The Jose Flash Review
Labuan Hati


Film adalah medium yang paling tepat untuk mempromosikan pariwisata. Dengan dukungan audio-visual yang bisa menangkap atmosferik sebuah lokasi pariwisata dan mempresentasikannya secara menggiurkan (bahkan tak jarang melebihi kondisi lokasi aslinya), film jelas punya kelebihan terunggul sebagai medium promosi. Tak salah jika kemudian banyak dinas pariwisata dari berbagai daerah memilih untuk meng-hire sineas-sineas kita untuk memanfaatkan keindahan alam dan budaya yang kita miliki, sekedar untuk latar cerita maupun subjek utama dari film. Belum lama ini kita disuguhkan Trinity: The Nekad Traveler yang jelas-jelas bertema wisata dan membawa kita ke Lampung dan beberapa lokasi wisata lainnya, kini giliran Lola Amaria yang mengajak kita berjalan-jalan ke Pulau Komodo dan Labuan Bajo bersama Nadine Chandrawinata yang image-nya sangat traveler, Kelly Tandiono, supermodel yang kian sering berakting, Ully Triani yang pernah mencuri perhatian di Stay with Me, dan Ramon Y. Tungka, lewat film bertajuk Labuan Hati (LH). Sementara naskahnya ditulis oleh Titien Wattimena yang daftar filmografinya sudah puluhan, termasuk Minggu Pagi di Victoria Park dimana ia pernah bekerja sama dengan Lola.

Indi, seorang diver wanita, baru saja tiba di sebuah resor mewah di Komodo, hasil arrangement dari sang tunangan. Padahal jiwa Indi sebenarnya lebih backpacker-type. Pertemuan dengan Bia, seorang ibu muda yang sedang menyepi, membuat keduanya cepat akrab dan memutuskan untuk melakukan perjalanan wisata bersama yang sudah diatur oleh pemandu wisata bernama Maria. Petualangan ketiganya, ditambah kehadiran Mahesa, seorang instruktur diving yang ternyata punya masa lalu dengan Indi, membuat ketiganya mengenal diri masing-masing dan satu sama lain, yang pada satu titik justru menimbulkan konflik tak terduga.
Sesuai dengan tujuan utamanya sebagai media promosi wisata, LH tau betul bagaimana membuat penonton seolah-olah diajak bersantai dan menikmati pemandangan-pemandangan panoramik yang luar biasa indah. Terutama sekali underwater shot dan aerial shot dengan kualitas gambar layak di layar lebar (tidak seperti kebanyakan aerial shot film Indonesia yang seringkali masih terlihat pecah-pecah). Thanks to sinematografi Sony Seniawan yang tau betul bagaimana ‘memanfaatkan’ natural source sesuai dengan pace dan feel yang tepat untuk dinikmati secara maksimal, seiring pula dengan pace ceritanya yang juga ‘santai’.
Speaking of plot, LH rasa-rasanya tak mau menyodorkan sesuatu yang terlampau berat. To be honest, Titien justru menawarkan treatment plot (dan juga dialog-dialog) a la opera soap untuk tema ‘self-discovery’ yang sebenarnya cukup terasa. I mean, come on… Dua wanita yang notabene ‘kelas atas’ memperebutkan sosok Mahesa yang… well, I don’t need to say it even more clearly, I guess (yang pasti ada maksud khusus mengapa Ramon Y. Tungka yang dipilih untuk merepresentasikan sosok Mahesa, bukan?). Too cheesy dan menggelikan, kalau boleh jujur. But once again, saya bisa merasakan bagaimana Lola dan Titien tak mau mengajak penonton kelewat serius terfokus pada cerita. Begini deh. Anggap saja kita sedang berlibur di tempat yang indah banget, tapi dengan mood yang kurang bagus karena sedang menghadapi masalah yang cukup pelik. Apakah kita tetap akan bisa menikmati keindahan alam di depan mata secara maksimal? I don’t think so. Mungkin alasan itulah yang membuat LH memilih jalan ‘cheesy’ a la soap opera sebagai foreground-nya, begitu juga dialog-dialog yang dibawakan dengan ‘dingin’ dan kaku oleh ketiga karakter utamanya; Indi, Bia, dan Maria.
