3/5
Asia
Based on a True Event
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Horror
Indonesia
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Danur:
I Can See Ghosts
Sudah menajdi rahasia umum bahwa genre horror masih merupakan
salah satu genre yang paling digemari penonton film Indonesia terlepas dari
image-nya yang sudah terlanjur ‘ternodai’ oleh bumbu esek-esek. Bagaimanapun angka jumlah penonton
tak bisa berbohong. Ditambah dengan fakta merupakan adaptasi dari novel laris
dan bintang dengan fanbase yang begitu besar dan kuat, jadilah sebuah formula
box office! Peluang itulah yang diambil oleh MD Pictures sebagai produksi
perdana dari salah satu PH turunannya, Pichouse Films. Diangkat dari novel
laris karya Risa Saraswati (pernah kita kenal juga sebagai personel band
Homogenic dan kemudian Sarasvati) yang konon merupakan berdasarkan kisah nyata
yang dialaminya sendiri, Danur: I Can See
Ghosts (DICSG) dipercayakan di tangan Awi Suryadi (Claudia/Jasmine, Street
Society, Badoet), sutradara yang
sebenarnya punya skill dan taste style directing yang bagus tapi masih belum
mendapatkan proyek yang cukup high-profile. Sementara naskahnya diadaptasi oleh
Laila Nurazizah (Adriana, Princess, Bajak Laut & Alien, Untuk Angeline) dan Ferry Lesmana. Namun
above all yang paling menarik perhatian penonton adalah kehadiran Prilly
Latuconsina yang semakin melejit pasca Hangout
di lini terdepan, ditambah Shareefa Daanish yang sudah punya image kuat di
genre horror.
Sebagai anak tunggal dari pasangan yang sama-sama sibuk, Risa
lebih sering bermain sendiri. Di ulang tahun ke-8, permintaannya hanya satu:
punya teman. Be careful what you wish for cause you might just get it.
Tiba-tiba Risa kedatangan tiga anak laki-laki berdarah bule; William, Jansen,
dan Peter, yang sering mengajaknya bermain. Sang ibu mencurigai perilaku Risa
yang akhir-akhir ini sering terlihat bermain dan tertawa sendiri. Dengan
bantuan orang pintar, sang ibu berhasil menjauhkan Risa dari pengaruh-pengaruh
makhluk gaib dan pindah ke kota lain. Sembilan tahun kemudian ketika harus
membantu merawat sang nenek yang sedang sakit dan menjaga sang adik, Riri, Risa
kembali ke rumah tempat ia bertemu sahabat-sahabat gaibnya dulu. Bakat yang
dimiliki baik Risa maupun Riri membuat ada makhluk gaib lain yang berusaha
mengganggu hidup mereka, terutama Riri yang masih lugu dan labil. Risa tak
punya pilihan lain selain meminta bantuan dari ketiga sahabat gaibnya dulu.
Premise demikian memang tergolong sangat formulaic, tapi tetap
bisa jadi sajian yang menarik, bahkan merupakan basis yang menarik untuk
dikembangkan menjadi sebuah franchise dengan berbagai varian, seperti halnya The Conjuring atau Insidious. Bekal basis cerita yang menarik ini pun berhasil
diterjemahkan dengan baik di paruh pertama film. Namun setelah ‘the origin
part’ ini berakhir dan plot beralih ke babak selanjutnya, ia mulai kehilangan
kendali atas perkembangan plot. Hanya jumpscare demi jumpscare dengan berbagai
ekspresi wajah ‘mengerikan’ Shareefa Daanish yang dimanfaatkan terus-menerus
hingga mencapai revealing dan resolusi yang dibangun dengan treatment horror sangat
standard (tapi masih bisa dianggap berhasil bagi penonton umum). Untungnya
resolusi yang dihadirkan masih punya relevansi kuat terhadap setup yang telah
dibangun di paruh pertama. So sebagai sebuah origin story sekaligus perkenalan
terhadap pengembangan-pengembangan plot maupun karakter-karakter gaib lainnya
kelak, plot yang ditawarkan DICSG masih tergolong layak untuk diikuti.
Setidaknya tak terkesan dibuat asal-asalan. Ada konsep yang jelas meski pelit
pengembangan.
Penampilan para aktor-aktrisnya juga masih tergolong layak
kendati masih memainkan peran-peran tipikal dan memang tak perlu kedalaman
karakter tersendiri. Prilly Latuconsina membuktikan punya cukup kharisma untuk
mengisi peran lead. Penampilan dua bintang cilik, Sandrinna Michelle Skornicki
sebagai Riri dan Asha Kenyeri Bermudez sebagai Risa cilik memang masih
menunjukkan keunikan tersendiri, tapi setidaknya terasa luwes dalam membawakan
peran. Begitu juga tiga pemeran anak-anak gaib; Wesley Andrew sebagai William,
Kevin Bzezovski Taroreh sebagai Jansen, dan Gamaharitz sebagai Peter yang
tampil cukup ‘mengintimidasi’. Kinaryosih, Ingrid Widjanarko, Fuad Idris, dan
Aline Adita memainkan peran tipikal tapi masih cukup noticeable di layar.
Begitu juga Indra Brotolaras yang mana peran Andri bisa membuat kehadirannya di
perfilman Indonesia bisa lebih dikenali. Terakhir, Shareefa Daanish yang
menjadi tulang punggung elemen horror terpenting dalam film masih punya daya
tarik ‘magis’ yang berhasil ‘menghantui’ penonton.
Teknis DICSG memang tak ada yang benar-benar istimewa, tapi
kesemuanya terasa lebih dari sekedar layak dan yang paling penting, efektif
dalam menyampaikan tujuan masing-masing. Seperti sinematografi Adrian Sugiono
yang efektif dalam bercerita maupun menghadirkan jumpscare dan membangun tensi.
Begitu pula editing Firdauzi Trizkiyanto yang membuat pace-nya sejalan dengan
pergerakan kamera dan energi film yang ingin dicapai. Artistik Ikent Gimbal dan
tata rias dari Aktris Handradjasa cukup
mendukung elemen horror. Terakhir, tak boleh dilupakan score music eerie
Ricky Lionardi yang menjadi salah satu elemen terpenting dalam pembangunan
nuansa horror, berpadu dengan sound mixing menggelegar tapi sama sekali tak ada
yang terdengar pecah atau terlampau berisik.
Di antara jajaran horror memorable Indonesia sepanjang masa,
DICSG mungkin bukan termasuk yang teratas. Namun dengan penyusunan plot setup yang
baik menuju franchise yang lebih luas lagi kelak, dukungan teknis yang layak,
serta formula-formula ‘laris’ yang masih sesuai dengan selera mayoritas penonton
Indonesia, tak sulit baginya untuk mencapai kesukesan komersial. Toh nyatanya mayoritas penonton Indonesia (bukan moviegoers yang rajin nonton dan paham film atau kritikus ya!) sebenarnya tak berharap cerita yang muluk-muluk. Sekedar mudah dipahami, diikuti, dan dengan horror yang menghibur, bukan yang terlampau seram.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.