3/5
Based on a True Event
Biography
Drama
Film Lebaran
Franchise
Indonesia
Inspirational
nationalism
Pop-Corn Movie
prequel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
{rudy habibie}
Di antara PH-PH besar tanah air,
MD Pictures nampaknya layak mendapatkan predikat sebagai yang paling ambisius.
Mulai merambah layar lebar sejak 2007 lewat film noir Joko Anwar, Kala (Dead Time), tak sedikit film-film
yang bisa dianggap berskala ‘raksasa’ untuk ukuran film nasional. Hasilnya pun
tak sia-sia. Tercatat beberapa judul film Indonesia terlaris sepanjang masa
berasal dari PH milik Manoj Punjabi ini, seperti Ayat-Ayat Cinta (2008), Di
Bawah Lindungan Ka’bah (2011), hingga puncaknya Habibie & Ainun (HA) (2012) yang berhasil menyedot perhatian
hingga 4.5 juta penonton ke bioskop. Kesuksesan ini sebenarnya tak lepas dari
upaya MD Pictures dalam berpromosi yang tergolong gencar. Sebagai follow up
atas film-film suksesnya, MD Pictures bahkan berani untuk membuat grand
plan hingga beberapa tahun ke
depan ala studio-studio raksasa Hollywood, termasuk rencana pembuatan ‘Habibie
universe’ yang konon tak hanya sampai pada prekuel {rudy habibie} (RH) saja, tapi masih ada Habibie & Ainun 3 dan spin-off tentang karakter Liem Keng Kie,
salah satu sahabat Rudy Habibie ketika menimba ilmu di Jerman yang dimunculkan
di RH. Khusus untuk RH saja, MD Pictures mengaku mengeluarkan budget terbesar
sepanjang karir produksinya, termasuk untuk sound mixing yang melibatkan sound
designer Hollywood, Chris David (franchise Olympus
Has Fallen, The Expendables, dan
pernah menjadi nominee Oscar untuk Legends
of the Fall), premiere yang sampai dihelat besar-besaran sebanyak 7 kali di
kota yang berbeda-beda, sekaligus merayakan ultah B.J. Habibie ke-80 tahun.
Target penonton yang dipasang Manoj pun tak tanggung-tanggung, 10 juta penonton
(bahkan ada yang menyebutkan angka 25 juta!). Berbagai bentuk promo pun
dilancarkan untuk menebus target tersebut.
Masih diambil dari buku biografi
B.J. Habibie, Rudy: Kisah Masa Muda Sang
Visioner, naskahnya ditulis sang penyusun buku, Gina S. Noer dibantu sang
sutradara, Hanung Bramantyo yang akhirnya turun tangan sendiri setelah HA
sempat dipercayakan kepada Faozan Rizal. Reza Rahadian yang begitu gemilang,
tak hanya meng-impersonasi B.J. Habibie, tapi juga berhasil secara hidup
menjelma menjadi sosok B.J. Habibie sepenuhnya, sekali lagi diberi kepercayaan
yang bahkan lebih besar di sini.
Berkat ajaran dan pengaruh orang
tua, terutama sang ayah, Rudy bercita-cita membuat pesawat terbang untuk
Indonesia. Dengan biaya sendiri, Rudy berangkat menimba ilmu sampai RWTH
Aachen, Jerman Barat. Tak hanya menjalin persahabatan dengan sesama mahasiswa
asal Indonesia seperti Liem Keng Kie, Ayu, Peter Manumasa, dan Poltak Hasibuan,
ada pula kelompok mahasiswa dengan beasiswa pejuang dari pemerintah, terutama
Panca, yang memusuhi sosok Rudy karena dianggap sok pintar. Kehadiran gadis
Jerman keturunan Polandia, Illona Ianovska, tak hanya membuat Rudy jatuh cinta,
tapi juga memotivasinya lebih lagi untuk meraih cita-cita besarnya. Sayang
hubungan itu harus kandas ketika Rudy harus memilih untuk menyelesaikan
studinya dan berkarya dari Jerman atau pulang ke Indonesia untuk membantu
membangun negeri.
