4/5
Asia
Based on a True Event
Based on Book
Biography
Drama
feminism
History
Indonesia
Socio-cultural
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Kartini
Di antara pahlawan-pahlawan nasional terutama yang wanita, nama R. A.
Kartini hingga kini masih berada pada jajaran lini terdepan. Bahkan punya hari
nasional khusus yang diperingati tiap tahun. Namun untuk popularitas sebesar
itu, sosok Kartini bagi kebanyakan orang Indonesia mungkin hanya dikenal
sebagai pahlawan pejuang emansipasi wanita yang punya buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Tak banyak
yang tahu seperti apa perjuangan yang ia lakukan sebenarnya. Pun juga tak
banyak yang tertarik mengangkat kisah hidupnya dalam medium audio-visual.
Mungkin ada kebingungan seperti apa bentuk penyampaiannya atau bagaimana
memilih range waktu yang tepat untuk merangkum perjuangannya. Mungkin juga
faktor tak ada bentuk ‘perang’ yang bisa ditampilkan secara kongkret, yang bisa
menambah nilai sisi hiburan dan menghindarkan dari drama yang kelewat serius
atau depresif sesuai kondisi eranya. Tahun lalu MNC Pictures sempat mencoba
mengangkatnya lewat karakter fiktif sebagai penggerak cerita dengan Surat Cinta untuk Kartini. Sayang,
mungkin momentum rilis yang kurang tepat, promosi yang kurang, dan hasil akhir
yang banyak dinilai kritikus kurang memuaskan, membuatnya kurang banyak menyita
perhatian.
Di saat yang hampir bersamaan, Legacy Pictures (Kapan Kawin?, Ada Apa dengan
Cinta 2?) juga mengembangkan sebuah biopic tentang sosok R. A. Kartini
dengan menggandeng Hanung Bramantyo sebagai sutradara dan jajaran aktor papan
atas Indonesia untuk mendukung cast-nya. Mulai Dian Sastrowardoyo, Acha
Septriasa, Ayushita Nugraha, Christine Hakim, Deddy Sutomo, Denny Sumargo, Dwi
Sasono, Nova Eliza, Adinia Wirasti, Djenar Maesa Ayu, sampai Reza Rahadian.
Dukungan cast & crew yang bak dream team membuat Kartini versi Legacy Pictures lebih menarik perhatian dan
menjanjikan.
Melihat ketidak-adilan yang dilakukan terhadap sang ibu kandung,
Ngasirah, Kartini tumbuh menjadi sosok yang memberontak dan kerap
mempertanyakan adat yang berlaku di keluarga ningratnya. Maklum, sang ibu
kandung harus rela diperlakukan bak pembantu semenjak sang suami, RM
Sosroningrat, menikah lagi dengan Moeryam demi menjadi bupati Jepara dan
kehidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya; Sosrokartono, Kartini, Kardinah,
dan Roekmini. Ketika berada dalam pingitan setelah menstruasi, Kartini
mendapatkan inspirasi dari sang kakak sebelum berangkat ke Negeri Belanda,
Sosrokartono, untuk mengenal dunia lebih luas lewat buku-buku berbahasa Belanda
yang menjadi koleksinya selama ini. Kartini, bersama Kardinah dan Roekmini pun
terinspirasi untuk menulis yang menarik minat koresponden dan penerbit Belanda
hingga ada yang mengundangnya ke Negeri Belanda. Meski mendapat dukungan dari
sang ayah, geliat Kartini, Kardinah, dan Roekmini yang dianggap menentang adat
membuat Moeryam, sang kakak, Slamet, dan beberapa penghuni keraton khawatir
serta berupaya menghentikan mereka dengan berbagai cara.
Hanung Bramantyo memang cukup dikenal sebagai ‘spesialis biopic’, hasil
dari cukup banyak proyek biopic yang dipercayakan kepadanya, seperti Soekarno, Sang Pencerah, dan {rudy
habibie}. Namun jika diperhatikan, Hanung memang terlihat berupaya memilih
satu fokus untuk merepresentasikan sang sosok, tapi masih punya rentang waktu
yang cukup panjang sehingga terasa kesan ‘kepanjangan’ dan mau tak mau fokus
ceritanya meluber ke mana-mana. Namun di Kartini,
tampaknya Hanung semakin terasah untuk memilih fokus cerita yang lebih terarah,
diterjemahkan secara solid, tapi dengan kemasan yang sederhana serta tergolong
ringan sehingga accessible bagi penonton terawam sekalipun.
Ia memilih rentang waktu yang efektif untuk memulai kisahnya. Setelah
sedikit perkenalan kondisi keluarga Kartini yang paling berpengaruh dalam
perkembangan karakternya, kita dibawa pada masa di mana Kartini mulai masa
pingitan yang menjadi titik cikal bakal ‘pemberontakan’-nya. Pengembangan
cerita digulir dengan sangat lancar hingga titik-titik klimaks pemicu konklusi
yang memuaskan. Meski tanpa adegan ‘perang’ fisik, Kartini terbukti tetap mampu mengikat perhatian penonton lewat
adegan kucing-kucingan yang cukup menegangkan, momen-momen emosional yang
menyentuh, visualisasi imaginary yang menggugah, hingga flashback-flashback
thought-provoking, yang membuat tak ada karakter yang benar-benar antagonis dan
ada alasan rasional di balik pilihan-pilihan sikap karakter, terutama RM Sosroningrat,
Moeryam, dan Ngasirah. In my opinion, flashback-flashback ini menjadi bagian
penting untuk memahami kondisi sosial dan adat saat itu secara menyeluruh.
