3.5/5
Adventure
Animation
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Comedy
Family
Hollywood
Kid
Oscar 2018
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Boss Baby
Tahun lalu Warner Bros Animation sempat mempersembahkan Storks, sebuah film animasi yaag tak
hanya memanfaatkan mitos burung bangau sebagai pengantar para bayi dari asalnya
ke orang tua dengan bangunan konsep fantasi yang luar biasa, tapi juga punya
value yang solid baik untuk anak-anak maupun penonton dewasa. Tahun ini
DreamWorks Animations (DWA) menyuguhkan tema yang sekilas mirip (setidaknya
dari segi tema asal-usul bayi) tapi ternyata secara keseluruhan berbeda sebagai
karya ke-34-nya. Diangkat dari cergam anak berjudul The Boss Baby (TBB) karya Marla Frazee, DWA mengembangkan ide
tersebut jauh lebih luas, mendalam, sekaligus highly-imaginative, juga dengan
humor-humor khas mereka, tentu saja. Naskahnya disusun oleh Michael McCullers
yang banyak berpengalaman di naskah-naskah Saturday
Night Live, installment kedua dan ketiga Austin Powers, Baby Mama,
Mr. Peabody & Sherman, dan
melanjutkan kerjasama dengan DWA selanjutnya untuk Shrek 5. Sementara bangku penyutradaraan dipercayakan kepada Tom
McGrath yang sudah bekerja dengan DWA untuk trilogi Madagascar dan Megamind.
Dengan voice talent dari nama-nama senior, seperti Alec Baldwin, Steve Buscemi,
Jimmy Kimmel, Lisa Kudrow, dan Tobey Maguire, TBB setidaknya akan menarik
perhatian penonton yang cocok dengan style DWA.
Selama tujuh tahun Timothy Templeton merasa nyaman menjadi
anak tunggal dari pasangan Ted dan Janice. ‘Zona nyaman’ tersebut terancam
ketika tiba-tiba ada sesosok bayi yang tiba di depan rumah mereka dengan kostum
businessman. Ted dan Janice menyambut kehadiran bayi tersebut, bahkan
memperlakukannya bak anak sendiri. Tim mulai merasa cemburu atas perhatian
orang tua yang jadi berkurang kepadanya. Namun ketika memergoki si bayi bisa
berbicara bak orang dewasa dan bahkan seolah mengadakan konferensi dengan
bayi-bayi lain, Tim berniat membongkar identitas asli si bayi di depan orang
tuanya. Perseteruan pun pecah, tapi begitu mengetahui siapa sosok si bayi
sebenarnya serta tujuannya turun ke bumi, Tim berbalik membantu misi si bayi.
Tentu saja dengan tujuan yang bertolak belakang. Tim berharap setelah misi si
bayi selesai, ia bisa kembali merasakan menjadi anak tunggal tanpa perhatian
atau kasih sayang yang berkurang sedikit pun. Along the way, kerjasama mereka
justru memperkuat bonding antara keduanya. Namun menyelesaikan misi si bayi
tentu tak semudah yang dibayangkan.
Dari kemasan terluarnya, saya sempat menganggap trailer-nya
punya elemen-elemen yang aneh dan agak inappropriate. Namun ternyata dugaan
saya salah. TBB menyuguhkan sebuah kisah perseteruan yang di satu sisi punya
kedewasaan, tapi di sisi lain terasa begitu innocent. Guyonan-guyonan yang dilontarkan
lebih banyak memanfaatkan referensi-referensi pop culture yang mungkin akan
lebih bisa dipahami penonton dewasa (terutama menyangkut lagu Blackbird dari The Beatles yang ternyata
menjadi salah satu elemen penting dalam cerita), tapi juga tak meninggalkan
humor-humor slapstick yang lebih universal untuk memancing urat tawa tanpa
terkesan terlalu murahan. Ada pula elemen-elemen visual fantasi yang sangat
anak-anak yang mungkin akan membuat penonton dewasa sempat berpikir, “apaan
sih?”. Namun elemen-elemen visual fantasi tersebut justru menjadi penggugah
memori akan innocent fun masa kecil, yang mungkin memang lebih dekat dengan
penonton cilik dari segi rentang waktu.
Sama seperti kebanyakan produksi DWA, TBB juga punya caranya
sendiri untuk men-treat penonton cilik sekaligus dewasa. Tak hanya lewat
gelaran guyoann, tapi bahkan value yang berbeda untuk kedua kubu usia ini.
