The Jose Flash Review
Guardians of the Galaxy Vol. 2


Meski baru punya satu installment di Marvel Cinematic Universe (MCU) dan belum sepopuler superhero-superhero The Avengers, Guardians of the Galaxy (GotG) ternyata mampu menarik perhatian banyak pihak. Tak hanya fans komiknya, tapi juga mengundang fans-fans baru berkat keunikan formulanya. Petualangan luar angkasa bak gabungan Star Trek dan Star Wars dengan bumbu musik-musik populer era 70-80’an yang membuat adegan-adegan aksinya terasa lebih groovy. Kelanjutan franchise-nya sebagai bagian dari MCU sudah bisa dengan mudah dipastikan. Spekulasi selanjutnya adalah bagaimana kisah GotG bersimpangan dengan timeline The Avengers. Maka sekuelnya, Guardians of the Galaxy Vol. 2 (GotGV2) yang masih didukung oleh hampir semua cast dan crew dari film pertamanya ditambah aktor-aktris, membuatnya makin ditunggu-tunggu. Tak ketinggalan tracklist soundtrack di installment ini yang sudah menjadi salah satu perhatian utama penonton.

Para ‘penjaga galaksi’ kita; Star Lord, Gamora, Rocket, Drax, dan Baby Groot sedang dalam misi dari Ayesha, pemimpin ras Sovereign. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan saudari Gamora, Nebula, yang mereka tangkap karena mencuri baterai milik mereka. Diam-diam Rocket ikut mencuri baterai tersebut. Menyadari hal tersebut, mereka dikejar-kejar oleh pesawat tanpa awak Sovereign. ‘Juru selamat’ mereka adalah sosok misterius, Ego, yang mengaku sebagai ayah Star Lord. Ego membawa mereka ke planetnya yang luar biasa indah, sementara Rocket, Baby Groot, dan Nebula terpisah. Ayesha lantas membayar Yondu dan kru Ravager-nya untuk memburu mereka semua. Siapa sangka Yondu sendiri dikhianati oleh letnan-nya, Taserface yang mengkudeta dengan bantuan Nebula. Petualangan masing-masing pun dipertemukan ketika Ego mulai menunjukkan identitas asli dan tujuannya terhadap para ‘penjaga galaksi’.
Masih melanjutkan petualangan a la Star Trek yang semakin kental dengan bumbu family affair yang terasa lebih personal ketimbang konflik yang ditawarkan di installment pertama. Konflik keluarga inilah yang otomatis membuat unsur Star Wars ikut terasa lebih banyak lagi selain sekedar desain-desain universe yang sudah ditunjukkan sejak installment pertama. Tema father-and-son lewat hubungan antara Star Lord dan Ego memang lebih mendominasi sehingga membuatnya seolah menjadi topik utama. Namun tunggu dulu. Jangan lupakan sub-plot hubungan antara Gamora dan saudarinya, Nebula, yang semakin terkuak di sini. Ternyata ada benang merah tentang parenthood yang menjadi latar belakang permusuhan di antara keduanya. Isu sejalan dengan plot utama yang memang membahas bagaimana parenthood mempengaruhi perkembangan si anak, dan tentu saja tanpa batasan ‘kandung’ atau ‘tiri/angkat’. Tema ‘keluarga’ ini yang tak hanya membuat GotGV2 terasa lebih personal, tapi juga jauh lebih hangat dengan momen-momen berkesannya.
Naskah pun memberikan porsi yang sama besar dan sama menariknya untuk kesemua karakter. Tak hanya untuk kelima karakter utama, tapi juga karakter-karakter pendukung yang juga punya momen-momen berkesan tersendiri. Seperti Yondu, Nebula, Mantis, dan tentu saja, Ego. Kendati demikian, kesemuanya berhasil dipertemukan menjadi satu kesatuan yang solid dan saling mendukung, tanpa ada salah satu sub-plot yang terasa berdiri sendiri.
