3.5/5
Action
Asia
Indonesia
military
Politic
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Night Bus
Thriller bukanlah genre yang populer di film Indonesia meski
‘saudara dekat’-nya, horror, justru menjadi salah satu genre yang paling
favorit. Mungkin ada baiknya film-film thriller perlu ‘menjual diri’ dengan
label horror dan menambahkan formula-formula horror dasar sebagai strategi
memperkenalkan thriller ke penonton Indonesia secara perlahan. Namun ke-‘belum
populer’-an thriller tidak menyusutkan niat sineas-sineas kita untuk
menyuguhkan thriller yang berbobot. Joko Anwar beberapa kali mempresentasikan thriller
berkelas internasional, misalnya lewat Kala:
Dead Time, Pintu Terlarang, dan Modus Anomali. Ada juga Midnight Show dan bahkan Rumah Dara yang sebenarnya basically
thriller.
Tahun ini secara istimewa kita disuguhi thriller dengan tema
yang lebih langka lagi, yaitu konflik politik. Di luar Indonesia, yang paling
notable ada The Year of Living
Dangerously (1982 - dibintangi Mel Gibson dan kebetulan bersetting di
Indonesia meski syuting dilakukan di Filipina) dan terbaru, No Escape (2015 – dibintangi Owen
Wilson). Digagas oleh Darius Sinathrya dan Teuku Rifnu Wikana, meski Night Bus (NB) menggunakan nama wilayah
fiktif, Sampar, sebenarnya cukup jelas merujuk ke wilayah mana jika dianalisis
dari latar belakang budaya dan kemiripan kejadiannya. Dengan naskah yang
disusun oleh Rahabi Mandra (Merry Riana:
Mimpi Sejuta Dolar, Hijab, 2014:
Siapa di Atas Presiden?, dan Trinity:
The Nekad Traveler) dan Teuku Rifnu Wikana sendiri, serta sutradara Emil
Heradi (Kita vs Korupsi dan Sagarmatha), NB menghadirkan deretan
nama-nama populer seperti Yayu Unru, Torro Margens, Alex Abbad, Tyo Pakusadewo,
Donny Alamsyah, Tino Saroengallo, sampai Lukman Sardi, sekaligus nama-nama
baru.
Sebuah bus nekad untuk menangkut penumpang menuju Sampar,
daerah yang sedang menjadi momok sejak kejadian kontak senjata beberapa minggu
sebelumnya. Sang sopir, Amang, merasa perlu kembali bekerja untuk menafkahi
keluarga. Bagudung, sang kondektur, selalu setia menemani Amang karena merasa
balas budi karena menyelamatkan hidupnya dulu. Di antara penumpang, ada Yuda
Ardiman, seorang reporter, Annisa, seorang mahasiswi kedokteran, seorang nenek
tua bernama Nur bersama cucunya, Laila yang berniat untuk ziarah di Sampar,
pasangan muda yang sedang mencari peruntungan bekerja di Sampar, Rifat dan Mala,
Idrus yang berasal dari LSM, Luthfy, seorang bapak tua buta, dan Umar yang
selalu merasa semuanya bisa dibeli dengan uang. Di tengah perjalanan, satu per
satu halangan menghadang. Mulai dari munculnya sosok misterius bernama Mahdi
yang berlumuran darah, pihak militer, pihak pemberontak, hingga penyusup
oportunis yang menjadi buruan kedua pihak yang bertikai. Perjalanan menjadi
begitu mencekam bagi para penumpang yang tak berdosa tapi harus terjebak di
tengah pertikaian.
NB membangun plotnya dengan struktur yang rapih sehingga
nyaman dan cukup jelas untuk diikuti. Mulai perkenalan karakter-karakter yang
didesain dengan karakteristik yang jelas dan serba seimbang, sehingga
menghasilkan character investment yang cukup dan merata untuk semua karakter
yang ada. Pun juga dengan pemilihan yang beralasan atas karakter mana yang
survive dan mana yang dimatikan (bukan berarti predictable ya. Maksudnya jika
mau dianalisis lebih mendalam, ada alasan dan tujuan yang jelas atas nasib para
karakternya). Urutan konflik sebenarnya juga disusun dengan grafik ketegangan
yang meningkat, tapi mungkin karena faktor ‘break’ antar-konflik yang agak
terlalu lama membuat setiap konflik yang terjadi berada pada level grafik yang
kurang lebih setara. Alhasil thrill yang dirasakan penonton bisa jadi seolah
pengulangan dari konflik ke konflik, padahal sebenarnya berada pada susunan
yang tepat dari segi struktur plot. Namun bagaimanapun juga, secara keseluruhan
Emil masih berhasil mengarahkan momen-momen thriller-nya menjadi terasa benar-benar
mencekam, bahkan mungkin malah stressful bagi beberapa penonton. Tak
ketinggalan sisi-sisi emosional yang berhasil dibangkitkan oleh para
aktor-aktrisnya. Konklusi tentang konsekuensi konflik yang harus ditanggung
oleh pihak-pihak tak berdosa, bahkan dari kerabat pihak yang berkonflik,
menjadi sebuah kontemplasi yang netral, tanpa membela salah satu pihak, lewat
sebuah adegan yang begitu menyentuh emosional.
