3/5
Action
Crime
Drama
Investigation
Noir
Revenge
South Korea
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Phantom Detective [탐정 홍길동: 사라진 마을]
Salah satu genre favorit sinema
Korea Selatan adalah investigasi. Beberapa judul film Korea Selatan yang
akhir-akhir ini masuk di layar lebar Indonesia punya unsur investigatif dalam
suguhan plotnya. Memang harus diakui Korea Selatan cukup piawai meramu plot investigatif menjadi menarik,
logis, cerdas, tanpa kehilangan aspek-aspek manusiawinya. Suguhan terbaru
mereka adalah Phantom Detective (PD)
yang ditulis dan disutradarai oleh Jo Sung-hee (A Werewolf Boy). Dibintangi Lee Je-hoon (Architecture 101) yang mana ini merupakan film pertamanya setelah
selesai menjalani wajib militer, PD menawarkan karakter detektif fiktif Hong
Gil-dong yang terinspirasi dari novel Korea yang dipercaya ditulis antara akhir
abad 16 hingga awal abad 17, setara dengan karakter Robin Hood di dunia Barat.
Hong Gil-dong juga menjadi nama pengganti sosok tak diketahui seperti John Doe
di Amerika Serikat. Sama seperti Hong Gil-dong di PD yang diperkenalkan sebagai
sosok detektif misterius dengan setting undefined.
Lewat narasi langsung dari
karakter Hong Gil-dong, penonton diperkenalkan kepada sosoknya sebagai seorang
detektif dari agensi ilegal yang dikepalai oleh putri konglomerat berjuluk
President Hwang. Ambisi terbesar Hong Gil-dong adalah membalaskan dendam sang
ibu yang dibunuh. Kesempatan itu datang ketika ia akhirnya menemukan Kim
Byeong-Duk dan berniat mendatangi rumahnya. Di saat yang bersamaan, Kim
ternyata diculik oleh sekelompok tak dikenal, meninggalkan dua orang cucunya,
Dong-Yi yang duduk di kelas lima SD dan Mal-Soon yang masih berusia 8 tahun,
sendirian di rumah. Berniat membunuh Kim di depan kedua cucunya, Hong Gil-dong
membawa keduanya menemukan Kim. Dong-Yi dan Mal-Soon yang polos ternyata tak
sebodoh itu. Meski pada akhirnya lebih sering menghalangi penyelidikannya,
justru kedua anak ini yang membantu Hong menemukan Kim. Perlahan pun Hong makin
peduli terhadap nasih kedua anak ini. Ketika saatnya tiba, Hong harus memilih
untuk tetap menjalankan niatnya atau memburu penculik Kim yang ternyata
berkaitan dengan rencana jahat yang lebih besar lagi.
Satu hal yang membuat PD menarik
adalah gaya storytelling dan visual noir a la Sin City. Mulai narasi dari first person character bak diary,
setting desain produksi tak terdefinisi baik waktu maupun tempat, sampai
visualisasi adegan-adegan yang punya gaya unik, hanya saja tampilan hitam-putih. Plotnya pun sebenarnya berjalan
dengan menarik dan bikin penasaran, meski sejak awal penonton disuguhi alur
yang maju-mundur tanpa sekat pembatas yang jelas. Sayangnya, seiring dengan
durasi PD plot semakin membingungkan membuat penonton terjerumus ke pusaran
tidak jelas. Apalagi ternyata PD tak dibekali analisis investigatif yang
menarik. Semua seolah mampu dibaca oleh karakter Hong secara spontan. Tak salah
jika kemudian saya memilih untuk berhenti mencerna dan nikmati saja plot yang
mengalir selanjutnya. Membingungkan dan terkesan bertele-tele, memang. Alhasil
sejak awal film hingga akhir film, bagi saya PD terasa seperti babak ketiga
(dari formula dasar storytelling) yang berlangsung begitu panjang. Hingga
akhirnya mulai terkuak rahasia di balik penculikan Kim yang ternyata a greater
cause. Revealing yang menarik sebenarnya, sayang untuk sampai ke sana harus
melewati kelokan-kelokan plot yang tak begitu penting selain sekedar pameran
style.
Meski terkesan terlalu ‘babyface’
untuk perannya, Lee Je-Hoon sebenarnya punya kharisma yang cukup untuk menjadi
lead. Seorang detektif handal dan cerdas pula. But somehow, bagi saya pencuri
perhatian terbesar adalah penampilan dua aktris cilik; Roh Jeong-Eui sebagai
Dong-Yi dan yang paling utama, Kim Ha-Na sebagai Mal-Soon. Annoying at one
point, tapi pada akhirnya berhasil menarik simpati penonton (dan juga karakter
Hong sekalipun). Kim Sung-kyun sebagai sosok villain Kang Sung-Il memang tak
diberikan porsi yang cukup untuk ‘membekas’ di benak penonton, tapi sosok
bengisnya cukup tergambar dengan meyakinkan. Aktor senior Park Geun-Hyung
sebagai Kim Byeong-Duk juga masih mampu menarik simpati penonton meski porsinya
tergolong minim. Sementara Go Ara sebagai President Hwang tentu tampil memikat
lewat pesona fisik dan aura sensualitasnya di balik porsi peran yang juga
terbatas.
Mengedepankan visual bergaya
sebagai daya tarik utama, tentu desain produksi memegang peranan penting. Didukung sinematografi Byun
Bong-Sun dan editing yang sebenarnya cukup pas dalam menghadirkan pace cerita.
Well, bagaimanapun naskah yang
memang belum berhasil sepenuhnya diterjemahkan masih terasa di layar. Tata
suara masih tergolong mumpuni, terutama fasilitas surround yang sangat terasa
dimanfaatkan maksimal. Sedikit terdengar kurang mantap di beberapa dialog
(front channel), termasuk narasi dan dialog yang tak punya perbedaan volume, tapi
tak sampai mempengaruhi mood film. Terakhir, scoring cukup mendukung mood noir
yang diusung PD sepanjang film.
Secara visual, PD mungkin masih
menawarkan sesuatu yang menarik lewat mood noir yang tergolong jarang diangkat.
Sayang jalinan plot yang ‘mungkin’ belum sepenuhnya berhasil diterjemahkan ke
dalam bahasa gambar, membuat ia terasa membingungkan dan bertele-tele. Untung
masih ada kehadiran dua aktris cilik yang setidaknya mampu menjadi aspek
hiburan. So, tak ada salahnya mencoba PD jika bosan dengan pilihan mainstream
dan mencari ‘rasa’ berbeda yang jarang disajikan.