Tema tersebut masih dibungkus adegan-adegan aksi petualangan yang kurang-lebih setara dengan installment pertama. Lebih fantastical, seru, dan inovatif malah. Gunn (dan sinematografi Henry Braham, tentu saja) seolah tahu betul bagaimana memanfaatkan format IMAX 3D secara maksimal. Tak hanya sekitar 80% adegan yang menggunakan aspect ratio 1.90:1, yang membuat tampilan visualnya semakin memanjakan mata, tapi juga shot-shot yang panoramic dan first-person POV melimpah yang membuat adegan-adegan di GotGV2 terasa seperti sebuah ride (wahana) simulator di taman bermain yang luar biasa seru dan nyaris non-stop. Format 3D-nya pun menawarkan depth-of-field di atas rata-rata dengan pop-out gimmick yang juga banyak dan mengasyikkan.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut, bukan berarti GotGV2 tanpa kelemahan. Yang paling saya rasakan adalah terlalu banyak back-story yang ditampilkan di sini sehingga butuh waktu untuk mencerna, menganalisis, dan menggabungkannya menjadi satu cerita yang utuh. Cukup bersabar dan tidak malas menganalisis antar adegan, maka sebenarnya tak sulit untuk menarik kesimpulan dari plot yang disusun.
Aktor-akris pengisi kelima karakter utamanya; Chris Pratt, Zoe Saldana, Dave Batutista, Bradley Cooper, dan Vin Diesel, masih melanjutkan peran masing-masing dengan kualitas kurang lebih setara, bahkan sedikit lebih ‘menonjol’ berkat porsi karakter yang juga makin meningkat. Pun juga chemistry antar karakter yang tak kalah kuat, seperti misalnya Chris Pratt dan Kurt Russell, Chris Pratt dan Michael Rooker, Zoe Saldana dan Karen Gillian. Jangan lupa juga penampilan kejutan dari Sylvester Stallone dan Michelle Yeoh yang begitu mencolok kendati porsinya terkesan seperti sekedar cameo. Oh ya, seperti biasa Stan Lee muncul sebagai cameo yang konon bisa menjelaskan bagaimana ia bisa muncul di semua film Marvel dengan karakter-karakter yang seolah berbeda-beda.
Selain sinematofrafi Henry Braham yang memaksimalkan teknologi menjadi sajian tontonan yang seru bak wahana di taman hiburan, editing Fred Raskin dan Craig Wood patut mendapatkan kredit atas ketepatan momentum di tiap kebutuhan adegan, keseimbangan porsi tiap karakter, dan upaya pembangunan tubuh plot dari sub-plot-sub-plot yang ada. Desain produksi Scott Chambliss dan tim art-nya membangun universe GotG menjadi makin luas dan berwarna. Score music dari Tyler Bates sangat mendukung feel blockbuster-nya, ditambah sedikit kemegahan choir yang terdengar semakin Star Wars. Pilihan soundtrack-nya mungkin tak sepopuler dan se-earcatchy di installment pertama (apalagi bagi kita di Indonesia). Namun bisa jadi disengaja untuk mempopulerkan kembali lagu-lagu tersebut. For that purpose, I think GotGV2 cukup berhasil. Coba ngaku siapa yang kemudian mencari-cari playlist soundtrack ini di Spotify atau perangkat-perangkat lain! Terakhir, sound design dan sound mixing menjadi pilar penting yang membuat adegan-adegan dahsyatnya semakin ‘hidup’, termasuk pemanfaatan surround yang terdengar maksimal di teater IMAX.
Dibandingkan installment pertama, GotGV2 sebenarnya masih tergolong punya kualitas yang kurang lebih setara. Pembedanya ada pada isu utama yang diangkat, yaitu tentang parenthood. Meski tak sampai menjadi kelewat istimewa (simply karena tema serupa juga sering diangkat di film), apa yang dibangun di sini termasuk solid dan punya pembagian porsi karakter yang seimbang. That’s more than just decent enough. It’s very good, actually. Sisanya, tergantung selera saja, mana yang lebih baik (baca: lebih sesuai dengan selera masing-masing). Yang pasti petualangan GotG tentu masih akan terus berlanjut dan menyisakan rasa penasaran aspek mana lagi yang akan digali berikutnya, serta tentu saja bagaimana ia akan dipersatukan dengan Marvel Cinematic Universe utama kelak. Melihat trailer Thor: Ragnarok yang punya tone warna semakin ke arah GotGV2, seharusnya sudah mulai bisa memunculkan spekulasi-spekulasi baru. Oh ya, tak lupa juga saya mengingatkan untuk tetap duduk selama credit title karena ada lima mid-credit dan after-credit scenes yang menurut saya, tiga di antaranya penting, sementara dua di antaranya menarik. Have a fun ride!
Lihat data film ini di IMDb.

The 90th Academy Awards Nominee for:

  • Best Achievement in Visual Effects
Diberdayakan oleh Blogger.