Penonton anak-anak akan menemukan kedekatan dengan tema brotherhood lewat
kemasan petualangan seru sekaligus menyentuh, sementara penonton dewasa mungkin
akan tersendir dengan isu global tentang kecenderungan manusia untuk lebih
memilih memelihara binatang peliharaan ketibang punya anak. Juga diingatkan
akan pentingnya menghormati perbedaan prioritas (in this case, working or
family), apalagi dengan punchline yang menohok, “You can’t miss something
you’ve never had”. Lantas kemudian kedua ‘kubu usia’ ini dipertemukan di
konklusi yang sederhana tapi cukup mendalam, relate bagi semua (termasuk
mungkin juga bagi Anda yang sampai sekarang menjadi anak tunggal dan pernah
merasakan kerinduan memiliki saudara. Lain cerita jika Anda selama ini justru
menikmati comfort zone sebagai anak tunggal) serta dihadirkan dengan
heart-factor yang berhasil menyentuh penonton.
Kebiasaan menggunakan aktor-aktris populer sebagai voice
talent membuat film-film animasi DWA punya daya tarik tersendiri. Tak
terkecuali untuk TBB. Alec Baldwin dengan suara, gesture bicara terutama dalam
menyampaikan sarkasme, tentu terasa begitu klop dengan karakter si bayi. Tak heran
jika karakternya terjaga menjadi pusat perhatian sepanjang film. Miles
Christopher Bakshi mungkin terdengar just-a-typical-boy dalam menghidupkan
karakter Tim cilik, tapi berhasil ‘menggerakkan’ penonton di momen-momen paling
emosionalnya. Jimmy Kimmel dan Lisa Kudrow sebagai Ted dan Janice, orang tua
Tim, memang tak punya porsi yang cukup bahkan untuk memberi warna tersendiri ke
dalam film sesuai personalisasi asli masing-masing. Namun suara khas mereka
tentu masih noticeable. Steve Buscemi sounds like just another villain
character dalam menyuarakan Francis Francis. It’s not bad at all karena memang
sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya. Hanya saja juga tak memberikan kesan
lebih untuk jangka waktu yang lebih lama. Terakhir, tak boleh dilupakan suara
Tobey Maguire sebagai Tim dewasa yang sekaligus mengisi narasi cerita yang
teduh dan ‘menghangatkan’. Sungguh sebuah pilihan yang sangat baik untuk
menyampaikan narasi yang punya emosi tersendiri.
Musik menjadi elemen yang cukup punya pengaruh terhadap keseluruhan
film. Selain musical score Steve Mazzaro dan Hans Zimmer yang seperti biasa
memperkuat tiap emosi momennya dengan rasa a la blockbuster, masih ada
nomor-nomor abadi yang dimasukkan untuk memberi warna lebih (selain men-treat
penonton dewasa, tentu saja). Mulai Cheek
to Cheek dari Fred Astaire, (Everytime
I Turn Around) Back in Love Again dari L.T.D., C.C. Rider dan Viva Las Vegas
dari Elvis Presley, Ladies Night
dari Kool & The Gang, dan What the
World Needs Now is Love dari Burt Bacharach yang versi kali ini dibawakan
oleh Missi Hale, serta tentu saja Blackbird
dari The Beatles yang menjadi salah satu ‘nyawa’ dari plot.
Secara keseluruhan, TBB tampak punya semua yang dibutuhkan
untuk menjadi animasi yang menghibur sekaligus memuat cukup banyak value, baik
bagi penonton anak-anak maupun dewasa. Namun mungkin juga karena upaya untuk
men-treat kedua ‘kubu usia’ secara seimbang, ada kalanya TBB terasa ‘kendor’
dalam bertutur. Namun jika dibandingkan dengan keberhasilannya ‘merangkul’
kedua kubu usia ini, maka kekurangan-kekurangannya masih bisa diabaikan. Selain
memang bukan pekerjaan yang mudah, setidaknya secara keseluruhan TBB masih bisa
dianggap berhasil mencapai tujuan-tujuan yang sudah disasar sejak awal. Storks, in other hand, masih terasa
lebih solid. Namun saya harus mengakui keduanya punya charm masing-masing yang
berbeda. In the end, baik penonton
dewasa maupun anak-anak bisa dibuat ‘akur’ bukan? Then it works as a family
movie.
PS: Jangan buru-buru keluar dari teater, ada after credit scene yang menarik dan cukup menghibur.
Lihat data film ini di IMDb.PS: Jangan buru-buru keluar dari teater, ada after credit scene yang menarik dan cukup menghibur.
The 90th Academy Awards Nominee for:
- Best Animated Feature Film