3/5
Asia
Drama
Friendship
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
Tourism
Traveling
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Labuan Hati
Film adalah medium yang paling tepat untuk
mempromosikan pariwisata. Dengan dukungan audio-visual yang bisa menangkap
atmosferik sebuah lokasi pariwisata dan mempresentasikannya secara menggiurkan
(bahkan tak jarang melebihi kondisi lokasi aslinya), film jelas punya kelebihan
terunggul sebagai medium promosi. Tak salah jika kemudian banyak dinas
pariwisata dari berbagai daerah memilih untuk meng-hire sineas-sineas kita
untuk memanfaatkan keindahan alam dan budaya yang kita miliki, sekedar untuk
latar cerita maupun subjek utama dari film. Belum lama ini kita disuguhkan Trinity: The Nekad Traveler yang
jelas-jelas bertema wisata dan membawa kita ke Lampung dan beberapa lokasi
wisata lainnya, kini giliran Lola Amaria yang mengajak kita berjalan-jalan ke
Pulau Komodo dan Labuan Bajo bersama Nadine Chandrawinata yang image-nya sangat
traveler, Kelly Tandiono, supermodel yang kian sering berakting, Ully Triani
yang pernah mencuri perhatian di Stay
with Me, dan Ramon Y. Tungka, lewat film bertajuk Labuan Hati (LH). Sementara naskahnya ditulis oleh Titien Wattimena
yang daftar filmografinya sudah puluhan, termasuk Minggu Pagi di Victoria Park dimana ia pernah bekerja sama dengan
Lola.
Indi, seorang diver wanita, baru saja tiba di
sebuah resor mewah di Komodo, hasil arrangement dari sang tunangan. Padahal
jiwa Indi sebenarnya lebih backpacker-type. Pertemuan dengan Bia, seorang ibu
muda yang sedang menyepi, membuat keduanya cepat akrab dan memutuskan untuk
melakukan perjalanan wisata bersama yang sudah diatur oleh pemandu wisata
bernama Maria. Petualangan ketiganya, ditambah kehadiran Mahesa, seorang
instruktur diving yang ternyata punya masa lalu dengan Indi, membuat ketiganya
mengenal diri masing-masing dan satu sama lain, yang pada satu titik justru
menimbulkan konflik tak terduga.
Sesuai dengan tujuan utamanya sebagai media
promosi wisata, LH tau betul bagaimana membuat penonton seolah-olah diajak
bersantai dan menikmati pemandangan-pemandangan panoramik yang luar biasa
indah. Terutama sekali underwater shot dan aerial shot dengan kualitas gambar
layak di layar lebar (tidak seperti kebanyakan aerial shot film Indonesia yang
seringkali masih terlihat pecah-pecah). Thanks to sinematografi Sony Seniawan
yang tau betul bagaimana ‘memanfaatkan’ natural source sesuai dengan pace dan
feel yang tepat untuk dinikmati secara maksimal, seiring pula dengan pace
ceritanya yang juga ‘santai’.
Speaking of plot, LH rasa-rasanya tak mau
menyodorkan sesuatu yang terlampau berat. To be honest, Titien justru
menawarkan treatment plot (dan juga dialog-dialog) a la opera soap untuk tema
‘self-discovery’ yang sebenarnya cukup terasa. I mean, come on… Dua wanita yang
notabene ‘kelas atas’ memperebutkan sosok Mahesa yang… well, I don’t need to
say it even more clearly, I guess (yang pasti ada maksud khusus mengapa Ramon
Y. Tungka yang dipilih untuk merepresentasikan sosok Mahesa, bukan?). Too
cheesy dan menggelikan, kalau boleh jujur. But once again, saya bisa merasakan
bagaimana Lola dan Titien tak mau mengajak penonton kelewat serius terfokus pada
cerita. Begini deh. Anggap saja kita sedang berlibur di tempat yang indah
banget, tapi dengan mood yang kurang bagus karena sedang menghadapi masalah
yang cukup pelik. Apakah kita tetap akan bisa menikmati keindahan alam di depan
mata secara maksimal? I don’t think so. Mungkin alasan itulah yang membuat LH
memilih jalan ‘cheesy’ a la soap opera sebagai foreground-nya, begitu juga
dialog-dialog yang dibawakan dengan ‘dingin’ dan kaku oleh ketiga karakter
utamanya; Indi, Bia, dan Maria.
