3/5
Buddy
Comedy
Crime
Drama
fucked up comedy
Indonesia
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Demi Cinta
Di tahun 2017 ini MNC Pictures sudah mempersiapkan beberapa
judul line-up sekaligus untuk dirilis. Setelah akhir tahun 2016 lalu kita
disuguhi drama-action bertemakan heist lewat The Professional, awal tahun 2017 ini mereka menawarkan sebuah
komedi farcical (memanfaatkan karakter-karakter eksentrik). Dari kemasan
luarnya, sedikit mengingatkan saya akan Skakmat.
Dari naskah yang disusun oleh Syamsul Hadi (Pencarian
Terakhir, HeartBreak.com: Patah Hati
Anda Bisnis Kita, Rock N Love,
dan Dreams) dan Fatmaningsih Bustamar (Surat
Cinta untuk Kartini), bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Azhar Lubis
atau yang lebih dikenal sebagai Kinoi (Jokowi,
Surat Cinta untuk Kartini, dan Blusukan Jakarta). Dengan memasang Tora
Sudiro dan Ricky Harun di garda depan, didukung Nasya Marcella, Titi Kamal,
Verdi Solaiman, dan Barry Prima, komedi bertajuk Demi Cinta (DC) mencoba untuk menawarkan hiburan berupa komedi yang
menurut saya, cocok dengan selera humor mayoritas penonton film Indonesia.
Bagus yang tinggal bersama sepupunya, Masbin sedang galau.
Bukan hanya karena masih menganggur, tapi lebih karena diam-diam ia menaruh
hati pada Cempaka, tetangga mereka di rumah susun. Bukannya membantu, Masbin
malah membuat Bagus semakin pesimis bahwa tidak ada cewek yang mau menjadi pasangannya
jika ia masih menganggur. Keduanya lantas belajar dari Syamsudin yang mendadak
jadi kaya dan bergaya parlente. Ternyata resepnya adalah bekerja untuk Toni
Montana, bos mafia yang tetap bisa menjalankan bisnisnya dari balik jeruji
penjara. Maka berangkatlah keduanya untuk melamar menjadi anak buah Toni.
Syaratnya, mereka harus membuktikan diri bahwa bisa melakukan kejahatan.
Disusunlah rencana penculikan terhadap putri seorang ibu tunggal yang tinggal
di sebuah rumah mewah. Penculikan berhasil dilakukan terhadap seorang balita
bernama Arjuna dan babysitter-nya, Sandra, yang terpaksa mereka culik sekalian.
Siapa sangka ternyata Arjuna adalah anak dari Toni. Maka Bagus dan Masbin
semakin terjepit di tengah-tengah situasi sial tersebut.
Sejak menit pertama bergulir, jelas bahwa DC dikonsep sebagai
sebuah komedi farcical yang mengandalkan karakter-karakter nyentrik dengan
pilihan aksi yang jauh dari kesan logis atau mengarah ke bodoh-bodohan (dumb
comedy). Bukan berarti komedi yang ditawarkan adalah kebodohan, tapi
memanfaatkan kebodohan sebagai sumber pemancing tawa. Sejarah sub-genre ini
sudah berlangsung lama dan Hollywood sendiri punya referensi yang cukup banyak.
Salah satu yang paling populer di era 90-an adalah Dumb and Dumber atau film-film yang dibintangi Tom Green. Sayangnya
sub-genre ini semakin ditinggalkan peminat, terutama di Amerika Serikat ketika
jenis komedi yang cerdas dan membutuhkan referensi tertentu agar menjadi lucu
diperkenalkan. Padahal di Indonesia, komedi jenis ini sebenarnya yang masih
relevan dengan penonton kita; tak perlu melalui banyak proses berpikir dan lucu
secara spontan. Maka bisa jadi apa yang ditawarkan DC kali ini bisa diterima.
Apalagi ternyata bahkan bagi saya yang sudah agak kurang familiar dengan
guyonan-guyonan farcical, masih banyak yang berhasil membuat saya spontan
tertawa.