Itulah yang menurut saya merupakan inti teresensial dari Kartini sebagai sebuah biopic. Itu pulalah yang membuat saya
menganggap Kartini berhasil sebagai
sebuah biopic. Memberikan pemahaman yang jelas, sederana, tapi menyeluruh
kepada penonton, sekaligus punya sisi-sisi hiburan yang membuatnya enak
diikuti, tak terasa sekedar seperti sebuah textbook yang divisualkan. Apalagi
di tangan Hanung, Kartini digulirkan
dengan pace yang lembut (bukan lambat, tapi sesuai dengan kebutuhan cerita,
enak diikuti dengan momen-momen emosional yang dapat dirasakan secara
maksimal), mengalir, dan terasa begitu bersahaja.
Performa aktor-aktris menjadi pilar kekuatan yang tak kalah suportif.
Dian Sastrowardoyo mampu membuat penonton mengabaikan parasnya yang awalnya
dianggap terlalu cantik dan terlalu ‘dewasa’ untuk menjelma menjadi sosok
Kartini, berkat interpretasi karakter yang manusiawi, membumi, natural, tapi
punya layer kedalaman lebih yang diperlihatkan dengan sangat jelas. Belum lagi
ditambah momen-momen emosional yang mampu dibawakan Dian dengan menyentuh tanpa
dramatisasi berlebihan. Deddy Sutomo tak hanya menampilkan kharisma dan wibawa
yang luar biasa ke dalam karakter RM Sosroningrat, tapi juga punya layer
kedalaman yang juga terlihat dengan jelas. Yang membuat karakternya lebih
manusiawi dan punya emosi lebih, tanpa meninggalkan wibawa yang tetap kuat.
Acha Septriasa sebagai Roekmini dan Ayushita Nugraha sebagai Kardinah cukup
noticeable dan menarik di balik porsi peran yang tak terlalu banyak.
Sebaliknya, dengan porsi yang juga tergolong sedikit, Djenar Maesa Ayu sebagai
Moeryam, Christine Hakim sebagai Ngasirah, dan bahkan Reza Rahadian sebagai
Sosrokartono punya momen (dan tentu saja performa dari masing-masing
aktor/aktris) yang mencuri perhatian lebih. Denny Sumargo sebagai Slamet
mungkin jika disandingkan dengan aktor/aktris lain yang tampil di sini tak
terlalu istimewa. Namun dibandingkan peran-peran yang ia bawakan selama ini,
peran Slamet adalah pencapaian tertingginya. Terakhir, Dwi Sasono mungkin sudah
berusaha seserius mungkin tapi image komikal seperti yang ditampilkannya di Raksasa dari Jogja dan Shy Shy Cat masih sedikit tersisa.
Teknis Kartini terlihat tak
main-main. Kesemuanya digarap dengan maksimal dan detail yang luar biasa. Mulai
camera work yang bergerak mulus sesuai pace cerita dan shot-shot yang sinematis
sekaligus efektif dalam bercerita, editng yang turut mendukung pace dengan
tetap memberikan emosi-emosi yang pas sesuai kebutuhan, sampai desain produksi
serta kostum yang begitu mendetail. Tak lupa pula scoring yang memperkuat emosi
sekaligus menggugah di beberapa bagian tanpa dramatisasi berlebih, dengan
membubuhkan ornamen-ornamen tradisional yang menambah kesan bersahaja. Theme
song Memang Kenapa Jika Aku Perempuan yang
dibawakan oleh Melly Goeslow dan Gita Gutawa menutup film dengan sahaja yang
tetap terjaga, mengiringi penonton berkontemplasi.
Secara keseluruhan Kartini bisa
jadi salah satu atau malah memang pencapaian tertinggi Hanung Bramantyo. Dari
segi pemilihan rentang waktu yang sangat merepresentasi idealisme sosok
Kartini, kepiawaian menyusunnya menjadi satu paket yang solid, mengalir lancar,
lembut, sekaligus menyentuh, sampai pengemasan yang sederhana dan ringan
sehingga menjadi accessible untuk range penonton yang sangat luas. Bahkan
mungkin mudah dipahami oleh penonton asing yang awam terhadap kondisi sosial
Indonesia masa itu maupun sosok Kartini sekalipun. Pun juga Inovasi visualisasi
imaginary yang mungkin bukan yang pertama tapi menginterpretasikan esensinya
dengan sangat jelas sekaligus menarik. Tak berlebihan jika saya menobatkan Kartini sebagai film Indonesia terpenting
tahun 2017 ini so far. Bahkan di antara biopic-biopic yang pernah diangkat film
Indonesia, ia berada di lini terdepan.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.