3.5/5
Bromance
Comedy
Drama
Family
Father-and-Daughter
Friendship
Indonesia
Mother-and-son
office life
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Guys
Selepas tak ada lagi materi dari novelnya yang diangkat ke
layar lebar, Raditya Dika menjadi bebas untuk mengeksplor ide-ide di luar ranah
yang membesarkan namanya. Setelah bermain-main dengan komedi absurd nonsensical
di Hangout, ia menawarkan racikan
berbagai elemen ‘hati’ ke dalam satu adonan untuk proyek keduanya bersama
Soraya Intercine Film setelah Single
yang menyentuh angka 1.3 juta penonton lebih. Konon kesuksesan ini membuat
Soraya berani mengontrak Dika untuk beberapa film sekaligus. Namun dengan
pengumuman akan vakum sementara setelah The
Guys dan eksplorasi yang dilakukannya dari film ke film selama ini, come
back Dika nantinya jadi sesuatu yang layak untuk ditunggu-tunggu. Meanwhile,
kita nikmati dulu suguhan teranyarnya, The
Guys yang didukung Pevita Pearce, Marthino Lio, Indra Jegel, Tarsan, sampai
Widyawati Sophiaan. Tak ketinggalan Pongsiree Bunluewong atau Pukaii, mantan
atlet berkuda yang mendapatkan peran melalui audisi, dan bintang tamu aktris
Thailand terkenal, Beifern Pimchanok yang di sini dikenal lewat Crazy Little Thing Called Love.
Pemilihan aktor-aktris ini tentu sudah menjadi daya tarik tersendiri, selain
tentu saja eksplorasi seperti apa yang ditawarkan Dika kali ini.
Alfi gundah dengan keadaan hidupnya saat ini. Tak puas menjadi
karyawan di sebuah agensi periklanan, tak ada wanita yang tertarik untuk
menjadi kekasihnya, dan punya ibu yang seorang janda mandiri. Satu-satunya
penghibur laranya adalah keberadaan teman-teman satu kontrakannya; Rene, Aryo,
dan karyawan ekspat dari Thailand, Sukun. Nasibnya sedikit berubah ketika
keadaan mendekatkannya dengan seorang karyawati cantik bernama Amira. Ketika
semakin dekat, ia baru mendapati bahwa ayah Amira tak lain dan tak bukan adalah
sang bos, Jeremy. Setelah saling memperkenalkan dengan orang tua masing-masing,
tak disangka Jeremy dan ibu Alfi, Bu Yana justru saling jatuh cinta. Alfi
kembali dihadapkan pada dilema, kebahagiaan dirinya sendiri atau sang ibu yang
sudah lama hidup sendiri.
Secara keseluruhan, The
Guys sebenarnya menawarkan sebuah paket lengkap. Dibuka dengan
self-discovery, disambung dengan romance, ‘meet the parents’, dilema antara
kebahagiaan diri atau orang tua, dan terakhir, persahabatan. Sayangnya, ada
tidak keseimbangan yang membuat pertalian antara kesemua elemen plotnya masih
jauh dari solid sebagai sebuah kesatuan. Bukan soal porsi, tapi soal bagaimana
merangkaikan kesemuanya. Yang paling terasa justru elemen persahabatan yang
kesannya ingin didesain sebagai highlight utama, termasuk di judul ‘The Guys’. Misalnya saja, jika desainnya
demikian, seharusnya persahabatan menjadi titik mula cerita, bukan
self-discovery seperti yang disuguhkan di hasil akhir. In the end,
masing-masing elemen tetap terasa seperti jalan sendiri-sendiri, tidak saling terangkai
menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
Kabar baiknya, masing-masing elemen yang dirangkai punya momen
yang berhasil memikat emosi dan simpati penonton. Pun juga humor-humor khas
Dika, terutama komedi situasional yang digagas serta dikonstruksi dari setup
hingga gong yang makin rapih dan dengan timing yang semakin efektif pula. Meski
tak dibombardir dan punya rentang antar humor yang agak jauh, nyaris
keseluruhan humornya berhasil membuat saya sekedar senyum-senyum sampai tertawa
terbahak-bahak secara spontan. Of course, it’s a good thing in term of comedy.
