3.5/5
Based on Book
Comedy
Drama
Family
Father-and-Son
Film Lebaran
Indonesia
mature relationship
Parenting
Psychological
Romance
tearjerker
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Sabtu Bersama Bapak
Masih ingat dengan Jomblo, sebuah komedi tentang
mahasiswa-mahasiswa jomblo yang sempat booming di tahun 2006? Film produksi
SinemArt Pictures yang disutradarai Hanung Bramantyo dan berhasil mengundang
sekitar 600.000 penonton plus dinominasikan untuk tiga ketegori di FFI ini
diangkat dari tangan dingin seorang penulis novel bernama Adhitya Mulya. Jomblo adalah novel debutnya yang
dirilis tahun 2004. Dari novel ini jugalah kepiawaian Adhitya dalam menulis
kegelisahan pribadi menjadi menarik, bermakna, dan punya humor-humor khas yang
segar. Kiprahnya di film dilanjutkan dengan menulis naskah Test Pack: You are My Baby (2012) yang merupakan adaptasi dari
novel karya sang istri, Ninit Yunita. Tahun 2014 ia menelurkan novel Sabtu Bersama Bapak (SBB) yang segera menjadi
bahan pembicaraan di mana-mana. Premise-nya sederhana. Seorang bapak yang baru
saja didiagnosis terkena kanker dan tak punya banyak waktu, meninggalkan
pesan-pesan dalam rekaman-rekaman video untuk ditonton kedua putranya tiap hari
Sabtu sepulang sekolah. Sedikit mengingatkan saya akan My Life without Me (2003). Tapi jika My Life Without Me tergolong film drama depresif yang ‘hanya’
berfokus pada hari-hari terakhir seorang ibu pengidap kanker, maka SBB
mengeksplor jauh ke depan sebagai dampak dari berpulangnya sosok orang tua
ketika anak-anaknya masih kecil. Dengan kemasan yang lebih berwarna, pula.
Kemudian Monty Tiwa yang pernah mengarahkan Test
Pack tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar di bawah bendera Max
Pictures (sebelumnya Maxima Pictures, tapi akhirnya memutuskan menggunakan nama
Max Pictures untuk PH, sementara Maxima sendiri konon akan fokus di bisnis
eksibisi) dengan bantuan dari Falcon Pictures. Satu per satu aktor papan atas
tanah air direkrut untuk menghidupkan drama keluarga yang berani meramaikan
bursa Film Lebaran tahun ini.
Kehidupan keluarga Gunawan
Garnida terguncang ketika dirinya divonis tak berusia lama lagi karena kanker
yang diidapnya. Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, ia segera
mempersiapkan segalanya untuk masa depan sang istri, Itje, serta kedua anaknya,
Satya dan Cakra yang masih kecil, setelah ia berpulang. Peninggalan paling
berharga adalah rekaman video berisi pesan-pesan dengan berbagai topik hingga
Satya dan Cakra menikah. Ratusan rekaman video itu diputarkan oleh sang Ibu
tiap hari Sabtu setelah Satya dan Cakra pulang sekolah. Setelah dewasa, kedua
putranya ini menjalani hidup sesuai ajaran sang ayah lewat rekaman video. Satya
dan istrinya, Rissa, dikaruniai dua orang anak laki-laki. Mereka tinggal di
Paris, mengikuti pekerjaan Satya. Sementara Cakra masih menjomblo di usianya
yang sudah melewati kepala tiga. Padahal posisinya di kantor sudah mencapai
level Deputy Director di sebuah bank nasional dan serba mapan. Anak-anak buahnya, terutama Firman dan
Wati seringkali membantunya mencari jodoh, termasuk ketika muncul karyawan baru
di divisi lain yang ditaksir Cakra, Ayu. Sayang, Cakra yang canggung dengan
wanita (terutama yang ditaksirnya) sering salah tingkah dan justru dianggap orang
aneh oleh Ayu. Kini giliran Satya dan Cakra sama-sama ditantang untuk menjalani
sendiri peran sebagai seorang (dan calon) suami serta bapak sesuai yang
diamanatkan Sang Bapak dulu.
