The Jose Flash Review
Phantom Detective [탐정 홍길동: 사라진 마을]

Salah satu genre favorit sinema Korea Selatan adalah investigasi. Beberapa judul film Korea Selatan yang akhir-akhir ini masuk di layar lebar Indonesia punya unsur investigatif dalam suguhan plotnya. Memang harus diakui Korea Selatan cukup piawai meramu  plot investigatif menjadi menarik, logis, cerdas, tanpa kehilangan aspek-aspek manusiawinya. Suguhan terbaru mereka adalah Phantom Detective (PD) yang ditulis dan disutradarai oleh Jo Sung-hee (A Werewolf Boy). Dibintangi Lee Je-hoon (Architecture 101) yang mana ini merupakan film pertamanya setelah selesai menjalani wajib militer, PD menawarkan karakter detektif fiktif Hong Gil-dong yang terinspirasi dari novel Korea yang dipercaya ditulis antara akhir abad 16 hingga awal abad 17, setara dengan karakter Robin Hood di dunia Barat. Hong Gil-dong juga menjadi nama pengganti sosok tak diketahui seperti John Doe di Amerika Serikat. Sama seperti Hong Gil-dong di PD yang diperkenalkan sebagai sosok detektif misterius dengan setting undefined.

Lewat narasi langsung dari karakter Hong Gil-dong, penonton diperkenalkan kepada sosoknya sebagai seorang detektif dari agensi ilegal yang dikepalai oleh putri konglomerat berjuluk President Hwang. Ambisi terbesar Hong Gil-dong adalah membalaskan dendam sang ibu yang dibunuh. Kesempatan itu datang ketika ia akhirnya menemukan Kim Byeong-Duk dan berniat mendatangi rumahnya. Di saat yang bersamaan, Kim ternyata diculik oleh sekelompok tak dikenal, meninggalkan dua orang cucunya, Dong-Yi yang duduk di kelas lima SD dan Mal-Soon yang masih berusia 8 tahun, sendirian di rumah. Berniat membunuh Kim di depan kedua cucunya, Hong Gil-dong membawa keduanya menemukan Kim. Dong-Yi dan Mal-Soon yang polos ternyata tak sebodoh itu. Meski pada akhirnya lebih sering menghalangi penyelidikannya, justru kedua anak ini yang membantu Hong menemukan Kim. Perlahan pun Hong makin peduli terhadap nasih kedua anak ini. Ketika saatnya tiba, Hong harus memilih untuk tetap menjalankan niatnya atau memburu penculik Kim yang ternyata berkaitan dengan rencana jahat yang lebih besar lagi.

Satu hal yang membuat PD menarik adalah gaya storytelling dan visual noir a la Sin City. Mulai narasi dari first person character bak diary, setting desain produksi tak terdefinisi baik waktu maupun tempat, sampai visualisasi adegan-adegan yang punya gaya unik, hanya saja tampilan hitam-putih. Plotnya pun sebenarnya berjalan dengan menarik dan bikin penasaran, meski sejak awal penonton disuguhi alur yang maju-mundur tanpa sekat pembatas yang jelas. Sayangnya, seiring dengan durasi PD plot semakin membingungkan membuat penonton terjerumus ke pusaran tidak jelas. Apalagi ternyata PD tak dibekali analisis investigatif yang menarik. Semua seolah mampu dibaca oleh karakter Hong secara spontan. Tak salah jika kemudian saya memilih untuk berhenti mencerna dan nikmati saja plot yang mengalir selanjutnya. Membingungkan dan terkesan bertele-tele, memang. Alhasil sejak awal film hingga akhir film, bagi saya PD terasa seperti babak ketiga (dari formula dasar storytelling) yang berlangsung begitu panjang. Hingga akhirnya mulai terkuak rahasia di balik penculikan Kim yang ternyata a greater cause. Revealing yang menarik sebenarnya, sayang untuk sampai ke sana harus melewati kelokan-kelokan plot yang tak begitu penting selain sekedar pameran style.

Meski terkesan terlalu ‘babyface’ untuk perannya, Lee Je-Hoon sebenarnya punya kharisma yang cukup untuk menjadi lead. Seorang detektif handal dan cerdas pula. But somehow, bagi saya pencuri perhatian terbesar adalah penampilan dua aktris cilik; Roh Jeong-Eui sebagai Dong-Yi dan yang paling utama, Kim Ha-Na sebagai Mal-Soon. Annoying at one point, tapi pada akhirnya berhasil menarik simpati penonton (dan juga karakter Hong sekalipun). Kim Sung-kyun sebagai sosok villain Kang Sung-Il memang tak diberikan porsi yang cukup untuk ‘membekas’ di benak penonton, tapi sosok bengisnya cukup tergambar dengan meyakinkan. Aktor senior Park Geun-Hyung sebagai Kim Byeong-Duk juga masih mampu menarik simpati penonton meski porsinya tergolong minim. Sementara Go Ara sebagai President Hwang tentu tampil memikat lewat pesona fisik dan aura sensualitasnya di balik porsi peran yang juga terbatas.

Mengedepankan visual bergaya sebagai daya tarik utama, tentu desain produksi  memegang peranan penting. Didukung sinematografi Byun Bong-Sun dan editing yang sebenarnya cukup pas dalam menghadirkan pace cerita. Well, bagaimanapun  naskah yang memang belum berhasil sepenuhnya diterjemahkan masih terasa di layar. Tata suara masih tergolong mumpuni, terutama fasilitas surround yang sangat terasa dimanfaatkan maksimal. Sedikit terdengar kurang mantap di beberapa dialog (front channel), termasuk narasi dan dialog yang tak punya perbedaan volume, tapi tak sampai mempengaruhi mood film. Terakhir, scoring cukup mendukung mood noir yang diusung PD sepanjang film.


Secara visual, PD mungkin masih menawarkan sesuatu yang menarik lewat mood noir yang tergolong jarang diangkat. Sayang jalinan plot yang ‘mungkin’ belum sepenuhnya berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa gambar, membuat ia terasa membingungkan dan bertele-tele. Untung masih ada kehadiran dua aktris cilik yang setidaknya mampu menjadi aspek hiburan. So, tak ada salahnya mencoba PD jika bosan dengan pilihan mainstream dan mencari ‘rasa’ berbeda yang jarang disajikan.

Lihat data film ini di IMDb dan AsiaWiki.
Diberdayakan oleh Blogger.