The Jose Flash Review
Fast & Furious 8
[The Fate of the Furious]

Tak perlu diragukan lagi, franchise Fast and Furious (FF) sudah menjelma menjadi brand jaminan mutu berkat penggalian pengembangan cerita yang meski sudah semakin melebar ke mana-mana tapi punya relevansi dengan titik awal serta tentu saja inovasi-inovasi sekuens spektakel yang justru menjadi alasan utama penonton selalu rela berbondong-bondong ketika installment terbarunya rilis. Sudah sampai installment ke-delapan tapi masih belum menunjukkan tanda-tanda kehabisan energi. Justru dengan tambahan karakter di tiap installment membuat seri-seri FF makin meriah. Naskahnya masih dikerjakan oleh Chris Morgan (penulis naskah franchise FF sejak The Fast and the Furious: Tokyo Drift - 2006), sementara bangku penyutradaraan kali ini dipercayakan kepada F. Gary Gray (A Man Apart, The Italian Job, Be Cool, dan Straight Outta Compton) yang menjadi sutradara kulit hitam kedua di franchise FF (yang pertama John Singleton di 2 Fast 2 Furious). Aktor-aktris lini terdepan kembali hadir, ditambah kembalinya karakter-karakter yang sempat absen, dan tentu saja karakter-karakter baru yang makin menambah kemeriahan installment yang diberi tajuk The Fate of the Furious di negara asalnya (Fast and Furious 8 – FF8 - di beberapa negara lain).

Dom Toretto dan Letty hidup tenang di Kuba. Ketenangannya diusik ketika seorang wanita kulit putih berambut braided, Cipher, muncul dan menunjukkan sesuatu yang bak menghipnotis Dom untuk mengikuti segala perintahnya. Sebuah misi penting dari Nobody yang melibatkan Hobbs dan seluruh tim Dom digagalkan oleh Dom yang membuat Hobbs harus mendekam di penjara. Nobody yang geram akhirnya mengumpulkan Hobbs, seluruh tim Dom; Letty, Roman, Tej, Ramsey, dan bahkan Deckard Shaw untuk mencari tahu ada apa dibalik membelotnya Dom. Tentu saja bagi Letty, ini menyangkut urusan personal karena ia percaya Dom tak mungkin mengkhianati ‘keluarga’-nya begitu saja.
Dari sinopsis dan trailernya, hanya satu impresi saya: secara plot, FF dikembangkan bak soap opera. Well, impresi ini sudah terasa sejak installment keempat, tapi karena dikembangkan dengan baik ke arah yang baik pula, saya sama sekali tak pernah ambil pusing. Apalagi tujuan utama dari fans-nya (dan juga tentu saja penonton umum) adalah adegan-adegan aksi yang memicu adrenalin sekaligus spektakuler. Secara keseluruhan, FF8 memang masih menggunakan pattern dan formula yang kurang lebih sama dengan seri-seri sebelumnya. Namun highlight terbesar saya adalah inovasi-inovasi sekuens yang membuat saya speechless dan bertanya-tanya mereka dapat ide dari mana sih. Selain itu elemen kekeluargaan yang seperti biasa, menjadi highlight tak kalah penting, yang somehow tetap terasa begitu hangat, terutama di konklusi. Apalagi kehadiran ‘extended family’ dengan pemilihan cast yang tak kalah menariknya, semakin memper-solid tema keluarga dari franchise FF8.
Bergesernya dari tema street racer ke espionage a la Mission: Impossible atau let’s say yang paling mendekati, xXx (yang juga dibintangi oleh Vin Diesel) tak pula menjadi problem berarti. Selama masih melibatkan kebut-kebutan dengan fancy racing cars dan elemen-elemen penting khas, FF masih menjadi sebuah franchise dengan keunikan-keunikannya tersendiri, yang image-nya sudah terbangun dengan begitu kuat. FF8 malahan diperkaya oleh elemen-elemen aksi yang tak kalah memanjakan mata, seperti aksi pertarungan tanpa senjata di adegan prisonbreak yang ditata dengan energi yang dinamis.
