2.5/5
3D
4DX
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Drama
Franchise
Hollywood
jungle
Pop-Corn Movie
Romance
Summer Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Legend of Tarzan
Siapa di dunia ini yang tak kenal
dengan sosok Tarzan? Karakter fiktif karangan Edgar Rice Burroughs ini memang
sudah begitu populer di seluruh dunia semenjak kehadirannya pertama kali di
tahun 1912. Begitu populernya hingga sampai saat ini sudah banyak sekali
diadaptasi dalam berbagai format, mulai novel, komik, serial, film TV, dan
tentu saja film layar lebar. Tak hanya di Amerika Serikat, tapi juga
negara-negara lain yang mengadaptasi karakter Tarzan dengan kondisi
masing-masing budaya. Di Hollywood sendiri, ada beberapa versi yang patut
dicatat, seperti Tarzan the Ape Man
(1932), Greystoke: The Legend of Tarzan,
Lord of the Apes (1984) yang masuk nominasi Oscar untuk kategori Best
Screenplay Based on Material from Another Medium, Best Actor in a Supporting
Role, dan Best Makeup, serta tentu saja versi animasi Disney, Tarzan (1999) yang menjadi salah satu
tonggak sejarah animasi 2D. Semenjak itu, belum ada studio besar yang berani
mengangkatnya ke versi layar lebar lagi. Warner Bros. yang pernah memproduksi
versi tahun 1984 yang meski masuk nominasi Oscar, tapi pendapatan box
office-nya biasa saja, akhirnya yang tertarik untuk kembali mengangkat tokoh
Tarzan ke layar lebar untuk generasi 2000-an.
Namun jalan Tarzan untuk kembali
ke layar lebar (sama sekali) tak mulus. Kendati sejak 2003 sudah ada naskah
yang ditulis John August, bongkar-pasang penulis naskah dan sutradara terus
terjadi untuk menemukan versi yang dianggap paling pas. David Yates pun
terpilih menjadi sutradara sejak 2012 (setelah menyelesaikan installment
terakhir Harry Potter) dengan
mengambil versi penulis naskah Adam Cozad dan Craig Brewer, tapi lagi-lagi
pengembangan proyek ini dipending tahun 2013, konon karena faktor budget,
hingga akhirnya pengambilan gambar dimulai pertengahan 2014. Dengan track
record Tarzan versi 1984 yang biasa saja dan proses panjang produksi versi
terbaru ini, wajar jika Warner Bros. cukup ketar-ketir dengan resepsi versi
terbarunya, The Legend of Tarzan
(TLoT) ini.
Alih-alih membuka cerita dengan
latar belakang ‘Tarzan’ menjadi sosok bocah rimba bernama Tarzan, TLoT to the
point mengambil sudut pandang dari Captain Léon Rom, utusan King Leopold II
dari Belgia ke Kongo untuk mencari tambang berlian Opar. Konon pemerintah
Belgia butuh tambang berlian ini agar terhindar dari kebangkrutan karena
pembangunan infrastruktur negaranya. Saat ekspedisi, tim Captain Léon Rom
dibantai habis oleh suku pedalaman yang dipimpin oleh Chief Mbonga, dengan
hanya menyisakan dirinya. Chief Mbonga berjanji akan memberikan keseluruhan tambang
berlian jika ia berhasil membawa Tarzan ke hutan mereka.
Maka disusunlah siasat agar John
Clayton III, sang ‘Tarzan’ mau diundang ke Kongo. Meski awalnya menolak,
setelah dibujuk oleh George Washington Williams dari Amerika Serikat yang
berniat mencari bukti karena kecurigaan mereka atas Belgia yang melakukan
praktek perbudakan di Kongo. Mendengar rancana itu, Jane Porter Clayton, istri
John, langsung semangat untuk ikut karena ia rindu dengan tanah tempat ia
dibesarkan dulu. Maka berangkatlah ketiganya ke Kongo, sementara Captain Léon
Rom sudah menyiapkan berbagai siasat untuk memuluskan rencana besarnya.
Storyline yang ditawarkan TLoT
memang lebih sebagai sebuah follow-up atau lanjutan dari kisah dasar Tarzan
yang sudah diketahui oleh kebanyakan masyarakat dunia. Keputusan yang baik
sebenarnya, karena menyuguhkan cerita kelanjutan baru akan terasa lebih segar
ketimbang mengulang lagi dari awal. Sementara yang belum mengenal kisah
asal-usul Tarzan, TLoT masih menyisipkan berbagai adegan flashback di sana-sini.
