The Jose Flash Review
Be Afraid

Film horror dengan pendekatan family drama akhir-akhir ini agaknya menjadi trend. Most notably franchise Insidious dan The Conjuring. Satu lagi film horror supranatural yang mencoba menggunakan pendekatan family drama dirilis di bioskop-bioskop non-XXI Indonesia. Disutradarai oleh Drew Gabreski yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sinematografer, dari naskah yang disusun Gerald Nott, Be Afraid (BA) mencoba menarik perhatian lewat misteri di balik fenomena sleep paralyzed atau di budaya kita dikenal sebagai ‘ketindihan’.

Dr. John Chambers membawa istri mudanya, Heather, dan putra bungsunya yang masih berusia 7 tahun, Nathan, ke sebuah kota kecil di Pennsylvania. Heather khawatir dengan Nathan yang suka bermain-main sendiri di sekitar hutan dan terowongan misterius. Kekhawatirannya ternyata beralasan. Tiba-tiba muncul Dean Booth, pria yang mengaku mencari-cari putrinya yang hilang sejak beberapa tahun lalu. Setelah diselidiki, ternyata di kota itu sering terjadi kasus anak hilang. Sementara itu John sendiri pun mulai mengalami hal-hal aneh yang sempat diceritakan Nathan, termasuk ‘ketindihan’ yang oleh dokter dijelaskan secara medis sebagai kelumpuhan saat tidur. Ketegangan memuncak ketika Nathan akhirnya turut hilang. Ben, putra sulung John dari istri sebelumnya yang baru drop-out dari kampusnya, turut membantu mencari Nathan sekaligus memecahkan misteri sosok yang selama ini menculik anak-anak di kota tersebut.

Tak ada yang salah dengan pendekatan family drama untuk sebuah film horror. Dengan takaran dan craftmanship yang tepat, justru bisa memperkuat plot pun juga kedua elemen tersebut. Namun apa yang dilakukan Gabreski di BA membuat fokus yang seharusnya menjadi highlight utama, yakni misteri sosok si penculik anak-anak yang selama ini menghantui kota, menjadi seolah tak penting. Ia justru sibuk menggeber peristiwa demi peristiwa supranatural berikut dampaknya terhadap keluarga Chambers, yang sebenarnya tak membawa plot ke mana-mana. Alhasil drama yang membosankan dan tak membuat penonton peduli menjadikan BA begitu melelahkan untuk diikuti. Tak ada teror yang benar-benar mengancam sehingga membuat penonton ikut merinding. Padahal suasana misterius dan eerie bak The Omen sempat dimasukkan. Namun lagi-lagi, gara-gara plot yang tak beranjak ke mana-mana selain jumpscare demi jumpscare yang berputar-putar, segala upaya tersebut seolah-olah sia-sia. Bayangkan jika ia lebih memfokuskan pada pengungkapan sang sosok misterius yang didesain menarik, mungkin setidaknya masih bisa memancing rasa penasaran penonton.

Aktor dan aktris yang mendukung sebenarnya tak tampil buruk meski juga tak istimewa. Lihat saja bagaimana Brian Krause sebagai Dr. John Chambers harus menyeimbangkan antara ketakutan pribadi dengan kewajibannya untuk melindungi keluarga. Begitu juga Jaimi Paige sebagai Heather yang harus menjaga keseimbangan seorang ibu tiri yang realistis, bukan semata-mata mempertahankan ibu tiri yang jahat dan egois. Jared Abrahamson sebagai Ben dan Noell Coet sebagai Nikki cukup appealing. Sementara Kevin Greivoux sebagai Dean dan Callie Thorne sebagai Annabelle Fletcher cukup memberikan performa misterius yang cukup kuat.

Sebagai sebuah horror indie, teknis BA tergolong sangat standard. Mulai sinematografi Scott Peck yang sekedar efektif dalam bercerita sekaligus menampilkan jumpscare, editing Jeff Murphy yang mungkin kebingungan bagaimana merangkai adegan-adegan yang ada dengan plot yang ‘kurang mendukung’, hingga scoring Corey Wallace yang mencoba memberi kesan eerie lebih dalam, tapi masih belum banyak memberi pengaruh.

Dengan segala kekurangannya, terutama fokus cerita yang justru membuat keseluruhan film menjadi terkesan melelahkan, BA gagal menjadi sajian horror yang menarik maupun mencekam. Penonton sudah terlebih dulu dibuat lelah untuk mengikuti plotnya. Sayang sekali sebenarnya, mengingat ia punya sajian misteri yang cukup potensial dan punya kemiripan dengan urban legend yang pernah santer di negara kita. 

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.