Masyarakat awam internasional, tak terkecuali Indonesia,
mungkin hanya mengenal industri film India sebagai Bollywood. Padahal selain
Bollywood yang berpusat di India Utara, masih ada industri film lainnya di
bagian Selatan India yang juga berpengaruh, yaitu Telugu (disebut Tollywood),
Tamil (Kollywood), Malayalam (Mollywood), Kannada (Sandalwood), dan Tulu
(Coastalwood). Masing-masing punya ciri khas dan bahasa daerah sendiri. Meski
Bollywood masih menguasai pasar, tak sedikit produksi Tollywood yang berhasil
menembus pasar nasional, bahkan internasional. Sering pula film Tollywood yang
di-remake oleh Bollywood. Fasilitas produksi film di Tollywood pun sudah
memegang rekor Guinness World Record sebagai yang terbesar di dunia dan
pusatnya, Hyperabad, punya layar IMAX 3D yang menjadi salah satu terbesar di
dunia. Seringkali penonton awam cenderung menyamaratakan produksi film India
dengan sebutan Bollywood. Misalnya saja cuplikan adegan-adegan film yang
non-sensical sebagai bahan becandaan (meme) yang sebenarnya banyak berasal dari
Tollywood, bukan Bollywood. Benar, salah satu ciri khas produksi Tollywood
adalah adegan-adegan (biasanya aksi) yang non-sensical. Seringkali menggelikan
memang, tapi harus diakui, inovatif dan kerap menginspirasi adegan-adegan
fantastikal lainnya di berbagai industri film.
Ambisi Tollywood semakin terlihat ketika memproduksi sebuah
epic bertajuk Baahubali: The Beginning
(BTB - 2015) karya sutradara S. S. Rajamouli yang memakan dana 180 crore,
dengan 90% film (konon mencapai 2.500 shot) melnggunakan polesan visual effect
yang dikerjakan oleh 600 artis VFX dari 18 studio asal Hyperabad, Malaysia, dan
Korea Selatan. Hasilnya memang tampak luar biasa, apalagi berhasil meraih box
office sebesar 650 crore di seluruh dunia. Memecahkan rekor pendapatan
internasional untuk film India, termasuk Amerika Serikat, pasar yang notabene
paling sulit ditembus.
Tahun 2017, dengan cast dan crew yang kurang lebih sama, S. S.
Rajamouli melanjutkan proyek akbar ini dengan Baahabuli: The Conclusion (BTC) dengan budget lebih lagi, yaitu 250
crore dan diproyeksikan akan mendulang sukses yang lebih besar pula. Terbukti,
rekor kembali pecah. Sebanyak 415 crore terkumpul dari seluruh penjuru India
hanya dalam tiga hari, Bahkan di Amerika Serikat sendiri, BTC menjadi film
India berpendapatan tertinggi sepanjang
masa dengan angka US$ 12.6 sampai tulisan ini diturunkan, melebihi Dangal. Praktis, di tangga box office
Amerika Serikat, BTC menduduki posisi ketiga, mengalahkan The Circle. Beruntung, kita di Indonesia punya kesempatan menonton
dan merasakan hype-nya berkat distributor MVP.
Melanjutkan kisah dari BTB, BTC dibuka dengan narasi Kattappa,
budak kerajaan Mahismati yang sudah mengabdi selama sekian generasi dan
menjabat sebagai komandan prajurit, tentang sosok Amarendra Bahubali setelah
diangkat oleh Ibu Suri Sivagami menjadi Raja, sementara Bhallala Deva,
sepupunya yang juga sempat menjadi kandidat calon Raja, menjadi Komandan
Pasukan tertinggi. Ibu Suri kemudian mulai mencarikan permaisuri untuk
Amarendra, padahal ia sendiri jatuh cinta pada Devasena, putri kerajaan kecil
bernama Kuntala. Mendengar kabar Amarendra yang menyamar menjadi rakyat jelata
di Kuntala demi mendekati Devasena, muncul niatan Bhallala Deva untuk ‘merebut’
Devasena agar dinikahkan oleh Ibu Suri. Kesalah pahaman menciptakan ketegangan
antara kedua kerajaan hingga nyaris meletus peperangan. Sayangnya rencana jahat
Bhallala Deva berjalan lebih mulus.
