3/5
Crime
Gore
Hollywood
home invasion
Horror
Indie
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Neighbor
John bekerja untuk bos mafia besar di Cutter, kota kecil di
Mississippi. Tugasnya hanya mengganti plat nomor mobil para kurir yang
mengantar narkoba. Berniat meninggalkan dunia hitam selama-lamanya, ia dan sang
istri, Rosie, memutuskan untuk berhenti setelah uang mereka terkumpul cukup.
Sehari sebelum pekerjaan terakhir, mereka berdua kedatangan tetangga yang
misterius, Troy. Perkenalan yang canggung tersebut membuat Rosie semakin curiga
tentang sosok Troy. Hingga hari H rencana kabur dilancarkan, John menemukan
Rosie hilang dari rumahnya. Maka John nekad masuk ke rumah Troy. Tak hanya
Rosie, ia juga menemukan rahasia lain dari Troy. Permainan hide-and-seek yang
mendebarkan pun dimulai.
Secara premise, apa yang ditawarkan oleh The Neighbor memang tergolong sangat standard dan formulaic. Bahkan
mungkin ‘rahasia’ dari sosok misterius bisa dengan mudah ditebak dari awal.
Namun sebenarnya tak jadi masalah selama masih mampu menjadi sajian thriller
yang mencekam, mendebarkan, maupun mengerikan. Apalagi nama Marcus Dunstan
sebagai penulis naskah sekaligus sutradara sudah punya reputasi yang cukup di
genrenya (The Collector dan The Collection), dibantu Patrick Melton
yang sudah menjalin kerjasama dengannya sejak Saw IV-VI.
Meski sempat mengalami pace yang lambat di awal, terutama
dalam memperkenalkan karakter-karakternya dan konflik yang dihadapi, The Neighbor berhasil menjadi sajian
thriller hide-and-seek yang mendebarkan, dengan beberapa jump scare yang
tergolong berhasil, bangunan suasana creepy yang… yah boleh lah, dan sedikit
gore yang meski masih tergolong ‘mild’ (baca: tak ditampilkan terlalu vulgar),
tapi cukup untuk membuat saya beberapa kali memalingkan pandangan. Adegan
‘kucing-kucingan’-nya bisa lebih maksimal memanfaatkan ‘labirin’ yang dibangun,
tapi hasil akhirnya sudah tergolong ‘just okay’.
Dengan elemen-elemen thriller yang sebenarnya tergarap baik, The Neighbor pada akhirnya tak terasa
cukup mengesankan. Mungkin faktor character investment yang serba terlalu
single-layered, tak ada kedalaman lebih, yang membuat penonton sulit bersimpati
akan nasib mereka, selain sekedar simpati atas dasar kemanusiaan umum semata. Karakter-karakter
yang single-layered ini pula yang membuat banyak visual style dan shot,
terutama di klimaks hingga konklusi, terasa sekedar style-over-substance. Belum
lagi visual style a la film 8 mm yang memang menjadi sedikit bagian dari plot
tapi penggunaannya over-used. Mengesankan sekedar ‘gaya-gaya’-an untuk
memper-creepy suasana yang ternyata belum sepenuhnya berhasil.
Look deeper, sebenarnya premise yang sangat standard tersebut
punya konsep yang menarik tentang ‘we all has our dirty secret’, yang membuat
posisi John dan Rosie sebagai protagonis tak sepenuhnya punya hak untuk
men-judge Troy sebagai antagonis. Konsep ini pula yang membuat John dan Rosie
tak punya pilihan untuk menghubungi pihak berwajib. Kemudian masih ada konsep
‘one dirty country’ yang seolah membuat seisi kota Cutter sama-sama kotornya
dan tak bisa dipercaya. Tentu ini menjadi modal yang baik untuk membangun kengerian
dan ketegangan menjadi lebih lagi. Sayangnya, kedua konsep ini pada akhirnya
menjadi kurang noticeable gara-gara kemasan terluarnya yang tidak memberikan
ruang untuk menjadi stand-out. In other word, The Neighbor masih belum bisa menerjemahkan konsep-konsep menarik
tersebut menjadi sebuah visualisasi yang solid.
Penampilan aktor-aktris yang terlibat cukup layak di balik
karakter-karakter yang terkesan hanya single-layered. Setidaknya masing-masing
masih menjalankan beban peran masing-masing dengan baik sesuai porsi
masing-masing. Josh Stewart sebagai John dengan dilematis good guy di balik
pekerjaan ‘kotor’-nya. Alex Essoe sebagai Rosie pun punya momen yang cukup
membangkitkan emosi penonton. Bill Engvall menampilkan kharismatik villain yang
cukup kuat, misterius, dan sedikit mengerikan. Ronnie Gene Blevins sebagai
Harley dan Luke Edwards sebagai Cooper di lini villain berikutnya tampil cukup
fair dan noticeable. Terakhir, tak boleh melupakan Skipp Sudduth sebagai Neil
dan Jaqueline Fleming sebagai Opsir Burs yang lumayan mencuri perhatian di
balik porsi perannya yang tak terlalu banyak.
Overall, The Neighbor
tak punya kendala berarti di teknis, kendati juga tak ada yang benar-benar
istimewa. Sinematografi Eric Leach terasa sekedar cukup efektif dalam
menyampaikan storytelling, tanpa ada inovasi atau eksplorasi yang mungkin bisa
membuat banyak momen menjadi lebih mendebarkan, seperti yang dilakukan Don’t Breathe, misalnya. Editing Andrew
Wesman pun untuk urusan timing thriller dan jump-scare masih berhasil. Hanya
saja banyak sekali transisi cut to black yang sebenarnya tak perlu dan bisa
menjadi transisi langsung antar adegan yang lebih mempertahankan tensi. Musik
dari Charlie Clouser menyumbangkan ‘bunyi-bunyian’ untuk menghadirkan nuansa
creepy. Hasilnya memang cukup creepy, tapi ketika digabungkan dengan visual,
masih terasa mentah sebagai satu kesatuan. Sound mixing agak sedikit minus di
kejernihan beberapa dialog, tapi sound effect beserta efek surround-nya
terdengar lebih layak.
Sebagai sebuah sajian thriller (dan sedikit bumbu ke arah
horror), The Neighbor masih boleh
dikatakan berhasil. Setidaknya sekedar sebagai instant entertainment bagi
penggemar thriller/horror. Namun dengan potensi-potensi yang masih banyak yang
bisa dimaksimalkan lagi, termasuk konsep-konsep menarik yang dieksekusi dengan lebih
solid, maupun character investment yang lebih mendalam, tak heran jika Anda
akan mudah melupakannya dalam waktu singkat. Still recommended enough, but just
set your expectation right. The Neighbor
tayang di bioskop-bioskop non-XXI Indonesia mulai Rabu, 19 April 2017 di bawah
bendera distribusi Feat Pictures.
Lihat data film ini di IMDb.