Sebagai orang yang lebih tertarik medium film ketimbang buku, saya seringkali nonton film adaptasinya dulu sebelum
membaca versi buku. Itu pun jika filmnya berhasil membuat saya tertarik dan
penasaran dengan versi buku. Begitu pula dengan SBB. Dengan berbekal trailer
(yang sebenarnya lebih menonjolkan sisi melankolis dan tearjerker sebagai
komoditas utama SBB), saya (dan saya yakin, banyak pula calon penonton
non-pembaca bukunya) yang mengira SBB adalah drama penguras air mata yang
bersumber dari karakter sang bapak, Gunawan. Ternyata saya salah. SBB
sebenarnya lebih tepat sebagai sebuah pelajaran parenting, terutama untuk para
(dan calon) bapak. Tidak salah jika trailer mencitrakan sebagai film penguras
air mata, toh citra tersebut jelas jauh lebih menjual bagi penonton Indonesia
ketimbang sebagai ‘pelajaran parenting’. Bagi saya, konsep ‘parenting lesson’ ini
jelas jauh lebih menarik ketimbang just another tearjerker movie with disease
exploitation. Memang benar nasehat-nasehat Gunawan lewat rekaman video menjadi
elemen penting dalam cerita, tapi ternyata lebih sebagai sebuah setup dari
konflik-konflik utama yang membuat nasehat-nasehat Gunawan bukan hanya
pelajaran verbal semata, melainkan tantangan yang tak mudah dijalankan.
Misalnya menjadi suami dan bapak untuk kedua anaknya ternyata tak harus selalu
sesuai dengan yang diamanatkan Gunawan untuk Satya mentah-mentah. In the
pursuit of family perfection tak bisa dicapai dengan cara-cara kaku. Tiap orang
punya kelebihan dan kekurangan yang harus dipahami. Begitu juga menjadi sosok
yang bertanggung jawab, mempersiapkan segalanya sebelum berani melamar seorang
wanita, ternyata tak sepenuhnya membuat Cakra bisa dengan mudah mencari
pasangan yang tepat. Ada yang harus dikorbankan. Kejadian demi kejadian membuat
Satya dan Cakra harus menemukan jalan mereka sendiri.
Tearjerker yang mengharu-biru (apalagi dengan campaign #RinduAyah yang coba dibuat viral oleh Monty) tetap
dihadirkan seperti yang dicitrakan lewat trailer. Bahkan masih berhasil pada
momen-momennya. Namun itu bukanlah satu-satunya amunisi Monty untuk menarik
perhatian penonton. Seperti yang dituangkan dalam novel, kadar drama rumah tangga yang mungkin terkesan tipikal tapi
sangat realistis menjadi porsi paling dominan, diikuti bumbu komedi (khas
Adhitya Mulya, sekaligus khas Monty Tiwa) yang bisa lebih mudah dihadirkan
lewat sub-plot Cakra dan ke-jomblo-annya dengan porsi yang lebih sedikit tapi ternyata justru lebih membekas.
Didukung karakter Firman dan Wati yang memang berhasil membuat suasana
menjadi pecah. Secara garis besar, Monty masih mampu meringkas novelnya
menjadi satu paket tontonan yang tetap berhasil menyampaikan poin-poin penting
lewat jalinan cerita yang disusun, meski masih menimbulkan beberapa pertanyaan yang ada di novelnya. Monty menjadikan SBB drama
yang mengalir sederhana bak film-film drama besutannya. Ada beberapa blend antara haru dan hura yang masih terasa kurang menyatu, tapi setidaknya masih berhasil dijembatani dengan cukup baik lewat editing sehingga perpindahannya tak terlalu tearasa signifikan (bahasa Jawa: njeglég).
Banyak penonton yang menilai SBB
sebagai film tentang seorang anak kepada Sang Bapak. Namun bagi saya SBB justru
lebih tentang Bapak kepada anak-anaknya, terutama cara mengasuh dan mendidik agar
menjadi pribadi yang siap menghadapi hidup sendiri kelak. Malahan, SBB
mendobrak banyak konsepsi tentang parenting, terutama peran serta kedudukan
orang tua dan anak menurut budaya Timur, kemudian persepsi bahwa
semua wejangan orang tua harus didengarkan dan dijalankan secara absolut,
apalagi dari sosok yang sudah tiada (yang biasanya menjadi lebih
di-‘dewa’-kan). Padahal dibutuhkan pula pengalaman, ilmu, dan kejelian. Jika tidak, buat apa punya kehidupan dan keluarga sendiri jika
hanya menduplikasi sang Bapak, bukan?