Jika HA lebih banyak berfokus
pada kisah cinta antara Habibie dan Ainun yang konon menginspirasi banyak
pasangan tentang kesetiaan, maka RH memilih fokus yang berbeda dan lebih
universal: menggapai cita-cita setingginya dengan tekad yang kuat. Maka setting
utama ketika Rudy berkuliah di Jerman dan plot cerita yang disusun seputar cita-cita tersebut lebih
dominan di sini. Namun rupanya Gina dan Hanung tak mau lantas membuat RH jadi
film yang berat dan kelewat serius. Masih dengan treatment biopic ala Hanung
seperti yang pernah ditunjukkannya lewat Sang
Pencerah maupun Soekarno: Indonesia
Merdeka, setup-setup cerita awal disusun bak fragmen sendiri-sendiri yang
lantas disusun untuk menyampaikan motivasi keberangkatan Rudy belajar di
Jerman. ‘Ornamen-ornamen’ cerita bak soap opera pun mulai disematkan di
sana-sini untuk mewarnai cerita sepanjang durasi 142 menit, mulai persahabatan,
permusuhan, persaingan asmara, hingga konflik keluarga karena beda agama yang
seolah sudah menjadi elemen cerita favorit Hanung. Di permukaan terluar,
semuanya tampak baik-baik saja bak sebuah panggung soap opera dengan setting
megah, dengan naik-turun konflik yang dengan mudah ‘menyentuh’ banyak penonton,
serta yang menjadi tujuan utama, menginspirasi (terutama soal nasionalisme).
Namun mari kita lihat lebih dalam
tiap elemen yang ditampilkan di RH. Kita mulai dari factual error yang
bertebaran di sana-sini. Misalnya saja adegan Rudy cilik bermain-main dengan
kondom yang mana faktanya, kondom baru diperkenalkan di Indonesia sejak tahun
1970-an lewat program KB dari BKKBN. Sehingga agak janggal jika ada kondom di
tempat sampah ketika setting adegan di film, apalagi digunakan di kawasan
prostitusi. Lalu juga sambungan langsung telepon internasional dari Indonesia
ke Jerman yang mustahil dilakukan sebelum peluncuran satelit Palapa A-1 tahun
1976. Pengkondisian demi dramatisasi adegan pun tak kalah mengganggu
intelektual penonton yang peduli. Lihat saja adegan ketika Rudy putus asa
karena namanya tak ada di daftar lulus, ternyata namanya ada di lembaran yang
ditempelkan tinggi sekali hingga teman-temannya perlu gendong-gendongan untuk
bisa melihatnya. Come on, siapa yang kepikiran menempel kertas pengumuman
setinggi itu, yang bahkan mahasiswa kaukasia berpostur tinggi tegap pun
mustahil untuk bisa membaca? Atau, apakah Anda termasuk orang yang lebih mementingkan
menggantikan menjadi imam demi menyelesaikan sholat ketimbang menolong ayah
Anda yang tiba-tiba collapse? Kesannya menyentuh sekali sih, tapi apakah perlu
sampai mengajarkan untuk mengutamakan ibadah ketimbang kemanusiaan (terhadap ayah kandung sendiri pula)? Masih ada cukup banyak factual error dan
pengkondisian lain yang tergolong ‘keterlaluan’ sepanjang film. Kemudian analogi
sosis-bakso dengan kapal selam? Hmmm… Entah memang benar kapal selam harus
berbentuk bakso agar bisa menyelam hingga kedalaman lebih dari 300 meter atau
bagaimana. Entahlah. Just sounds weird for me.
Jika factual error dan
pengkondisian demi dramatisasi masih bisa dimaklumi dengan dalih ‘ini fiktif,
hanya diinspirasi dari kisah nyata’ (toh MD Pictures sejak lama dikenal abai
terhadap detail-detail macam ini. Untung saja kali ini tak ada product
placement yang out of place seperti di DBLK
dan HA. Padahal sebenarnya elemen-elemen fiktif dalam biopic sebenarnya bertujuan agar lebih mudah atau mempersingkat durasi dalam menyampaikan ide-ide atau kepribadian sang karakter sentral, bukan untuk menggampangkan segalanya.), ada isu yang lebih besar dan penting untuk dikritisi dari RH, yaitu ‘penyakit
lama’ tentang biografi Indonesia dan terlebih lagi, terkait dengan ‘inspirasi’
yang menjadi komoditas utama film. Seperti kebanyakan biografi/biopic
Indonesia, RH masih menampilkan karakter sentral yang selalu benar dan serba
sempurna (menjadi korban bully bukan berarti karakternya ‘punya kelemahan’ ya,
karena karakter sentral tetap
digambarkan sebagai pihak yang benar dan pem-bully adalah yang salah). Lebih
parah lagi di sini, mendekati, sorry to say, megalomania. Bagaimana tidak, sang
karakter sentral digambarkan serba bisa; cerdas secara akademis, pintar bikin
kopi, pintar masak (ayam goreng..?), dan digilai para wanita. Like, seriously?