Di tangan Gray, FF8 tak punya kendala berarti dalam menyuguhkan adegan-adegan aksi pemicu adrenaline. Memang punya perbedaan style dengan Justin Lin maupun James Wan, tapi dengan pengalamannya di film-film sejenis (terutama The Italian Job) Gray masih sangat berhasil menyuguhkan adegan-adegan laga dengan camera work Stephen F. Windon yang sangat mendukung adrenaline rush dan berkali-kali membuat saya terhenyak dari bangku, sekaligus editing Christian Wagner dan Paul Rubell yang tau betul timing dari setiap adegan dan porsi yang disuguhkan.
Elemen humor menjadi highlight yang tak kalah penting. Mulai dialog-dialog bereferensi (terutama menyangkut karakter Hobbs dengan karakter-karakter yang pernah dilakoni Dwayne Johnson sebelumnya) hingga pemanfaatan Jason Statham yang terbukti lucu di ranah komedi.
Terakhir, FF8 juga menampilkan adegan poetic. Jika di FF7 ada adegan poetic sebagai tribute kepada karakter Brian yang diperankan Almarhum Paul Walker, kali ini ada adegan poetic tentang sebuah kejadian yang bisa ‘menjerat’ sekaligus ‘melindungi’ (in this case, referring to Dom).
Line-up aktor-aktris tetap, seperti Vin Diesel, Michelle Rodriguez, Tyrese Gibson, Chris ‘Ludacris’ Bridges, Nathalie Emmanuel, dan Dwayne Johnson, rata-rata masih memberikan performa lanjutan yang setara dari installment-installment sebelumnya. Mungkin sedikit perkembangan untuk Vin Diesel yang punya emotional moment lebih banyak, mendalam, dan dibawakan dengan cukup menyentuh. Kurt Russell sebagai Mr. Nobody diberi porsi lebih banyak dan tentu saja jadi lebih menarik. Kehadiran kembali Jason Statham yang porsinya juga lebih banyak membuat nuansa film menjadi lebih menghibur, termasuk Helen Mirren di peran tak terduganya. Charlize Theron yang membawakan peran antagonis, Cypher, sedikit mengingatkan saya akan peran sejenis di Prometheus maupun peran Toni Collette di xXx: Return of Xander Cage yang masih beberapa bulan lalu, tapi she nailed it perfectly. Sementara Scott Eastwood sebagai karakter baru, Eric Reisner, masih belum diberi porsi yang cukup untuk mencuri hati penonton, tapi bisa jadi menggantikan sosok Brian di ‘keluarga FF’.
Score music dari Brian Tyler masih tak beranjak jauh dari installment-installment sebelumnya dan nuansa-nuansa khas blockbuster, tapi masih cukup ampuh dalam mengiringi sekaligus memperkuat adrenaline rush-nya. Seperti biasanya pula, FF8 diperkaya dengan pemilihan soundtrack yang eksotis, dengan energi yang sesuai (terutama lewat musik hip-hop dan rap), dan yang paling saya notice karena kesesuaian dengan tema, Good Life dari G-Eazy & Kehlani. Sound mixing cukup membangun keseruan dengan keseimbangan antar elemen suara yang pas, jernih, dan dahsyat, meski untuk genre action, masih tergolong standard. Sayang format 3D tak memberikan kontribusi apa-apa selain memperjelas gambar yang ‘sengaja di-blur’.
IMAX menjadi format opsional mengingat film apa saja akan terasa lebih megah di layar akbar IMAX. Apalagi FF8 punya customized IMAX countdown bumper. Lebih dari itu, format IMAX tak memberikan kelebihan lain karena aspect ratio yang digunakan 2.35:1. Saya sendiri masih tertarik untuk re-experience di format Dolby Atmos dan 4DX. I’d update about this later.
Sudah sampai installment ke-delapan, saya masih saja dibuat kagum dengan inovasi-inovasi sekuen yang semakin lama semakin ‘gila’, energi karakter-karakter yang belum mengendur, pun juga kehangatan tema keluarga yang seolah tak pernah luntur sekaligus membuat saya spontan tersenyum. Setelah di-‘pegang’ sutradara berkulit putih (Rob Cohen), beretnis Asia (Justin Lin dan James Wan), dan berkulit hitam, agaknya FF perlu mencoba sutradara Hispanic kelak. Apalagi sejak awal FF mengangkat kultur Latino yang cukup kental. Semoga saja franchise FF selalu punya cara untuk membuat tiap installment-nya tetap menarik. Kudos!
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.