Pemilihan cast terasa punya tujuan masing-masing dan berhasil
menjadi kekuatan di masing-masing elemen yang ingin ditampilkan. Kendati Dika
masih tampil seperti tipikal peran-perannya selama ini, kali ini karakter Alfi
yang ia bawakan terasa lebih simpatik. Marthino Lio sebagai Rene yang merupakan
debut aktingnya di layar lebar ternyata sudah sangat layak. Tak terasa ada
kecanggungan dan cukup natural. Indra Jegel yang seharusnya dipasang menjadi
karakter komedik mungkin tak selucu yang dibayangkan, tapi tingkahnya masih
berhasil sesekali memancing tawa. Pukaii justru merebut perhatian lebih besar
sebagai karakter komedik. Highlight persahabatan terasa hangat dan kuat berkat
chemistry di antara keempatnya yang terbangun baik. Pevita Pearce masih tampil
seperti tipikal peran yang ia bawakan. Sementara juaranya tentu saja Tarsan
yang effortlessly makin lucu. Apalagi chemistry yang dibangunnya dengan
Widyawati Sophiaan termasuk convincing, tak terasa terlalu dilebih-lebihkan
ataupun dipaksakan. Speaking of Widyawati, cukup salut juga ternyata ia bisa
tampil lucu. Bahkan melakoni salah satu momen yang menurut saya paling lucu
sepanjang film.
Teknis The Guys
mungkin terkesan serba sederhana, tapi kesemuanya punya efektivitas yang lebih
dari cukup dalam bercerita. Misalnya sinematografi Enggar Budiono terutama
dalam menyampaikan komedi situasi yang cukup kompleks. Perhatikan saja humor
tingkah yang menjadi latar dari dialog foreground. Dika dan Enggar mampu
menyampaikannya tanpa memecah fokus penonton. Editing Sastha Sunu pun tahu
betul bagaimana menjalankan plot a la Dika yang santai tapi tertata rapih dan
pada timing serta porsi yang serba pas. Artistik Rico Marpaung sekali lagi
berhasil menerjemahkan style Dika dengan sederhana tapi cantik, modern, dan
tetap convincing. Mulai rumah kontrakan The Guys, kantor, sampai tiap detail
rumah Pak Jeremy. Andhika Triyadi seperti biasa, mengeksplorasi score music
sesuai tema dan nuansa yang dihadirkan Dika dan punya andil emosional yang
cukup dalam berbagai momen. Meski theme score terdengar sedikit banyak terinspirasi
dari melodi Shape of You dari Ed
Sheeran. Terakhir, Bila Bersamamu, theme song yang dibawakan oleh Nidji terdengar
manis dan ear-catchy untuk nuansa film.
Tak salah jika ada yang menobatkan The Guys sebagai pencapaian terbaik dari seorang Dika. Memang di
aspek tertentu, Dika mengalami perkembangan yang cukup besar, terutama jelas
sekali di penggarapan komedi maupun drama. Namun minus yang cukup besar, yang
seharusnya menyatukan kesemua elemen menjadi kesatuan yang solid, membuat saya
urung untuk menobatkannya sebagai ‘The Best’. Mungkin bukan sepenuhnya tanggung
jawab Dika. Bisa jadi ada perbedaan kepentingan di antara Dika, Sunil, dan
Donny Dhirgantoro (5 cm.) yang
membuatnya tidak mencapai satu titik yang solid. Namun bagaimanapun The Guys punya kompleksitas di banyak
departemen dibandingkan karya-karya Dika sebelumnya. Dengan pencapaian hasil
akhir yang memang seharusnya bisa jauh lebih baik lagi, tapi setidaknya masih
punya momen-momen penting yang berhasil. And I think it’s enough.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.