Amarendra dan Devasena dicopot dari jabatannya dan diusir dari kerajaan,
sementara Bhallala Deva naik takhta menjadi Raja. Kattappa yang bersimpati pada
Amarendra tapi tak bisa meninggalkan tugasnya sebagai abdi keluarga kerajaan
berada pada pilihan untuk menghabisi Amarendra. Pada setting berbeda, Mahendra
Baahubali, putra Amarendra, tengah mengerahkan pasukan untuk membalas dendam
terhadap Bhallala Deva dan merebut kembali takhta mendiang sang ayah.
Pertanyaan yang paling sering saya dengar tentang film sekuel
adalah, “kalau belum nonton film sebelumnya masih bisa nyambung nggak?”.
Menjawab pertanyaan tersebut, sebelumnya saya ingin memuji struktur penceritaan
Baahubali secara keseluruhan yang
bisa dikatakan unik. Jika dianalogikan urutan angka secara kronologis, BTB
dimulai dari 3 dan dilanjutkan 1, sementara BTC dibuka dengan 2 dan 4. 1 dan 2
memang melanjutkan secara langsung dari narasi flashback yang disampaikan oleh
karakter Kattappa. Namun jika Anda belum menonton BTB, awal BTC bak perkenalan
sosok Baahubali Senior alias Amarendra sebagai ‘cikal bakal’ dari kisah
keseluruhan. Sedikit cuplikan 3 dari BTB yang menjadi bridge ke 4. Sekilas tapi
cukup menjelaskan. Jika ingin tahu detail kejadiannya, bisa menyimak BTB
setelah selesai menonton BTC. Strutktur unik ini yang membuat hikayat Baahubali bisa mulai ditonton dari seri
yang mana saja. Bagi yang menonton dengan urutan BTB kemudian baru BTC,
eksalasi ‘wow’ factornya memang lebih terasa karena BTC punya kadar yang
berlipat-lipat dari BTB. Mulai tampilan vfx yang makin banyak, detail, dan
megah (lihat saja tampilan hewan-hewan raksasa seperti gajah yang 100% CGI!),
hingga adegan-adegan aksi yang makin inovatif, gila-gilaan, ‘non-sensical’ tapi
ditampilkan dengan begitu meyakinkan sehingga terkesan masih masuk akal dan
tentu saja, menakjubkan (lihat saja adegan ‘ketapel manusia’ itu!). Sementara
jika Anda menyaksikan BTC dulu baru BTB, mungkin eksalasi-nya tak sedahsyat
dengan urutan pertama, tapi akan menemukan detail-detail penjelasan yang
menarik setelah mendapatkan semua esensi-esensi cerita dari BTC. So, it’s your
choice what order you’re going to experience it.
Ditilik dari segi plot, BTC jelas terasa lebih ‘padat’
ketimbang BTB, mengingat lebih banyak kejadian yang harus disampaikan sebagai
jawaban dari apa yang sudah disuguhkan di BTB. Mulai bagaimana kisah di balik
cikal bakal tragedi di Kerajaan Mahismati yang cukup panjang, dan bagaimana
Mahendra menuntaskan apa yang sudah diwariskan dari mendiang sang ayah.
Sementatara secara garis besar, BTB hanya memuat perkembangan sosok Mahendra
dan perang akbar a la The Return of the
King dari seri The Lord of the Rings, bagaimana Amarendra bisa diangkat
menjadi Raja di Mahismati. Alhasil dengan cukup banyak kejadian yang harus
disampaikan, ditambah skill storytelling Rajamouli yang serba mulus,
suguhan-suguhan visual spectacle yang begitu memanjakan mata, dan adegan-adegan
akbar inovatif yang mencengangkan serta sangat memorable, durasi yang mencapai
171 menit pun seolah terlewati tanpa terasa. Dramatisasi berlebihan a la
sinetron India di banyak kesempatan pun tak lagi terasa menjadi elemen yang
mengganggu ataupun menggelikan.
