3.5/5
Based on Book
Drama
feminism
Film Lebaran
Indonesia
Pop-Corn Movie
Psychological
religious
Romance
self-discovery
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Traveling
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea
Asma Nadia adalah sebuah ‘brand’
yang punya basis penggemar cukup kuat di Indonesia, baik sebagai penulis maupun
kini juga merambah di film (yang rata-rata memang diangkat dari novelnya). Tak
heran jika PH-PH tanah air mengincar hak untuk mengangkat
karya-karyanya ke layar lebar. Dimulai dari Emak
Ingin Naik Haji (2009), dilanjutkan Rumah
Tanpa Jendela (2011). Kesuksesan baru benar-benar terlihat ketika Assalamualaikum Beijing (AB) yang
diproduksi Maxima Pictures tahun 2014 berhasil membuat 560 ribu lebih penonton
berbondong-bondong ke bioskop. Puncaknya, Surga
yang Tak Dirindukan produksi MD Pictures yang tahun lalu menjadi jawara
film Lebaran sekaligus jawara film Indonesia terlaris sepanjang tahun 2015
dengan mengumpulkan 1.5 juta lebih penonton. Awal tahun ini sempat jeblok
dengan Pesantren Impian (yang juga
diproduksi MD Pictures), film yang diangkat dari salah satu novel fenomenal
Asma, Jilbab Traveler: Love Sparks in
Korea (JT), giliran Rapi Films mencoba untuk bersaing di bursa film Lebaran
tahun ini. Dengan kru inti yang sama dengan AB, mulai sutradara Guntur
Soeharjanto, penulis naskah Alim Sudio, penata kamera Enggar Budiono, dan
editor Ryan Purwoko, kali ini JT membawa salah satu aktris Indonesia paling
high profile saat ini, Bunga Citra Lestari, sebagai lini terdepan, dan Morgan
Oey yang setelah menjadi pemuda Beijing, kali ini memerankan karakter pemuda
Korea.
Sejak kecil, Rania dimotivasi
oleh sang ayah untuk berkeliling melihat dunia bak penjelajah Islam terkenal
yang menjadi rujukan dunia, Ibnu Battuta. Sementara sang ibu sering
mengkhawatirkan Rania yang menjelajah dunia sendirian tanpa mahram-nya. Ketika
sedang sakit parah, sang ayah menyarankan dirinya untuk mengunjungi tempat sang
ayah dan ibu bertemu untuk pertama kali, yaitu Baluran, Banyuwangi. Ketika
sampai di Baluran, Rania bertemu turis Korea yang sedang menjelajahi Indonesia,
Hyun Gen bersama temannya yang orang Indonesia, Alvin. Sejak awal bertemu Hyun
Gen sudah tertarik dengan Rania, sementara Rania memilih untuk menghindar
karena sikap Hyun Gen yang diangkat tidak sopan. Ketika pulang, Rania menyesal
karena tak sempat berada di sisi sang ayah ketika meninggal dunia. Sejak itu ia
berjanji pada diri sendiri untuk berhenti menjelajahi dunia dan menemani sang
ibu. Lagipula ada sosok pria yang tampak serius dengan Rania, Ilhan, meski
Rania sendiri masih belum terlalu yakin apakah ia sosok yang dicari selama ini.
Ketika mendapatkan tawaran
mengikuti program penulis untuk tinggal di Korea Selatan selama beberapa bulan,
Rania sempat menolak. Berkat dorongan sang ibu yang melihat Rania tidak bahagia
dengan pilihan hidupnya sekarang, ia akhirnya berangkat juga. Ketakutan semua
pihak, termasuk Rania sendiri adalah bertemunya kembali Rania dengan Hyun Gen.
Apalagi Hyun Gen ternyata akan bertunangan dengan putri konglomerat Korea. Tak
hanya soal siapa pria yang akan dipilih, Rania juga dihadapkan pada pilihan
hidup yang membuat dirinya sendiri bahagia.