Sayangnya NB masih punya sejumlah kekurangan, terutama di
teknis yang membuatnya kerap agak ‘mengganggu’ penonton. Yang paling jelas
terasa adalah pencahayaan yang terlalu gelap sehingga (justru) di beberapa
momen klimaks sulit diikuti detail adegan aksinya, yang tentu saja mengurangi
thriller yang ingin disuguhkan. Kurangnya cahaya juga membuat gambar menjadi
terlihat pecah-pecah pasca color grading. Perhatikan spot-spot yang mendapatkan
cahaya kelap-kelip warna-warni yang malah terlihat seperti penggabungan gambar
yang tidak rapi.
Kehadiran
karakter-karakter figuran yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah film (yang
paling jelas terlihat adalah seorang pria gemuk dan dua orang wanita yang duduk
di bangku depan) padahal di babak perkenalan karakter tidak ada sama sekali,
juga tanpa adegan kapan mereka masuk ke dalam bus. Lagipula di tengah-tengah
suasana konflik, agak mustahil ada warga sipil yang tiba-tiba menumpang di
tengah jalan begitu saja.
Detail lain yang masih sangat kurang adalah color grading yang
sangat terasa tidak merata atau tidak konsisten, bahkan di adegan yang sama
dengan angle atau shot berbeda. Untuk penggunaan matte stock yang digabungkan
dengan gambar bergerak, menurut saya masih bisa dimaklumi dan terlihat cukup
baik meski tak sampai 100% mulus.
Salah satu kekuatan terbesar NB adalah penampilan yang luar
biasa dari keseluruhan aktor-aktris yang mendukung, baik yang tergolong papan
atas maupun pendatang baru. Teuku Rifnu Wikana kali ini bisa menyeimbangkan
dengan porsi yang pas untuk karakter komedik dan serius pada sosok Bagudung.
Begitu juga sosok Amang yang seperti biasa, dihidupkan oleh Yayu Unru dengan
sangat mengesankan. Edward Akbar sebagai Yuda, Hana Prinantina sebagai Annisa,
Rahael Ketsia sebagai Mala, dan Arya Saloka Perwira sebagai Rifat,
masing-masing punya momen emosional yang termanfaatkan dengan sangat baik. Agus
Nur Amal sebagai Luthfy menjadi pencuri perhatian yang begitu kuat. Sementara
Torro Margens, Alex Abbad, Tyo Pakusadewo, Donny Alamsyah, Ahmad Ramadhan
Alrasyid, Arswendi Nasution, Egi Fedly, Ade Firman Hakim, dan Tino Saroengallo
pun memberikan performa yang sama-sama memorable. Tak lupa Laksmi Notokusumo
sebagai Nur dan cucunya, Laila yang diperankan oleh cukup luwes oleh Keinaya
Messi Gusti.
Sinematografi Anggi Frisca sangat efektif menghadirkan
momen-momen thriller dan emosionalnya. Editing Kelvin Nugroho dan Senton Sahid
pun mendukung momen-momen thrillernya dengan timing yang serba pas dan laju
plot yang berjalan cukup lancar di balik konflik yang berjejer cukup banyak
dengan timing jeda antar konflik yang juga terjaga konsisten sebagai satu
keutuhan film. Score music Yovial Tri Purnomo Virgi menghadirkan orchestra yang
megah, menggiring nuansa mencekam, menggugah emosi, lengkap dengan
ornamen-ornamen etnik yang membuatnya begitu ‘Indonesia’. Sound mixing
terdengar cukup seimbang dan konsisten, termasuk dalam hal pembagian kanal
surround.
Lebih dari sekedar soal ide cerita dan effort, dengan
pengerjaan terkait naskah dan penyutradaraan yang tergarap dengan sangat baik nan
rapih, NB jelas suguhan thriller yang teramat sangat jarang ditemui di
perfilman Indonesia. Memang masih ada beberapa masalah, terutama di teknis,
yang masih agak ‘mengusik’ perhatian, tapi above all, NB sangat layak
mendapatkan atensi sekaligus apresiasi lebih.
Lihat data film ini di IMDb dan filmindonesia.or.id.