Namun rupanya permasalahan utama dari DC bukanlah pada ‘selera
humor’-nya, tetapi pada logika yang terlampau out-of-this-world. I know in term
of comedy, apalagi farcical, ada banyak logika (pengkondisian) yang harus
ditolerir. Namun apa yang terkesan janggal bukan lagi soal pengkondisian, tapi
benar-benar logika yang mustahil. Let’s start with sosok Bagus yang katanya
pengangguran tapi masih punya cukup banyak uang untuk dipinjam oleh Masbin.
Seiring dengan durasi, saya menemukan illogical-illogical sejenis yang membuat
saya kerap mengernyitkan dahi. Namun jika Anda memilih untuk mengabaikannya,
samas seperti yang saya lakukan kemudian, plot yang digulirkan DC masih cukup
enjoyable kendati tergolong sangat formulaic (baca: predictable) di
sub-genre-nya. Bahkan selipan elemen battle of sexes yang terasa satire sampai
kritik sosial tentang tuntutan dalam menjalin asmara masih bisa dengan mudah
ditemukan sebagai bahan humor yang setidaknya membuat saya tersenyum.
Duo Tora Sudiro dan Ricky Harun sebagai Masbin dan Bagus
sebenarnya masih memainkan karakter tipikal mereka dengan gaya humor yang juga
sangat tipikal pula. Tak ada yang salah, toh tetap saja berhasil dan sudah
terlanjur familiar dengan penonton. Pujian tambahan mungkin layak disematkan
kepada Tora yang ternyata mampu menjalin chemistry hangat dan convincing
bersama karakter si cilik Arjuna yang dibawakan dengan menggemaskan oleh Agra
Svarnabhumi. Nasya Marcella sebagai Sandra yang diceritakan berasal dari
kampung di Jawa mungkin agak tak masuk akal, apalagi dengan aksen Jawa yang
masih sering tidak konsisten. Namun setidaknya masih memberikan aura pesona
tersendiri yang mencuri perhatian saya. Titi Kamal sebagai Amara tak banyak
diberi porsi dan mostly masih menjadi diri sendiri (setidaknya dari yang saya
lihat di layar infotainment selama ini). Barry Prima tetap menunjukkan kharisma
yang kuat di balik karakter Tony Montana yang punya keseimbangan pas antara
‘sangar’ dan komedik. Verdi Solaiman sebagai Raoul cukup menggelitik dengan
aksen sok-Jepang-nya. Begitu pula Teuku Rifnu Wikana sebagai Syamsudin yang
juga punya aksen unik, yang tak biasa dari peran-peran sebelumnya.
Teknis DC tak ada yang benar-benar istimewa, tapi tergolong
cukup pas dengan kebutuhannya. Mulai sinematografi Arfian dan editing Andhy
Pulung-Syarif Hidayat yang mampu menyampaikan comedic-comedic moment-nya dengan
timing yang pas dan komposisi yang seimbang antara comedic delivery dan plot
flow sepanjang durasi. Scoring dari Bongky Marcel, Ganden Bramanto, dan Ricky
Lionardi pun mendukung sisi komedi maupun ketegangan dengan keseimbangan yang
pas, tanpa terkesan terlalu serius ataupun terlalu murahan.
Nevertheless, DC mungkin memang bukan sajian komedi yang
terlalu istimewa. We’ve seen it before, maybe over and over again, dengan
logika-logika yang kerap bikin mengernyitkan dahi pula. But then again, dengan
upaya memasukkan satire yang cukup relevan dengan kondisi sosial di Indonesia,
komedi bodoh-bodohan yang tak sampai jadi terlampau bodoh, dan komposisi antara
humor dan plot flow yang cukup seimbang pula, maka saya merasakan punya kedekatan
dengan mayoritas penonton Indonesia, terutama yang berasal dari kelas sosial
menengah ke bawah. So, jika Anda merasa cocok dengan komedi farcical atau
bodoh-bodohan, saya rasa DC bisa jadi sekedar pilihan hiburan instan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.