Padahal jika mau menganalisis lebih dalam, plot yang disodorkan LH sebenarnya punya potensi kontemplatif yang lebih esensial. Tema self-discovery sebenarnya begitu kuat menjadi benang merah antara ketiga karakter; Indi, Bia, dan Maria. Indi yang berada di persimpangan antara kebebasan diri dan berkompromi sebagai kompensasi dari pernikahannya kelak, Bia yang terlalu sibuk memperkaya diri dengan quote-quote motivasi untuk menemukan jawaban atas tujuan hidupnya sendiri, dan Maria yang harus belajar untuk move on dari asmara masa lalu. Sayangnya, potensi-potensi ini hanya sekedar ditunjukkan sebagai deskripsi karakter semata, bahkan dengan resolusi yang bisa dikatakan out-of-nowhere. Agak dipaksakan untuk menganggapnya melalui proses yang natural dalam plot.
Selain dari pengucapan dialog yang kaku dan ‘dingin’, penampilan ketiga aktris utama sebenarnya bisa dibilang lebih luwes ketimbang penampilan mereka sebelumnya. Terutama Kelly Tandiono yang kali ini diberikan porsi jauh lebih banyak ketimbang sebelum-sebelumnya. Sosok ibu muda yang sedang bimbang dengan dirinya sendiri, tapi masih menyisakan ego a la sosialita kaya, mampu ditunjukkan oleh Kelly dengan keseimbangan yang cukup. Sementara Nadine agak-agaknya tak terlalu jauh dari pembawaannya sehari-hari, tapi karakternya terasa lebih ‘hidup’ dengan dramatisasi yang pas. Porsi Ully Triani sebagai Maria mungkin masih di bawah Kelly dan Nadine, tapi ia mampu memanfaatkan porsi yang dipunya untuk tampil maksimal. Bahkan ada satu momen klimaks bagi karakternya yang cukup memorable. Untuk Ramon… well, once again I’d say, I think Lola punya tujuan tersendiri dalam memilihnya untuk merepresentasikan sosok Mahesa. Sebagai sedikit bumbu ‘komedi’ untuk ditertawakan penonton dan menghindarkan film dari suasana yang kelewat serius, mungkin. For that purpose, I guess Ramon still did it quite right.
Editing Aaron Hasim mempertegas nuansa ‘santai’ yang dikonsep sejak awal. Selain plot yang mengalir santai tapi cukup lancar, adegan-adegan ‘pariwisata’ yang disisipkan pun tertata dengan cukup rapih, informatif, juga enjoyable. Begitu juga musik dari Indra Perkasa dan lagu-lagu karya Mondo Gascaro dari album Rajakelana (Butiran Angin, Naked, dan Into the Clouds, Out of the Ocean) yang membuat suasana ‘santai’ semakin membuai.
Sebagai sebuah sajian film ‘pariwisata’, LH jelas berhasil mengeksplorasi (dan juga mengeksploitasi) keindahan-keindahan alam Komodo dan Labuan Bajo dengan begitu maksimal. Ini tak lepas dari teknis yang mumpuni, tentu saja. Jika Anda mengharapkan plot yang punya bobot sekaligus proses perjalanan (baca: perkembangan karakter) yang solid, mungkin Anda akan sedikit kecewa. Namun sebaliknya, jika Anda justru tak mau ambil pusing dengan konflik yang kelewat serius, hanya ingin menikmati ‘liburan virtual’ di layar bioskop, mungkin juga dengan sedikit kontemplasi tipis-tipis lewat ‘pancingan-pancingan’ yang disodorkan, maka dengan mudah LH menjadi sebuah sajian yang memuaskan dahaga, baik bagi indera penglihatan, pendengaran, dan mungkin saja, ketentraman hati serta jiwa sebagai hasil dari suasana santai. Lebih baik lagi jika sampai membuat Anda tergerak untuk segera mengunjungi Komodo dan Labuan Bajo. Maka misi yang diemban Lola, Titien, Sonny Seniawan, Indra Perkasa, Mondo Gascaro, Kelly, Nadine, Ully, dan Ramon, sukses sudah.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.