Storyline baru yang sebenarnya sangat generik, tapi tetap saja bisa menarik dan
seru jika ditangani dengan treatment yang tepat. Sayangnya, alur TLoT mengalir
dengan begitu lambat sehingga hingga pertengahan film, saya sudah tak peduli
lagi dengan apa yang terjadi pada karakternya. Pertama, karena faktor cerita
yang sudah terlalu generik. Kedua, di paruh pertama cerita tak berhasil membuat
karakter-karakternya terasa menarik. Kenapa? Entahlah. Menurut saya,
karakter-karakternya, terutama Tarzan dan Jane, seperti tak benar-benar
‘hidup’, hanya menyampaikan dialog-dialog basa-basi tak berarti. Oh, and
somehow, chemistry antara keduanya yang benar-benar terasa seperti saling asing
satu sama lain. Saya pun tak yakin sensor dari LSF yang kelewatan membabat
habis semua adegan romantis keduanya (faktor tayang saat bulan puasa?) yang
menjadi faktor mentah dan ‘garing’-nya chemistry mereka. Jangan pula
mengharapkan kedalaman karakter, termasuk Captain Léon Rom dan George
Washington Williams yang tak lebih dari sekedar mengulang peran serupa di Inglourious Basterds dan The Hateful Eight (meski keduanya
sebenarnya justru dipertemukan di Django
Unchained). Above all, yang membuat TLoT terasa biasa saja dan jauh dari
kesan ‘enjoyable’ adalah penceritaan yang hambar serta cerita yang mengalir
begitu saja tanpa perkembangan cerita maupun dinamika yang bikin saya peduli. Somehow, permasalahan penceritaan
yang serupa dengan Batman v Superman:
Dawn of Justice. Ada apa dengan taste atau image signatural mood yang ingin
dibangun dari film-film Warner Bros. akhir-akhir ini?
Satu-satunya hiburan yang bisa
saya nikmati adalah beberapa adegan seru yang untungnya masih disisipkan,
terutama serangan wild animals stampede ke kota dan adegan-adegan sliding and
swinging yang I have to say, nice.
Totalitas Alexander Skarsgård
sebagai John Clayton III, terutama latihan fisik berat yang menghasilkan bentuk
tubuh super ideal Tarzan memang patut dihargai. Sebagai salah satu komoditas,
ia berhasil. Begitu juga dengan gesture-gesture a la manusia rimba yang tidak
mudah, tapi berhasil ditampilkan dengan mulus sepanjang film. Bukan salahnya
jika karakter Tarzan secara kepribadian maupun psikologis bisa saja, tak ada
kedalaman apa-apa, cenderung super dingin. Saya melihat faktor penulisan
karakter yang lebih punya andil. Sementara itu Margot Robbie pun punya aura
keseksian yang sangat pas untuk Jane Clayton. Kharisma akting seriusnya di
beberapa momen pun di atas rata-rata peran tipikal yang dilakoninya selama ini.
Sayang, sama seperti karakter John Clayton, karakter Jane pun sama-sama menjadi
dangkal meski upaya Robbie sudah cukup maksimal dan terasa tanpa beban. Untuk
Christoph Waltz sebagai Léon Rom dan Samuel L. Jackson sebagai George
Washington Williams, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, sekedar
mengulang karakter serupa di film-film Quentin Tarantino.
Di aspek teknis, sinematografi
Henry Braham layak mendapatkan kredit tertinggi berkat adegan-adegan yang
berhasil sedikit memberikan ‘rasa’ pada petualangan Tarzan, terutama
adegan-adegan jungle swinging and sliding, melompat dari ketinggian, serta wild
animal stampede to town. Editing Mark Day cukup efektif dalam menyampaikan
ceritanya, termasuk sisipan flashback di sana-sini. Jika kemudia hasil akhirnya
terasa kurang nyaman diikuti, menurut saya itu lebih kepada faktor konsep mood
yang sudah diset sejak awal. Tata suara tak istimewa tapi lebih dari cukup
sesuai kebutuhannya. Scoring Rupert Gregson-Williams juga cukup membuat kesan
megah, meski tak ada yang memorable. Visual effect, terutama penampilan gorila Mangani
meski terlihat real dan buas, tapi tak sampai membuat saya takjub seperti yang
ditampilkan Rise of the Planet of the
Apes, misalnya. Terakhir, kredit untuk desain produksi, terutama desain
kostum dari Ruth Myers yang ‘menghiasi’ layar dengan indahnya.
Format 3D menawarkan depth of
field yang cukup dengan beberapa pop-out yang sangat terasa. Tak sampai
memberikan efek kejut karena pemunculan yang biasa saja (baca: tidak
tiba-tiba), tapi tetap menarik. Jika Anda memilih format 4DX, it’s even better.
Hampir semua efek muncul, terutama motion and vibrating seat serta blowing wind
yang membuat saya memegang seathandle erat-erat tiap kali hendak adegan
melompat dari ketinggian, serta jungle swinging yang seru. Beberapa kali water
spray, scent, dan ankle shock juga memberikan experience value yang lebih
ketimbang format biasa. Setidaknya, TLoT yang secara cerita tidak menarik bisa masih
bisa terasa seru dengan dukungan 4DX 3D.
Saran saya, siapkan
ekspektasi yang tepat jika Anda berencana akan menyaksikan TLoT. Even better dengan format
4DX 3D atau minimal 3D, sehingga jika ia juga gagal membuat Anda tertarik
dengan storyline-nya, setidaknya masih ada aspek experience lebih yang layak
untuk dialami (dan dibayarkan). Jika mau pendapat yang lebih positif, TLoT adalah
versi Tarzan yang biasa saja. Tak akan menjadi salah satu versi yang dicatat
penting dalam sejarah sinema.