Itulah kelemahan jika biografi disusun hanya dari subjeknya secara langsung.
Selain itu dalam frame yang lebih
besar, RH lagi-lagi menawarkan inspirasi delusional yang semu, terutama terkait
dengan tema nasionalisme. Di satu momen terpentingnya, Rudy diceritakan harus
memilih untuk tetap tinggal di Jerman dan berkarya dari kejauhan atau pulang
untuk membangun negara atas dasar sekedar cinta tanah air dan nasionalisme.
Padahal sebelumnya Rudy sadar bahwa pemerintah Indonesia tidak mendukung
proposal pembangunan yang ia susun bersama teman-temannya. Bahkan paspor biru
teman-temannya terancam dicabut jika menuruti rencana Rudy. Tekad besar Rudy
Habibie sebelumnya akhirnya harus luluh oleh daya magis Ibu Pertiwi yang selalu
menarik putra-putri terbaiknya pulang ke tanah air meski dengan alasan yang
kurang rasional; cinta tanah air dan nasionalisme. Padahal seperti yang kita semua ketahui, toh beberapa tahun kemudia beliau kembali lagi ke Jerman untuk melanjutkan studinya. Lantas buat apa balik Indonesia? Sekedar menikahi Ainun?
Mungkin jika saya menonton RH sekitar lima tahun lalu dimana saya masih sangat naif dan terlalu positif (baca: optimis) dengan kondisi negeri ini (dalam berbagai bidang, bahkan sampai saat ini), saya akan merasakan ‘katarsis’ (baca: ter-inspirasi) ketika menontonnya seperti kebanyakan penonton lain. Sayangnya saya menontonnya saat ini ketika mata saya terbuka lebar tentang kondisi negeri ini yang, sorry to say, helpless, simply karena mental yang tak mau diubah, so…. Sorry Rudy, sorry Hanung, sorry MD… I don’t buy it anymore. Tanah Surga… Katanya pernah berhasil ‘menjualnya’ ke saya sehingga sempat membuat saya merinding setengah mati ketika menyaksikannya. Maaf, ‘daya magis Ibu Pertiwi’ yang dihadirkan RH tak lagi berhasil untuk saya.
Mungkin jika saya menonton RH sekitar lima tahun lalu dimana saya masih sangat naif dan terlalu positif (baca: optimis) dengan kondisi negeri ini (dalam berbagai bidang, bahkan sampai saat ini), saya akan merasakan ‘katarsis’ (baca: ter-inspirasi) ketika menontonnya seperti kebanyakan penonton lain. Sayangnya saya menontonnya saat ini ketika mata saya terbuka lebar tentang kondisi negeri ini yang, sorry to say, helpless, simply karena mental yang tak mau diubah, so…. Sorry Rudy, sorry Hanung, sorry MD… I don’t buy it anymore. Tanah Surga… Katanya pernah berhasil ‘menjualnya’ ke saya sehingga sempat membuat saya merinding setengah mati ketika menyaksikannya. Maaf, ‘daya magis Ibu Pertiwi’ yang dihadirkan RH tak lagi berhasil untuk saya.
Saya melihat sebenarnya ada upaya,
entah itu dari Gina, Hanung, atau siapapun itu, untuk memasukkan ide
kontradiksi yang lebih logis lewat karakter Ilona. Di satu adegan ia berkata
bahwa membangun negeri bisa dilakukan dari jauh, seperti Sir Isaac Newton
(CMIIW, pendengaran saya di film agak terdistraksi aksen Chelsea Islan) yang
meski berkarya di Inggris, tapi dampaknya bisa sampai seluruh dunia. Jika Rudy
memilih untuk menjadi manusia tanpa batas, tak hanya untuk Indonesia, mungkin
saja saat ini Rudy menjadi sosok yang jauh lebih besar daripada sekarang,
bahkan impact-nya bagi bangsa dan negara Indonesia sekalipun. Jadi mungkin saja ide
‘menjadi sosok yang lebih besar ketimbang berguna untuk bangsa dan negaranya
saja’ sebenarnya sudah terbersit, hanya saja ditampilkan secara samar-samar
agar tidak kontradiktif dengan 'kepentingan yang lebih tinggi' (baca: fakta) yang mau tak mau harus dijadikan
‘komoditas inspirasi’ utama.