Sebenarnya karya-karya Asma Nadia
menarik untuk dibahas, terutama karena kerap membenturkan isu emansipasi wanita
dengan budaya (atau lebih tepatnya, akidah) Islam. Meski pada akhirnya lebih
cenderung jatuh ke drama roman biasa ketimbang pembahasan yang ‘berani’ seperti
yang biasa dilakukan Hanung Bramantyo. Secara garis besar, sebenarnya saya
menemukan kemiripan tema antara JT dengan AB. Sama-sama wanita muslimah mandiri
yang tak terlalu memikirkan urusan jodoh. Jika Asmara trauma karena
perselingkuhan yang dilakukan tunangan, maka Rania lebih menikmati
perjalanannya berkeliling dunia. Harus saya akui, dalam banyak aspek JT menjadi
semacam AB dengan berbagai aspek yang jauh lebih baik. Terutama sekali naskah Alim Sudio dengan bangunan cerita
yang lebih masuk akal, fokus pada konsep besar cerita pun terasa lebih dewasa,
terutama tentang sosok teman hidup yang berhasil dihubungkan secara kuat dengan
pencarian jati diri. Tetap ditampilkan tanpa meninggalkan kemasan drama roman
ringan yang sudah terlanjur diterima oleh pangsa pasarnya dengan baik, serta yang paling penting, membenturkan
isu emansipasi dengan akidah Islam secara lebih masuk akal, tapi tetap halus
dan tak sampai menimbulkan kontroversial. Tak ada lagi karakter yang ‘ngebet’
dengan alasan dangkal seperti Sekar, tak perlu juga menggunakan eksploitasi
penyakit sebagai pemancing air mata, tak ada lagi karakter utama pria yang
‘dipaksakan’ menjadi muslim agar bisa menjadi suami sang karakter wanita utama (meski
saya masih melihat ada keegoisan dari karakter Rania yang hobi keliling dunia
dan mengabadikan lewat kamera, sementara ia tidak suka difoto oleh orang lain),
Guntur Soeharjanto terasa lebih luwes dalam menyampaikan jalinan cerita menjadi
lebih enak untuk diikuti, dengan pace yang serba pas, mengalir lancar, dan
emosi-emosi yang ditata dengan pas, tanpa terkesan dramatis berlebihan.
Lagipula, secara tampilan JT juga lebih sinematis dan megah ketimbang AB.
Bunga Citra Lestari jelas pilihan
yang paling tepat dalam mengisi peran wanita utama yang mandiri, berkepribadian
kuat, tapi tetap punya sisi sensitif. Tanpa perlu banyak effort, BCL sudah
punya image yang demikian. Spotlight yang lebih mengalihkan perhatian adalah
Morgan Oey yang benar-benar convincing sebagai Hyun Gen yang asli Korea. Tak
hanya penyampaian aksen, termasuk ketika menggunakan Bahasa Indonesia, yang
begitu natural serta jauh dari kesan dibuat-buat, tapi juga gestur serta
ekspresi wajah yang jauh lebih serius dan hidup. Ketidak-konsistenan penggunaan
Bahasa Indonesia dan Bahasa Korea Selatan sepanjang film masih arguable, tapi
jelas tidak asal gonta-ganti bahasa. Giring Ganesha pun juga cukup membuat saya
tercengang dengan tampilan yang jauh lebih berwibawa dan serius dari biasanya.
Meski harus saya akui dialog-dialog yang keluar dari mulutnya seringkali dengan
artikulasi yang tidak natural. Faktor terlalu terbiasa menjadi voice talent
animasi, mungkin? Ringgo Agus Rahman mungkin tak beda jauh dengan ‘fungsi’
karakter yang diperankan Desta di AB, tapi Ringgo is Ringgo. Ia seperti
memasukkan kepribadian aslinya ke dalam film untuk memberikan warna tersendiri,
terutama dalam effort memasukkan unsur komedi yang cukup pas, tidak sampai
mengganggu mood keseluruhan film. Dewi Yull menjadi pemeran pendukung favorit
saya sepanjang film dengan segala kharisma keibuan yang begitu bersahaja.
Di teknis, sinematografi Enggar
Budiono jelas menjadi daya tarik utama. Semua setting yang ditata sangat
cantik, baik untuk setting rumah Rania, Baluran, Ijen, dan terutama tiap sudut
Korea Selatan yang ditampilkan, berhasil direkam oleh Enggar dengan angle-angle
sinematis yang cukup maksimal dan pergerakan kamera yang smooth, selaras dengan
mood film. Editing Ryan Purwoko pun berhasil merangkai laju plot dengan begitu
mengalir lancar dan enak diikuti. Score music terasa
begitu pas menggiring emosi tiap adegan, tapa dramatisasi berlebihan. Termasuk
pula theme song Aku Bisa Apa dari BCL
yang semakin memperkuat emosi film. Kredit yang tak kalah pentingnya layak
diberikan kepada penata artistik Allan Sebastian dan penata busana Aldie Harra
yang memberi warna lebih kaya untuk desain produksi JT secara keseluruhan.
Jika Anda termasuk penggemar
karya-karya Asma Nadia yang diangkat ke layar lebar, JT jelas tak boleh
dilewatkan begitu saja. Ini adalah yang terbaik dari semua film yang diangkat
dari novelnya sampai saat ini. Meski tak sempurna, masih ada beberapa elemen
dan/atau momen yang tak lebih dari sekedar pemantik konflik dramatis semata,
tapi secara keseluruhan dikemas dengan jauh lebih dewasa, natural, serta
mengalir lebih lancar ketimbang AB. Lagipula tampilan visualnya yang serba
cantik tetap saja menjadi daya tarik tersendiri.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.