The Jose Flash Review
Danur:
I Can See Ghosts


Sudah menajdi rahasia umum bahwa genre horror masih merupakan salah satu genre yang paling digemari penonton film Indonesia terlepas dari image-nya yang sudah terlanjur ‘ternodai’ oleh bumbu esek-esek. Bagaimanapun angka jumlah penonton tak bisa berbohong. Ditambah dengan fakta merupakan adaptasi dari novel laris dan bintang dengan fanbase yang begitu besar dan kuat, jadilah sebuah formula box office! Peluang itulah yang diambil oleh MD Pictures sebagai produksi perdana dari salah satu PH turunannya, Pichouse Films. Diangkat dari novel laris karya Risa Saraswati (pernah kita kenal juga sebagai personel band Homogenic dan kemudian Sarasvati) yang konon merupakan berdasarkan kisah nyata yang dialaminya sendiri, Danur: I Can See Ghosts (DICSG) dipercayakan di tangan Awi Suryadi (Claudia/Jasmine, Street Society, Badoet), sutradara yang sebenarnya punya skill dan taste style directing yang bagus tapi masih belum mendapatkan proyek yang cukup high-profile. Sementara naskahnya diadaptasi oleh Laila Nurazizah (Adriana, Princess, Bajak Laut & Alien, Untuk Angeline) dan Ferry Lesmana. Namun above all yang paling menarik perhatian penonton adalah kehadiran Prilly Latuconsina yang semakin melejit pasca Hangout di lini terdepan, ditambah Shareefa Daanish yang sudah punya image kuat di genre horror.

Sebagai anak tunggal dari pasangan yang sama-sama sibuk, Risa lebih sering bermain sendiri. Di ulang tahun ke-8, permintaannya hanya satu: punya teman. Be careful what you wish for cause you might just get it. Tiba-tiba Risa kedatangan tiga anak laki-laki berdarah bule; William, Jansen, dan Peter, yang sering mengajaknya bermain. Sang ibu mencurigai perilaku Risa yang akhir-akhir ini sering terlihat bermain dan tertawa sendiri. Dengan bantuan orang pintar, sang ibu berhasil menjauhkan Risa dari pengaruh-pengaruh makhluk gaib dan pindah ke kota lain. Sembilan tahun kemudian ketika harus membantu merawat sang nenek yang sedang sakit dan menjaga sang adik, Riri, Risa kembali ke rumah tempat ia bertemu sahabat-sahabat gaibnya dulu. Bakat yang dimiliki baik Risa maupun Riri membuat ada makhluk gaib lain yang berusaha mengganggu hidup mereka, terutama Riri yang masih lugu dan labil. Risa tak punya pilihan lain selain meminta bantuan dari ketiga sahabat gaibnya dulu.
Premise demikian memang tergolong sangat formulaic, tapi tetap bisa jadi sajian yang menarik, bahkan merupakan basis yang menarik untuk dikembangkan menjadi sebuah franchise dengan berbagai varian, seperti halnya The Conjuring atau Insidious. Bekal basis cerita yang menarik ini pun berhasil diterjemahkan dengan baik di paruh pertama film. Namun setelah ‘the origin part’ ini berakhir dan plot beralih ke babak selanjutnya, ia mulai kehilangan kendali atas perkembangan plot. Hanya jumpscare demi jumpscare dengan berbagai ekspresi wajah ‘mengerikan’ Shareefa Daanish yang dimanfaatkan terus-menerus hingga mencapai revealing dan resolusi yang dibangun dengan treatment horror sangat standard (tapi masih bisa dianggap berhasil bagi penonton umum). Untungnya resolusi yang dihadirkan masih punya relevansi kuat terhadap setup yang telah dibangun di paruh pertama. So sebagai sebuah origin story sekaligus perkenalan terhadap pengembangan-pengembangan plot maupun karakter-karakter gaib lainnya kelak, plot yang ditawarkan DICSG masih tergolong layak untuk diikuti. Setidaknya tak terkesan dibuat asal-asalan. Ada konsep yang jelas meski pelit pengembangan.
Penampilan para aktor-aktrisnya juga masih tergolong layak kendati masih memainkan peran-peran tipikal dan memang tak perlu kedalaman karakter tersendiri. Prilly Latuconsina membuktikan punya cukup kharisma untuk mengisi peran lead. Penampilan dua bintang cilik, Sandrinna Michelle Skornicki sebagai Riri dan Asha Kenyeri Bermudez sebagai Risa cilik memang masih menunjukkan keunikan tersendiri, tapi setidaknya terasa luwes dalam membawakan peran. Begitu juga tiga pemeran anak-anak gaib; Wesley Andrew sebagai William, Kevin Bzezovski Taroreh sebagai Jansen, dan Gamaharitz sebagai Peter yang tampil cukup ‘mengintimidasi’. Kinaryosih, Ingrid Widjanarko, Fuad Idris, dan Aline Adita memainkan peran tipikal tapi masih cukup noticeable di layar. Begitu juga Indra Brotolaras yang mana peran Andri bisa membuat kehadirannya di perfilman Indonesia bisa lebih dikenali. Terakhir, Shareefa Daanish yang menjadi tulang punggung elemen horror terpenting dalam film masih punya daya tarik ‘magis’ yang berhasil ‘menghantui’ penonton.
Teknis DICSG memang tak ada yang benar-benar istimewa, tapi kesemuanya terasa lebih dari sekedar layak dan yang paling penting, efektif dalam menyampaikan tujuan masing-masing. Seperti sinematografi Adrian Sugiono yang efektif dalam bercerita maupun menghadirkan jumpscare dan membangun tensi. Begitu pula editing Firdauzi Trizkiyanto yang membuat pace-nya sejalan dengan pergerakan kamera dan energi film yang ingin dicapai. Artistik Ikent Gimbal dan tata rias dari Aktris Handradjasa cukup  mendukung elemen horror. Terakhir, tak boleh dilupakan score music eerie Ricky Lionardi yang menjadi salah satu elemen terpenting dalam pembangunan nuansa horror, berpadu dengan sound mixing menggelegar tapi sama sekali tak ada yang terdengar pecah atau terlampau berisik.
Di antara jajaran horror memorable Indonesia sepanjang masa, DICSG mungkin bukan termasuk yang teratas. Namun dengan penyusunan plot setup yang baik menuju franchise yang lebih luas lagi kelak, dukungan teknis yang layak, serta formula-formula ‘laris’ yang masih sesuai dengan selera mayoritas penonton Indonesia, tak sulit baginya untuk mencapai kesukesan komersial. Toh nyatanya mayoritas penonton Indonesia (bukan moviegoers yang rajin nonton dan paham film atau kritikus ya!) sebenarnya tak berharap cerita yang muluk-muluk. Sekedar mudah dipahami, diikuti, dan dengan horror yang menghibur, bukan yang terlampau seram. 
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.