Reza Rahadian yang kembali
dipercaya menghidupkan sosok Rudy Habibie, sekali lagi menjadi spotlight
terbesar sepanjang film. Dengan porsi keseriusan materi cerita yang jauh lebih
besar ketimbang di HA, bakat luar biasa Reza semakin terlihat menonjol. Chelsea
Islan yang memerankan sosok Ilona pun sebenarnya cukup convincing, meski aksen
dan konsistensi penggunaan bahasa masih terasa agak mengganggu. Chemistry yang
dibangun bersama Reza pun tergolong baik. Di deretan pemeran pendukung pun
tergolong cukup pas membawakan peran masing-masing, mulai trio komika; Pandji
Pragiwaksono, Ernest Prakasa, dan Boris Bokir yang ternyata bisa mengisi peran
serius dengan baik, Cornelio Sunny, dan terutama sekali Indah Permatasari yang
penampilannya sangat mencuri perhatian. Pesona kecantikan dan kharisma
aktingnya mulai terlihat menarik di sini. Terakhir, Dian Nitami, Dony Damara,
dan Bima Azriel (sebagai Habibie kecil) tak kalah mencuri perhatian meski
porsinya tak terlalu banyak.
Tak perlu meragukan aspek teknis
yang memang di atas rata-rata produksi film nasional. Mulai sinematografi Ipung
Rachmat Syaiful yang berhasil mem-framing adegan-adegan menjadi dramatis dan
terkadang, megah. Begitu juga editing Wawan I Wibowo yang sudah sangat
berpengalaman menangani storytelling biopic Indonesia. Tim artistik pun layak
mendapatkan kredit lebih dalam menampilkan desain produksi sesuai eranya nan
estetis, termasuk desain kostum Retno Ratih Damayanti. CGI dan visual effect
secara keseluruhan tergolong rapi, meski tidak sepenuhnya sempurna. Tata suara
yang melibatkan Khikmawan Santosa, Satrio Budiono, dan Chris David terbukti
mampu menghadirkan tata suara yang seimbang dan mumpuni untuk eksebisi layar
lebar. Scoring majestic ala Tya Subiakto masih berhasil menambah kemegahan
film, meski di beberapa momen terasa berlebihan, terutama dalam penggunaan
cymbal untuk adegan dramatis. Dari jajaran lagu-lagu pengiring, lagu tema Mencari Cinta Sejati yang dibawakan
Cakra Khan mampu merepresentasikan keseluruhan mood dan emosi film, sedangkan Mata Air yang dibawakan oleh CJR menurut
saya terdengar kurang cocok dengan kemasan keseluruhan film (apalagi intro yang
mengingatkan saya akan intro Break Your
Heart-nya Taio Cruz). Sosok Tielman Brothers yang ditampilkan di layar
membawakan Nona Manis (versi aslinya Pretty Little Angel Eyes oleh Curtis Lee
– 1961) dan Oh Baby dibawakan dengan
sangat baik, malah paling mengundang perhatian sepanjang film, oleh Dody BJ.
So, RH sangat tergantung
pada tipe penonton yang manakah Anda. As for me, ia tak lebih dari sekedar
opera sabun tentang nasionalisme delusional yang didukung oleh aktor-aktor luar biasa. Namun bagi penonton kebanyakan,
bisa jadi RH berhasil menggugah dan menginspirasi, entah menginspirasi dalam
hal apa dan karena faktor apa. Mungkin saja sekedar dibuat menangis dan
tersentuh. Setelah selesai menonton, biasa saja. Menurut pengalaman saya,
ya sejauh itu saja efek dari inspirasi semu. Anda bisa
merasakannya sejenak, tapi setelah itu tak memberikan pengaruh nyata apa-apa.
Mungkin memang sejauh itu saja yang dibutuhkan sebagian besar bangsa ini.
Menyedihkan memang, tapi itu fakta. Masalahnya, delusion always works for them. Solusinya? Tergantung dari Anda sendiri.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.