Mengisi peran sentral, Amarendra Baahubali dan Mahendra
Baahubali, Prabhas jelas punya kharisma yang sangat kuat. Sosok Amarendra
maupun Mahendra menjelma menjadi pahlawan mengagumkan seolah tanpa tanding
mendominasi durasi. Anushka Shetty sebagai Devasena mengimbangi dengan pesona
kecantikan fisik dan action-skill yang tak kalah mengagumkan. Chemistry yang
mereka bangun bersama pun terkesan manis dan simpatik. Rana Daggubati sebagai
karakter antagonis, Bhallala Deva, punya porsi yang sedikit lebih beasr
daripada di BTB, tapi kharismanya masih tidak sekuat Prabhas. Kendati demikian,
ia tergolong lebih dari cukup meyakinkan untuk menjadi lawan yang seimbang bagi
Amarendra maupun Mahendra. Ramya Krishnan sebagai Ibu Suri Sivagami mencuri
perhatian berkat kharisma keibuan yang powerful, dan tak lupa Sathyaraj sebagai
Kattappa yang porsinya makin banyak dan membuat karakternya semakin simpatik.
Tak hanya tampilan VFX yang luar biasa (kecuali untuk potongan
patung emas raksasa yang mengambang sepanjang sungai di epilog yang terlihat
paling ‘kasar’), sinematografi K. K. Senthil Kumar tahu betul bagaimana
menampilkan potensi-potensi serta dukungan mumpuni-nya terlihat sangat megah.
Tak jarang one-person POV shot digunakan untuk menambah keseruan bagi penonton
seolah ikut terlibat di dalam adegan. Editing Kotagiri Venkateswara Rao pun
layak mendapatkan pujian dalam membuat laju plot berjalan mulus di balik
strukturnya yang back-and-forth dengan pemenggalan episode yang penuh
perhitungan sehingga nyaman diikuti oleh penonton yang belum menonton seri
pertamanya. Tentu momentum-momentum adegan aksi seru dan sadisnya yang terasa
serba tepat.
Dibandingkan BTB, BTC tak punya nomor musikal khusus dengan
performance seperti sebelumnya. Namun nomor-nomor musikal pengiring dan score
dari M. M. Keeravani jelas mempertegas kemegahan hikayat Baahubali. Dukungan sound mixing yang terdengar begitu jernih tapi
renyah dengan deep-bass yang mantap, memperdahsyat efek dari adegan-adegan yang
disuguhkan. Tentu fasilitas surround yang termanfaatkan maksimal turut
menghidupkan film.
BTC adalah sebuah fenomena, baik di perfilman India, maupun
film internasional. Maka sangat sayang rasanya jika sampai melewatkan menjadi
salah satu saksinya. Toh, BTC memang layak mendapatkan segala hype dan
kesuksesannya. Plot fiktif yang menarik (kendati sebenarnya merupakan perpaduan
dari berbagai kisah mitologi dunia), storytelling yang enak dan asyik diikuti,
visual spektakel yang memanjakan mata, hingga adegan-adegan aksi inovatif yang
mencengangkan. Tak perlu khawatir jika merasa belum menonton BTB, karena Anda
masih akan dengan mudah mengikuti dan memahami plotnya. Bukan tidak mungkin
setelah menonton BTC, Anda menjadi penasaran dengan BTB. Well, in that order or
otherwise, hikayat epik Baahabuli tetap
mudah diikuti dan sama-sama terasa luar biasa.
P.S.: BTC di-shot dalam dua pilihan versi bahasa, yaitu Telugu
dan Tamil. Keduanya di-shot sendiri-sendiri secara simultan. Sementara versi
bahasa Hindi merupakan dubbing-an. Namun jangan khawatir. Dubbing-nya tergarap rapi
dan bagus. Bagi penonton yang kurang (tidak) familiar dengan bahasa Hindi tak
akan merasakan keanehan yang mencolok.
Lihat data film ini di IMDb.