3.5/5
Asia
Comedy
Drama
educational
Indonesia
Pop-Corn Movie
satire
Socio-cultural
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Stip & Pensil
Sukses lewat Ngenest
dan Cek Toko Sebelah membuat Ernest
Prakasa semakin keranjingan berkecimpung di layar lebar. Proyek berikutnya
adalah sebuah komedi satir remaja yang diproduksi oleh MD Pictures dan
naskahnya ditulis oleh Joko Anwar. Speaking of satire comedy, tentu reputasi
Joko tak perlu diragukan lagi. Arisan!
menjadi salah satu buktinya. Namun untuk ‘menyesuaikan’ dengan selera humor
remaja kekinian, sejalan dengan setting cerita, Ernest sendiri, dibantu Beno
Raja Gukguk dan Arie Kriting ikut men-develop naskah Joko tersebut, terutama
untuk guyonan-guyonannya. Bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Ardy
Octaviand yang cukup berpengalaman di genrenya, seperti Coklat Stroberi dan 3 Dara.
Barisan cast-nya pun menarik. Mulai Ernest sendiri (iya, dia ‘kembali’ ke
bangku sekolah di sini!), Tatjana Saphira, Indah Permatasari, dan komika yang
akhirnya mendapat giliran berakting di layar lebar, Ardit Erwandha. Mengusung
judul Stip & Pensil (S&P)
yang begitu dekat dengan dunia pendidikan, ia mencoba menyentil banyak pihak.
Toni, Aghi, Bubu, dan Saras dikenal sebagai geng anak orang
kaya yang punya banyak musuh di sekolah. Terutama karena sikap mereka yang
sering sok paling keren dan paling jago. Ketika mendapat tugas menyusun essay
tentang masalah sosial, suatu kejadian menginspirasi mereka untuk membuat
sekolah darurat di sebuah kompleks perkampungan liar. Tentu pendekatan a la
‘borjuis’ mereka terbentur oleh tipikal sikap kaum miskin yang tinggal secara
liar. Persaingan dengan geng Edwin dan liputan YouTuber, Richard, yang berusaha
mencari-cari adanya niat buruk di balik sikap dermawan mereka, semakin
memperkeruh keadaan. Seiring dengan waktu, Toni dan kawan-kawan pun menemukan
tujuan utama mereka melakukan semua sampai sejauh itu.
Satu hal paling kentara yang patut dihargai dari S&P adalah
mengangkat tema yang berbeda dari kebanyakan film berlatar kehidupan remaja. Di
saat film remaja (apalagi di film Indonesia) lekat dengan image romansa,
S&P berani mengangkat topik kepedulian sosial. Seperti biasa, Joko
menyelipkan ‘olok-olok’ terhadap ‘borok-borok’ yang ada di masyarakat kita. Tak
hanya terhadap tipikal masyarakat bawah yang mendominasi porsi, tapi juga
kalangan atas yang direpresentasikan lewat Toni, Aghi, Bubu, dan Saras. Begitu
banyak yang disentil, bahkan terselip juga ‘kampanye’ dukungan terselubung
terhadap Ahok (entah jadwal rilis yang bertepatan dengan putaran kedua pilgub
DKI Jakarta merupakan kesengajaan atau kebetulan saja). Harus saya akui, ada
kesan kelewat bawel, blak-blakan, tapi di saat yang sama, juga berhasil menggelitik
saraf tawa. Kesemuanya dirangkai menjadi satu kesatuan plot yang terjalin cukup
rapih dan koheren, dengan kesimpulan yang ber-'hati' pula.
Sayangnya, entah faktor naskah (yang masih agak kurang solid),
directing Ardy, atau editing Aline Jusria, membuat ada beberapa bagian yang
seolah ‘terpisah’ dan berdiri sendiri dari jalinan plot utama. Padahal
sebenarnya punya pertautan yang erat dengan plot utama. Tak bisa dihindari pula
preach yang disampaikan secara verbal di sana-sini (bagi saya tak masalah
sebenarnya, apalagi kebanyakan penonton kita masih belum bisa secara maksimal
menarik kesimpulan lewat rangkaian adegan). Pace yang kelewat cepat pun membuat
momen-momen yang berpotensi berkesan menjadi terasa ‘kurang’ meninggalkan
after-taste yang bertahan lama. Pace enerjik dan cepat sebenarnya cocok untuk
style komedi seperti yang diusung oleh S&P, tapi in this case, terasa
terlalu cepat.
Keraguan akan Ernest yang mengisi peran jauh di bawah usia
sesungguhnya ternyata terjawab dengan cukup meyakinkan. Seperti biasa, kharisma
akting Ernest cukup kuat. Pun juga berhasil merajut chemistry yang luwes dengan
Ardit, Tatjana, dan Indah. Sebagai pendatang baru berlatar belakang komika,
Ardit Erwandha termasuk yang berhasil tampil memikat. Meski porsinya lebih
sebagai ‘korban’ ketimbang ‘pelaku’, peran Aghi tetap meninggalkan kesan
tersendiri. Tatjana Saphira semakin bersinar dalam menghidupkan peran Bubu,
gadis cantik yang agak telmi (telat mikir). Jika kebanyakan peran serupa lebih
memberikan kesan menjengkelkan, aksi Tatjana justru sebaliknya. Tetap memukau
lewat parasnya sekaligus mengundang tawa. Indah Permatasari juga semakin
noticeable di layar lewat peran Bubu. Aditya Alkatiri sebagai Richard dan
Rangga Azof sebagai Edwin could be the next big thing in their segment of
audience. Dukungan dari Pandji Pragiwaksono sebagai Pak Adam, Arie Kriting
sebagai Pak Toro, Gita Bhebhita sebagai Mak Rambe, dan tentu saja, Iqbal
Sinchan sebagai Ucok, memberikan ‘kemeriahan’ lebih. Terakhir, tak boleh
dilupakan penampilan Yati Surachman yang mengisi peran tipikalnya dengan
sedikit twist yang gokil dan Nazyra C. Noer yang mungkin akan membuat Anda yang
paham humor internal-nya tertawa terbahak-bahak.
Sinematografi Ipung Rachmat Syaiful sekedar cukup dalam
menyampaikan cerita dengan comedic timing yang tepat. Musik dari Aghi Narottama
pun mendukung nuansa ceria dan witty. Sayang tata suara seringkali terasa
bermasalah, terutama dalam hal sync antara gerak bibir dan suara serta beberapa
dubbing yang terasa sekali tak dilakukan oleh sang aktor sendiri (untungnya
bukan untuk peran-peran utama dan sebenarnya tergolong minor).
S&P memang masih punya kendala di sana-sini, tapi sekedar
sebagai komedi satire yang menggelitik sekaligus cerdas, masih berhasil.
Setidaknya ada sesuatu yang cukup segar di genre remaja film Indonesia. Bahkan
mungkin masih layak menjadi salah satu gem film Indonesia di tahun 2017 ini so
far.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.