Dengan jajaran cast papan atas
nasional, SBB jelas punya kekuatan yang besar di divisi akting. Pemilihan
Abimana Aryasatya bersanding dengan Ira Wibowo awalnya membuat saya mengerutkan
kening. Ternyata Ira mampu menghidupkan karakter Itje mulai usia 30-an (setara
dengan karakter Abimana) sampai usia lanjut dengan sangat baik dan meyakinkan.
Tak ada kesan ‘aneh’ ketika keduanya bersanding, tak ada pula kesan ‘maksa’
ketika Ira tampil dengan berbagai ciri fisik penuaan. Abimana seperti biasa,
sangat berwibawa dan tampak bijaksana, sangat cocok sebagai sosok Gunawan
Garnida. Ira pun memberikan performa yang convincing, baik ketika membangun
chemistry yang kuat dengan Abimana, maupun sebagai ibu yang tak kalah
bersahaja.
Sementara Arifin Putra dan Acha
Septriasa juga menunjukkan chemistry yang tak kalah kuatnya. Masing-masing pun
memberikan performa akting di atas rata-rata. Begitu convincing, baik sebagai
pasangan maupun orang tua, dengan emosi yang begitu pas. Deva Mahenra akhirnya
menemukan karakter komedik yang hidup dan tak terkesan dibuat-buat. Pun ketika
sampai pada momen-momen serius, ia tetap
bisa menarik simpati penonton. Sheila Dara Aisha sebagai Ayu cukup
mencuri perhatian. Tak hanya lewat fisik, tapi juga pesona aura yang juga tak kalah appealing.
Terakhir, tentu tak boleh melupakan peran Jennifer Arnelita sebagai Wati dan
Ernest Prakasa sebagai Firman yang jelas menjadi ‘pemecah’ suasana paling
menonjol. Sayang terdapat turn-off untuk pemeran kedua putra Satya-Rissa; Ryan dan Miku yang kemampuan akting yang masih jauh dari kata layak.
Sinematografi Rollie Markiano
menghadirkan shot-shot yang sesuai dengan kebutuhan storytelling sekaligus
pergerakan kamera yang sangat pas dengan mood keseluruhan film, baik ketika
momen mellow maupun komedi. Hanya saja (fake) lens-flare yang menghiasi di hampir tiap shot
sebenarnya terlalu berlebihan dan sangat mengganggu. Ryan Purwoko turut menyusun
film dengan pace yang serba pas, berhasil menjaga mood film, dan efektif dalam menyampaikan poin-poin
penting cerita. Desain produksi Angga Prasetyo memberikan elemen-elemen yang
terkesan sederhana, tapi tetap menarik dan catchy di tiap setting cerita, mulai
rumah keluarga Garnida di Bandung, kantor Cakra, sampai rumah keluarga Satya di
Paris. Terakhir, musik dari Andhika Triyadi menjadi penggerak emosi yang tak
kalah penting. Tak hanya musik-musik stirring yang mencoba 'menyayat' perasaan penonton. Favorit saya saat adegan mimpi
Satya-Bapak, Satya Kangen Bapak. Tak ketinggalan pemilihan lagu yang catchy. Lagu Cinta dari Iwan Fals begitu membuat suasana romantis antara
Gunawan-Itje menjadi sangat syahdu, sementara I’m Sorry dari Wizzy membuat adegannya semakin heart-breaking.
Bagi Anda yang belum membaca
novelnya, saya menyarankan untuk menonton versi filmnya terlebih dulu,
seperti yang saya lakukan. Dengan urutan demikian, saya berhasil
meresapi tiap emosi yang coba dihadirkan. Ketertarikan saya akan topik yang diangkat
pun tergugah dengan teramat sangat dan memutuskan membaca versi novel yang ternyata punya detail lebih. Alhasil, saya
mendapatkan pengalaman sekaligus konsep yang lebih utuh, baik tentang parenting
yang menjadi tema utama, sekaligus (re-) storytelling Monty Tiwa yang mampu merangkum cerita SBB sesuai dengan poin-poin pentingnya. Bayangkan jika saya
membaca novel baru filmnya, bisa jadi saya lebih banyak terfokus untuk
mencari-cari apa yang sama dan berbeda dari novelnya ketimbang merasakan tiap
emosi yang berusaha ditampilkan Monty, para cast, dan kru lainnya. Secara garis
besar, saya menganggap SBB sebagai film adaptasi yang berhasil, sekaligus film
keluarga, terutama bagi para (dan calon) orang tua, yang penting untuk ditonton dan dialami.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.