2.5/5
Drama
Indie
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Lavender
Jane, seorang fotografer wanita, seorang istri dan ibu satu
putri, mulai mengalami halusinasi yang mungkin merupakan kepingan-kepingan
petunjuk atas apa yang dilaluinya ketika masih kecil, setelah mengalami
kecelakaan mobil tunggal.
Basically, hanya itu premise sekaligus sinopsis dari Lavender, film drama thriller yang
disutradarai oleh Ed Gass-Donnelly, sutradara Kanada yang mulai dikenal lewat
film This Beautiful City (2007) dan The Last Exorcism Part II (2013) dan
penyusunan naskahnya turut dikerjakan oleh Colin Frizzell. Tergolong generik di
genre thriller mystery, memang. Namun sebenarnya tak jadi masalah selama naskah
punya balutan misteri yang menarik untuk diungkap lewat perkembangan plot yang
bikin penasaran. Sayang, Lavender
bukan salah satunya. Sebagian besar durasinya diisi oleh halusinasi-halusinasi
surreal yang dialami Jane secara berulang (tapi dengan sedikit variasi) yang
tak membuat plot berjalan kemana-mana, apalagi penyingkapan misteri layer demi
layer seperti yang diharapkan rasa penasaran penonton. Pengungkapan misteri
yang ternyata biasa-biasa saja, masih ditambah aftermath misi penyelamatan pun
tak menambah gairah apa-apa kepada penonton yang sudah terlanjur jengah dengan
segala halusinasi bertubi-tubi yang tak punya batas jelas antara halusinasi dan
realita.
Jika mau dianggap sebagai sedikit ‘penyelamat’, nama
aktor-aktris yang cukup populer di lini terdepannya bisa jadi salah satunya.
Terutama Abbie Cornish (Limitless, Sucker Punch, Seven Psycopaths, RoboCop (2014))
yang porsinya paling mendominasi. Di tengah pengembangan karakter yang tidak
jelas, aktingnya masih meyakinkan kepada penonton bahwa karakternya punya
kedalaman lebih. Terlepas sebenarnya memang ada atau tidak. Sebaliknya, Dermot
Mulroney sebagai Patrick terkesan mubazir dengan porsi peran yang ternyata tak
terlalu banyak (apalagi berkesan) kendati punya andil cukup penting dalam
cerita. Begitu juga dengan Diego Klattenhoff sebagai Alan yang kehadirannya
terasa tenggelam kendati sebenarnya punya porsi cukup.
Di porsi yang lebih sedikit, Justin Long masih beruntung
memerankan karakter Liam yang berakhir positif. Setidaknya dengan kehadirannya
sebagai aktor yang cukup populer, bisa sedikit membuat karakternya noticeable.
Terakhir, aktris cilik Lola Flanery sebagai Alice menjadi pencuri perhatian
tersendiri sepanjang film, terlebih karena performa yang tergolong baik untuk
ukuran usianya.
Sinematografi Brendan Steacy masih suportif terhadap
visualisasi-visualisasi surreal-nya desain produksi Oleg M. Savytski dengan
camera work yang dramatis pula. Meski jika dibandingkan dengan film-film
sejenis, tak juga menjadi istimewa. Editing Dev Singh membuat pace Lavender sekedar sesuai dengan nuansa
serta feel yang ingin dibangun. Soal hasil akhirnya ternyata melelahkan, itu
karena perkembangan plot yang memang bergerak kelewat lambat. Terakhir, musik
dari Sarah Neufeld dan Colin Stetson pun sekedar mengiringi nuansa-nuansa eerie
dan suspense, tanpa punya keunikan maupun daya memorable tersendiri, termasuk
alunan lagu daerah Inggris yang
dijadikan judul, Lavender’s Blue,
yang tak memberikan impact tertentu setelah film berakhir.
Kendati tergolong generik, plot Lavender sebenarnya masih punya potensi menjadi sajian misteri yang
menarik jika dikembangkan dengan layak dan skill storytelling yang lebih tajam.
Sayangnya Ed Gass-Donnelly masih belum mencapai level tersebut di Lavender. Masih cukup jauh, malah.
Lihat data film ini di IMDb.