The Jose Flash Review
Demi Cinta

Di tahun 2017 ini MNC Pictures sudah mempersiapkan beberapa judul line-up sekaligus untuk dirilis. Setelah akhir tahun 2016 lalu kita disuguhi drama-action bertemakan heist lewat The Professional, awal tahun 2017 ini mereka menawarkan sebuah komedi farcical (memanfaatkan karakter-karakter eksentrik). Dari kemasan luarnya, sedikit mengingatkan saya akan Skakmat. Dari naskah yang disusun oleh Syamsul Hadi (Pencarian Terakhir, HeartBreak.com: Patah Hati Anda Bisnis Kita, Rock N Love, dan Dreams) dan Fatmaningsih Bustamar (Surat Cinta untuk Kartini), bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Azhar Lubis atau yang lebih dikenal sebagai Kinoi (Jokowi, Surat Cinta untuk Kartini, dan Blusukan Jakarta). Dengan memasang Tora Sudiro dan Ricky Harun di garda depan, didukung Nasya Marcella, Titi Kamal, Verdi Solaiman, dan Barry Prima, komedi bertajuk Demi Cinta (DC) mencoba untuk menawarkan hiburan berupa komedi yang menurut saya, cocok dengan selera humor mayoritas penonton film Indonesia.
Bagus yang tinggal bersama sepupunya, Masbin sedang galau. Bukan hanya karena masih menganggur, tapi lebih karena diam-diam ia menaruh hati pada Cempaka, tetangga mereka di rumah susun. Bukannya membantu, Masbin malah membuat Bagus semakin pesimis bahwa tidak ada cewek yang mau menjadi pasangannya jika ia masih menganggur. Keduanya lantas belajar dari Syamsudin yang mendadak jadi kaya dan bergaya parlente. Ternyata resepnya adalah bekerja untuk Toni Montana, bos mafia yang tetap bisa menjalankan bisnisnya dari balik jeruji penjara. Maka berangkatlah keduanya untuk melamar menjadi anak buah Toni. Syaratnya, mereka harus membuktikan diri bahwa bisa melakukan kejahatan. Disusunlah rencana penculikan terhadap putri seorang ibu tunggal yang tinggal di sebuah rumah mewah. Penculikan berhasil dilakukan terhadap seorang balita bernama Arjuna dan babysitter-nya, Sandra, yang terpaksa mereka culik sekalian. Siapa sangka ternyata Arjuna adalah anak dari Toni. Maka Bagus dan Masbin semakin terjepit di tengah-tengah situasi sial tersebut.
Sejak menit pertama bergulir, jelas bahwa DC dikonsep sebagai sebuah komedi farcical yang mengandalkan karakter-karakter nyentrik dengan pilihan aksi yang jauh dari kesan logis atau mengarah ke bodoh-bodohan (dumb comedy). Bukan berarti komedi yang ditawarkan adalah kebodohan, tapi memanfaatkan kebodohan sebagai sumber pemancing tawa. Sejarah sub-genre ini sudah berlangsung lama dan Hollywood sendiri punya referensi yang cukup banyak. Salah satu yang paling populer di era 90-an adalah Dumb and Dumber atau film-film yang dibintangi Tom Green. Sayangnya sub-genre ini semakin ditinggalkan peminat, terutama di Amerika Serikat ketika jenis komedi yang cerdas dan membutuhkan referensi tertentu agar menjadi lucu diperkenalkan. Padahal di Indonesia, komedi jenis ini sebenarnya yang masih relevan dengan penonton kita; tak perlu melalui banyak proses berpikir dan lucu secara spontan. Maka bisa jadi apa yang ditawarkan DC kali ini bisa diterima. Apalagi ternyata bahkan bagi saya yang sudah agak kurang familiar dengan guyonan-guyonan farcical, masih banyak yang berhasil membuat saya spontan tertawa.
Namun rupanya permasalahan utama dari DC bukanlah pada ‘selera humor’-nya, tetapi pada logika yang terlampau out-of-this-world. I know in term of comedy, apalagi farcical, ada banyak logika (pengkondisian) yang harus ditolerir. Namun apa yang terkesan janggal bukan lagi soal pengkondisian, tapi benar-benar logika yang mustahil. Let’s start with sosok Bagus yang katanya pengangguran tapi masih punya cukup banyak uang untuk dipinjam oleh Masbin. Seiring dengan durasi, saya menemukan illogical-illogical sejenis yang membuat saya kerap mengernyitkan dahi. Namun jika Anda memilih untuk mengabaikannya, samas seperti yang saya lakukan kemudian, plot yang digulirkan DC masih cukup enjoyable kendati tergolong sangat formulaic (baca: predictable) di sub-genre-nya. Bahkan selipan elemen battle of sexes yang terasa satire sampai kritik sosial tentang tuntutan dalam menjalin asmara masih bisa dengan mudah ditemukan sebagai bahan humor yang setidaknya membuat saya tersenyum.
Duo Tora Sudiro dan Ricky Harun sebagai Masbin dan Bagus sebenarnya masih memainkan karakter tipikal mereka dengan gaya humor yang juga sangat tipikal pula. Tak ada yang salah, toh tetap saja berhasil dan sudah terlanjur familiar dengan penonton. Pujian tambahan mungkin layak disematkan kepada Tora yang ternyata mampu menjalin chemistry hangat dan convincing bersama karakter si cilik Arjuna yang dibawakan dengan menggemaskan oleh Agra Svarnabhumi. Nasya Marcella sebagai Sandra yang diceritakan berasal dari kampung di Jawa mungkin agak tak masuk akal, apalagi dengan aksen Jawa yang masih sering tidak konsisten. Namun setidaknya masih memberikan aura pesona tersendiri yang mencuri perhatian saya. Titi Kamal sebagai Amara tak banyak diberi porsi dan mostly masih menjadi diri sendiri (setidaknya dari yang saya lihat di layar infotainment selama ini). Barry Prima tetap menunjukkan kharisma yang kuat di balik karakter Tony Montana yang punya keseimbangan pas antara ‘sangar’ dan komedik. Verdi Solaiman sebagai Raoul cukup menggelitik dengan aksen sok-Jepang-nya. Begitu pula Teuku Rifnu Wikana sebagai Syamsudin yang juga punya aksen unik, yang tak biasa dari peran-peran sebelumnya.
Teknis DC tak ada yang benar-benar istimewa, tapi tergolong cukup pas dengan kebutuhannya. Mulai sinematografi Arfian dan editing Andhy Pulung-Syarif Hidayat yang mampu menyampaikan comedic-comedic moment-nya dengan timing yang pas dan komposisi yang seimbang antara comedic delivery dan plot flow sepanjang durasi. Scoring dari Bongky Marcel, Ganden Bramanto, dan Ricky Lionardi pun mendukung sisi komedi maupun ketegangan dengan keseimbangan yang pas, tanpa terkesan terlalu serius ataupun terlalu murahan.
Nevertheless, DC mungkin memang bukan sajian komedi yang terlalu istimewa. We’ve seen it before, maybe over and over again, dengan logika-logika yang kerap bikin mengernyitkan dahi pula. But then again, dengan upaya memasukkan satire yang cukup relevan dengan kondisi sosial di Indonesia, komedi bodoh-bodohan yang tak sampai jadi terlampau bodoh, dan komposisi antara humor dan plot flow yang cukup seimbang pula, maka saya merasakan punya kedekatan dengan mayoritas penonton Indonesia, terutama yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah. So, jika Anda merasa cocok dengan komedi farcical atau bodoh-bodohan, saya rasa DC bisa jadi sekedar pilihan hiburan instan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.