Padahal jika mau menganalisis lebih dalam,
plot yang disodorkan LH sebenarnya punya potensi kontemplatif yang lebih
esensial. Tema self-discovery sebenarnya begitu kuat menjadi benang merah
antara ketiga karakter; Indi, Bia, dan Maria. Indi yang berada di persimpangan
antara kebebasan diri dan berkompromi sebagai kompensasi dari pernikahannya
kelak, Bia yang terlalu sibuk memperkaya diri dengan quote-quote motivasi untuk
menemukan jawaban atas tujuan hidupnya sendiri, dan Maria yang harus belajar
untuk move on dari asmara masa lalu. Sayangnya, potensi-potensi ini hanya
sekedar ditunjukkan sebagai deskripsi karakter semata, bahkan dengan resolusi
yang bisa dikatakan out-of-nowhere. Agak dipaksakan untuk menganggapnya melalui
proses yang natural dalam plot.
Selain dari pengucapan dialog yang kaku dan
‘dingin’, penampilan ketiga aktris utama sebenarnya bisa dibilang lebih luwes
ketimbang penampilan mereka sebelumnya. Terutama Kelly Tandiono yang kali ini
diberikan porsi jauh lebih banyak ketimbang sebelum-sebelumnya. Sosok ibu muda
yang sedang bimbang dengan dirinya sendiri, tapi masih menyisakan ego a la
sosialita kaya, mampu ditunjukkan oleh Kelly dengan keseimbangan yang cukup.
Sementara Nadine agak-agaknya tak terlalu jauh dari pembawaannya sehari-hari,
tapi karakternya terasa lebih ‘hidup’ dengan dramatisasi yang pas. Porsi Ully
Triani sebagai Maria mungkin masih di bawah Kelly dan Nadine, tapi ia mampu
memanfaatkan porsi yang dipunya untuk tampil maksimal. Bahkan ada satu momen
klimaks bagi karakternya yang cukup memorable. Untuk Ramon… well, once again
I’d say, I think Lola punya tujuan tersendiri dalam memilihnya untuk
merepresentasikan sosok Mahesa. Sebagai sedikit bumbu ‘komedi’ untuk
ditertawakan penonton dan menghindarkan film dari suasana yang kelewat serius,
mungkin. For that purpose, I guess Ramon still did it quite right.
Editing Aaron Hasim mempertegas nuansa
‘santai’ yang dikonsep sejak awal. Selain plot yang mengalir santai tapi cukup
lancar, adegan-adegan ‘pariwisata’ yang disisipkan pun tertata dengan cukup
rapih, informatif, juga enjoyable. Begitu juga musik dari Indra Perkasa dan
lagu-lagu karya Mondo Gascaro dari album Rajakelana
(Butiran Angin, Naked, dan Into the Clouds,
Out of the Ocean) yang membuat suasana ‘santai’ semakin membuai.
Sebagai sebuah sajian film ‘pariwisata’, LH
jelas berhasil mengeksplorasi (dan juga mengeksploitasi) keindahan-keindahan
alam Komodo dan Labuan Bajo dengan begitu maksimal. Ini tak lepas dari teknis
yang mumpuni, tentu saja. Jika Anda mengharapkan plot yang punya bobot sekaligus
proses perjalanan (baca: perkembangan karakter) yang solid, mungkin Anda akan
sedikit kecewa. Namun sebaliknya, jika Anda justru tak mau ambil pusing dengan
konflik yang kelewat serius, hanya ingin menikmati ‘liburan virtual’ di layar
bioskop, mungkin juga dengan sedikit kontemplasi tipis-tipis lewat
‘pancingan-pancingan’ yang disodorkan, maka dengan mudah LH menjadi sebuah
sajian yang memuaskan dahaga, baik bagi indera penglihatan, pendengaran, dan
mungkin saja, ketentraman hati serta jiwa sebagai hasil dari suasana santai.
Lebih baik lagi jika sampai membuat Anda tergerak untuk segera mengunjungi
Komodo dan Labuan Bajo. Maka misi yang diemban Lola, Titien, Sonny Seniawan, Indra
Perkasa, Mondo Gascaro, Kelly, Nadine, Ully, dan Ramon, sukses sudah.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.