih bermain-main di
tema maupun formula lama, pun juga terasa masih kurang maksimal memanfaatkan
potensinya sebagai film aksi-petualangan maupun drama. Namun MT jelas bukan
film yang buruk. Setidaknya ketika menyaksikan di layar lebar, saya mendapati penonton
anak-anak cukup ekspresif sepanjang film. Ya, mungkin saya yang terlalu dewasa sehingga
tak lagi bisa merasakan excitement yang sama. Mungkin benar bahwa MT sebenarnya
tergolong berhasil untuk target audience utamanya, yaitu anak-anak berusia sekitar
6-12 tahun. Jadi jika anak atau keponakan Anda tertarik ketika melihat poster
atau trailernya, tak ada salahnya mencoba. Siapa tahu Anda sendiri juga bisa
ikut terhibur, nostalgic akan film-film bertema serupa yang dulu sempat booming ketika masih anak-anak, sama seperti yang saya alami.
Lihat data film ini di IMDb.